MvpTogeteR

MvpTogeteR
Selamat datang Didunia MVP

Selasa, 19 Maret 2013

Tinjauan Apakah Benar PTUN sebagai Tameng Koruptor

  1. Apakah benar PTUN dikatakan sebagai tempat berlindung Koruptor ?

Peradilan Tata Usaha Negara sebenarnya adalah sebuah ruang lingkup peradilan yang merupakan sarana / media / wadah apabila terjadi konflik atau sengketa antara Pejabat / Badan Hukum Negara dengan Rakyat. Sengketa yang dimaksud dalam Peradilan Tata Usaha Negara ini adalah sengketa akibat dikeluarkannya ketetapan (beschiking) oleh Pejabat/ Badan Hukum Negara, dimana kebijakan atau ketetapan itu bertentangan dengan Undang – Undang yang lainnya, dan bertentangan dengan kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Sehingga dalam hal ini PTUN mempunyai peranan penting untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih (bersih dari tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme ) dan untuk menciptakan pemerintahan yang berwibawa ( Clean and Strong Government ) . Sehingga dalam hal ini juga terwujud sebuah Perlindungan hukum preventif, dimana rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang defenitif, yang artinya perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, ataupun sebaliknya perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Dan Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindakan pemerintah yang didasarkan kepada kebebasan bertindak, karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada dekresi.

Oleh Karena dengan adanya Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) inilah yang bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, masih perlu dipertanyakan. Sebab dalam kenyataannya di Indonesia sendiri masih merupakan Negara dengan rangking teratas dalam Hal Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Sehingga perbandingan antara kenyataan normatif dengan kenyataan yang terjadi, tentang fungsi PTUN ini sangat berbeda. Dan masih banyak juga wujud Eksistensi PTUN yang harus dipertanyakan, terutama Eksistensi PTUN tehadap Eksekusi Putusan PTUN. Kita sering mengetahui, Eksekusi Putusan PTUN seringkali tertunda karena adanya upaya banding, kasasi, atau peninjauan kembali (PK) sehingga memaksa majelis hakim menunda eksekusi, kalau eksekusi tidak dapat dilaksanakan, maka PTUN berwenang untuk melaporkan kepada atasan yang bersangkutan yang puncaknya dilaporkan kepada Presiden, itupun harus melalui kompromi politik yang kadang kala bertentangan dengan nurani hukum. Maka oleh karena itulah tak khayal apabila masih saja memunculkan pesimisme dan apatisme publik tehadap penyelesaian sengketa dalam ruang lingkup Peradilan Tata Usaha Negara.
Munculnya sikap pesimisme dan apatisme publik terhadap penyelesaian sengketa PTUN inilah, yang juga turut serta memunculkan pendapat bahwa sebenarnya PTUN juga adalah tempat bagi berlindungnya para Koruptor dari jeratan tindak pidana korupsi. Bagaimana tidak pendapat seperti ini muncul dikalangan masyarakat umum, sebab banyak contoh kasus mengenai pejabat – pejabat yang terjerat kasus tindak pidana korupsi tetapi pada kenyataannya secara administrasi malah pejabat itu diangkat oleh Negara untuk menduduki jabatan, sehingga dalam hal ini seolah – olah Negara tidak menghiraukan permasalahan hukum atas keputusan yang telah dibuat atas pengangkatan/penetapan jabatan penjabat yang bermasalah. Seperti halnya pada kasus yang hangat – hangat saat ini, ketika Junaidi Hamsyah diangkat menjadi Gubernur melalui Kepres No. 40 P. Padahal pada kenyataannya Gubernur Bengkulu Agusrin M. Najamuddin sedang terjerat kasus Tindak Pidana Korupsi, dimana saat ini Kasusnya tersebut masih dalam Tingkat Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Sehingga dalam hal ini disimpulkan bahwa Kepres mengenai Pengangkatan Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah adalah Putusan Yang Inkonstitunial. Sehingga wajar apabila terjadi Constitunial Complaint oleh masyarakat melalui Peradilan Tata Usaha Negara atas kasus tersebut, dan wajar pula apabila sebagian besar masyarakat menilai bahwa PTUN adalah tempat berlindungnya para Koruptor. Sebab dalam penyelasaian sengketa PTUN, eksistensi mengenai pelaksanaa eksekusi atau putusan kurang memihak kepada Publik sebagai penggugat. Apalagi Gubernur nonaktif Bengkulu seolah – olah menggunakan PTUN untuk mengamankan kedudukannya sebagai gubernur sebelum adanya Putusan atas kasus tindak pidana korupsi yang ia alami.

  1. Bagaimana Nasib Gugatan PK yang diajukan ke MA oleh Gubernur Bengkulu dan Nasib Kepres No 40/P dan 48/P Tahun 2012, setelah adanya Gugatan PTUN oleh Yusril Ihza Mahendra ?

Pada kasus Gugatan Gubernur Bengkulu nonaktif Agusrin M. Najamuddin atas adanya Kepres No 40/P dan 48/P Tahun 2012 yang memasuki pokok perkara pengujian materi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Dimana dalam sengketa kasus tersebut Tim Kuasa Hukum Yusril Ihza Mahendra sebagai penggugat, atas adanya Kepres No. 40/P Tahun 2012 mengenai pengangkatan Gubernur Bengkulu yang terjerat kasus TIPIKOR dan persoalan putusan sela yang menunda pelaksanaan Kepres 48/P Tahun 2012 tentang pengangkatan Junaidi Hamsyah menjadi Gubernur Bengkulu defenitif. Sehingga dalam hal ini Proses PK yang masih diajukan oleh Gubernur Bengkulu (yang diNon aktif) atas kasus TIPIKORnya ke MA. Setidaknya menjadi alasan kenapa adanya gugatan mengenai kedua Kepres tersebut.

Peninjauan Kembali atau PK memiliki kekuatan Hukum sebagaimana diatur dalam Undang – undang. PK merupakan sebuah upaya banding Luar biasa atas sebuah putusan hukum yang sudah Ikrah, Hal ini ada setelah adanya putusan dari pengadilan dan Permohonan peninjauan Kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap merupakan wewenang eklusif Mahkamah Agung. Sehingga dalam hal ini apabila seorang gubernur yang telah di non aktifkan Agusrin M. Najamuddin atas kasus TIPIKOR yang masih belum diputuskan oleh MA. Maka secara administratif dalam formalnya kedudukan sebagai Gubernur masih dimilikinya sebelum adanya Putusan hokum yang berkekuatan tetap menyatakan dirinya bersalah. Oleh karena hal itulah Munculah Kepres mengenai putusan sela atas pengangkatan Junaidi Hamsyah menjadi Gubernur Bengkulu.

Sehingga dalam hal ini seharusnya, untuk mengangkat seorang gubernur yang baru harus menunggu adanya putusan Mahkamah Agung yang berkekuatan hokum tetap mengenai kasus TIPIKOR yang diduga dilakukan oleh Gubernur Bengkulu nonaktif Agusrin M. Najamuddin. Sehingga secara tidak langsung, adanya Kepres No 40/P dan 48/P Tahun 2012 mengenai pengangkatan Gubernur Bengkulu secara defintif dibenarkan secara ruang lingkup Peradilan Tata Usaha Negara. Sehingga putusan yang dikeluarkan oleh Presiden itu tidak Inskonstitunal.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar