- Apakah benar PTUN dikatakan sebagai tempat berlindung Koruptor ?
Peradilan
Tata Usaha Negara sebenarnya adalah sebuah ruang lingkup peradilan
yang merupakan sarana / media / wadah apabila terjadi konflik atau
sengketa antara Pejabat / Badan Hukum Negara dengan Rakyat. Sengketa
yang dimaksud dalam Peradilan Tata Usaha Negara ini adalah sengketa
akibat dikeluarkannya ketetapan (beschiking) oleh Pejabat/ Badan
Hukum Negara, dimana kebijakan atau ketetapan itu bertentangan dengan
Undang – Undang yang lainnya, dan bertentangan dengan kehidupan
bernegara dan bermasyarakat. Sehingga dalam hal ini PTUN mempunyai
peranan penting untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih (bersih
dari tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme ) dan untuk menciptakan
pemerintahan yang berwibawa ( Clean and Strong Government ) .
Sehingga dalam hal ini juga terwujud sebuah Perlindungan hukum
preventif, dimana rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan
keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan
pemerintah mendapat bentuk yang defenitif, yang artinya perlindungan
hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa,
ataupun sebaliknya perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk
menyelesaikan sengketa. Dan Perlindungan hukum yang preventif sangat
besar artinya bagi tindakan pemerintah yang didasarkan kepada
kebebasan bertindak, karena dengan adanya perlindungan hukum yang
preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam
mengambil keputusan yang didasarkan pada dekresi.
Oleh Karena dengan adanya Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) inilah yang bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, masih perlu dipertanyakan. Sebab dalam kenyataannya di Indonesia sendiri masih merupakan Negara dengan rangking teratas dalam Hal Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Sehingga perbandingan antara kenyataan normatif dengan kenyataan yang terjadi, tentang fungsi PTUN ini sangat berbeda. Dan masih banyak juga wujud Eksistensi PTUN yang harus dipertanyakan, terutama Eksistensi PTUN tehadap Eksekusi Putusan PTUN. Kita sering mengetahui, Eksekusi Putusan PTUN seringkali tertunda karena adanya upaya banding, kasasi, atau peninjauan kembali (PK) sehingga memaksa majelis hakim menunda eksekusi, kalau eksekusi tidak dapat dilaksanakan, maka PTUN berwenang untuk melaporkan kepada atasan yang bersangkutan yang puncaknya dilaporkan kepada Presiden, itupun harus melalui kompromi politik yang kadang kala bertentangan dengan nurani hukum. Maka oleh karena itulah tak khayal apabila masih saja memunculkan pesimisme dan apatisme publik tehadap penyelesaian sengketa dalam ruang lingkup Peradilan Tata Usaha Negara.
Oleh Karena dengan adanya Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) inilah yang bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, masih perlu dipertanyakan. Sebab dalam kenyataannya di Indonesia sendiri masih merupakan Negara dengan rangking teratas dalam Hal Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Sehingga perbandingan antara kenyataan normatif dengan kenyataan yang terjadi, tentang fungsi PTUN ini sangat berbeda. Dan masih banyak juga wujud Eksistensi PTUN yang harus dipertanyakan, terutama Eksistensi PTUN tehadap Eksekusi Putusan PTUN. Kita sering mengetahui, Eksekusi Putusan PTUN seringkali tertunda karena adanya upaya banding, kasasi, atau peninjauan kembali (PK) sehingga memaksa majelis hakim menunda eksekusi, kalau eksekusi tidak dapat dilaksanakan, maka PTUN berwenang untuk melaporkan kepada atasan yang bersangkutan yang puncaknya dilaporkan kepada Presiden, itupun harus melalui kompromi politik yang kadang kala bertentangan dengan nurani hukum. Maka oleh karena itulah tak khayal apabila masih saja memunculkan pesimisme dan apatisme publik tehadap penyelesaian sengketa dalam ruang lingkup Peradilan Tata Usaha Negara.
Munculnya
sikap pesimisme dan apatisme publik terhadap penyelesaian sengketa
PTUN inilah, yang juga turut serta memunculkan pendapat bahwa
sebenarnya PTUN juga adalah tempat bagi berlindungnya para Koruptor
dari jeratan tindak pidana korupsi. Bagaimana tidak pendapat seperti
ini muncul dikalangan masyarakat umum, sebab banyak contoh kasus
mengenai pejabat – pejabat yang terjerat kasus tindak pidana
korupsi tetapi pada kenyataannya secara administrasi malah pejabat
itu diangkat oleh Negara untuk menduduki jabatan, sehingga dalam hal
ini seolah – olah Negara tidak menghiraukan permasalahan hukum atas
keputusan yang telah dibuat atas pengangkatan/penetapan jabatan
penjabat yang bermasalah. Seperti halnya pada kasus yang hangat –
hangat saat ini, ketika Junaidi Hamsyah diangkat menjadi Gubernur
melalui Kepres No. 40 P. Padahal pada kenyataannya Gubernur Bengkulu
Agusrin M. Najamuddin sedang terjerat kasus Tindak Pidana Korupsi,
dimana saat ini Kasusnya tersebut masih dalam Tingkat Peninjauan
Kembali di Mahkamah Agung. Sehingga dalam hal ini disimpulkan bahwa
Kepres mengenai Pengangkatan Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah adalah
Putusan Yang Inkonstitunial. Sehingga wajar apabila terjadi
Constitunial Complaint oleh masyarakat melalui Peradilan Tata Usaha
Negara atas kasus tersebut, dan wajar pula apabila sebagian besar
masyarakat menilai bahwa PTUN adalah tempat berlindungnya para
Koruptor. Sebab dalam penyelasaian sengketa PTUN, eksistensi mengenai
pelaksanaa eksekusi atau putusan kurang memihak kepada Publik sebagai
penggugat. Apalagi Gubernur nonaktif Bengkulu seolah – olah
menggunakan PTUN untuk mengamankan kedudukannya sebagai gubernur
sebelum adanya Putusan atas kasus tindak pidana korupsi yang ia
alami.
- Bagaimana Nasib Gugatan PK yang diajukan ke MA oleh Gubernur Bengkulu dan Nasib Kepres No 40/P dan 48/P Tahun 2012, setelah adanya Gugatan PTUN oleh Yusril Ihza Mahendra ?
Pada
kasus Gugatan Gubernur Bengkulu nonaktif Agusrin M. Najamuddin atas
adanya Kepres No 40/P dan 48/P Tahun 2012 yang memasuki pokok perkara
pengujian materi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Dimana dalam sengketa kasus tersebut Tim Kuasa Hukum Yusril Ihza
Mahendra sebagai penggugat, atas adanya Kepres No. 40/P Tahun 2012
mengenai pengangkatan Gubernur Bengkulu yang terjerat kasus TIPIKOR
dan persoalan putusan sela yang menunda pelaksanaan Kepres 48/P Tahun
2012 tentang pengangkatan Junaidi Hamsyah menjadi Gubernur Bengkulu
defenitif. Sehingga dalam hal ini Proses PK yang masih diajukan oleh
Gubernur Bengkulu (yang diNon aktif) atas kasus TIPIKORnya ke MA.
Setidaknya menjadi alasan kenapa adanya gugatan mengenai kedua Kepres
tersebut.
Peninjauan Kembali atau PK memiliki kekuatan Hukum sebagaimana diatur dalam Undang – undang. PK merupakan sebuah upaya banding Luar biasa atas sebuah putusan hukum yang sudah Ikrah, Hal ini ada setelah adanya putusan dari pengadilan dan Permohonan peninjauan Kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap merupakan wewenang eklusif Mahkamah Agung. Sehingga dalam hal ini apabila seorang gubernur yang telah di non aktifkan Agusrin M. Najamuddin atas kasus TIPIKOR yang masih belum diputuskan oleh MA. Maka secara administratif dalam formalnya kedudukan sebagai Gubernur masih dimilikinya sebelum adanya Putusan hokum yang berkekuatan tetap menyatakan dirinya bersalah. Oleh karena hal itulah Munculah Kepres mengenai putusan sela atas pengangkatan Junaidi Hamsyah menjadi Gubernur Bengkulu.
Sehingga dalam hal ini seharusnya, untuk mengangkat seorang gubernur yang baru harus menunggu adanya putusan Mahkamah Agung yang berkekuatan hokum tetap mengenai kasus TIPIKOR yang diduga dilakukan oleh Gubernur Bengkulu nonaktif Agusrin M. Najamuddin. Sehingga secara tidak langsung, adanya Kepres No 40/P dan 48/P Tahun 2012 mengenai pengangkatan Gubernur Bengkulu secara defintif dibenarkan secara ruang lingkup Peradilan Tata Usaha Negara. Sehingga putusan yang dikeluarkan oleh Presiden itu tidak Inskonstitunal.
Peninjauan Kembali atau PK memiliki kekuatan Hukum sebagaimana diatur dalam Undang – undang. PK merupakan sebuah upaya banding Luar biasa atas sebuah putusan hukum yang sudah Ikrah, Hal ini ada setelah adanya putusan dari pengadilan dan Permohonan peninjauan Kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap merupakan wewenang eklusif Mahkamah Agung. Sehingga dalam hal ini apabila seorang gubernur yang telah di non aktifkan Agusrin M. Najamuddin atas kasus TIPIKOR yang masih belum diputuskan oleh MA. Maka secara administratif dalam formalnya kedudukan sebagai Gubernur masih dimilikinya sebelum adanya Putusan hokum yang berkekuatan tetap menyatakan dirinya bersalah. Oleh karena hal itulah Munculah Kepres mengenai putusan sela atas pengangkatan Junaidi Hamsyah menjadi Gubernur Bengkulu.
Sehingga dalam hal ini seharusnya, untuk mengangkat seorang gubernur yang baru harus menunggu adanya putusan Mahkamah Agung yang berkekuatan hokum tetap mengenai kasus TIPIKOR yang diduga dilakukan oleh Gubernur Bengkulu nonaktif Agusrin M. Najamuddin. Sehingga secara tidak langsung, adanya Kepres No 40/P dan 48/P Tahun 2012 mengenai pengangkatan Gubernur Bengkulu secara defintif dibenarkan secara ruang lingkup Peradilan Tata Usaha Negara. Sehingga putusan yang dikeluarkan oleh Presiden itu tidak Inskonstitunal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar