Pengertian
Pengadaan Tanah
Pengadaan
tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara
memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah,
bangunan, tanaman, dan benda- benda yang yang berkaitan dengan tanah.
Latar
Belakang pengadaan tanah adalah meningkatnya pembangunan untuk
kepentingan umum yangg memerlukan tanah sehingga pengadaannya perlu
dilakukan secara cepat dan transparan dengan tetap memperhatikan
prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Pengadaan
tanah untuk kepentingan pembangunan yang diatur dalam Keppres No: 55
tahun 1993 sudah tidak sesuai lagi sebagai landasan hukum dalam
melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum. Adapun persyaratan
pengadaan tanah antara lain:
- Hanya dapat dilakukan apabila berdasarkan rencana tata ruang wilayah yang ditetapkan terlebih dahulu.
- Apabila belum ditetapkan rencana tata ruang wilayah, didasarkan pada rencana ruang wilayah atau kota yang telah ada.
- Apabila tanah telah ditetapkan sebagai lokasi pelaksanaan pembangunan berdasarkan surat keputusan penetapan lokasi yang ditetapkan Gubernur/ Walikota / Bupati, maka bagi siapa saja yang akan melakukan pembelian tanah, terlebih dahulu harus memperoleh persetujuan tertulis dari Bupati/ Wali kota atau Gubernur sesuai dengan kewenangannya.
Definisi
pengadaan tanah menurut Pasal 1 angka 2, adalah kegiatan
menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan
adil kepada pihak yang berhak. Kata "layak dan adil" dalam
definisi tersebut mencerminkan adanya paradigma baru yang menjamin
dan menghormati yang berhak. Kata "pihak yang berhak" juga
menjawab berbagai persoalan terhadap pelepasan tanah yang diatasnya
terdapat bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan
tanah tersebut namun belum tentu merupakan hak dari pemilik tanah,
bisa saja milik penyewanya, penggunanya, pengolahnya, pengelolanya
dan sebagainya. Aturan ini belum ditemukan pada Keppres No. 55 Tahun
1993 dan Perpres No.36 Tahun 2005.
Pasal
1 angka 3, menyebutkan bahwa pihak yang Berhak adalah pihak yang
menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah. Jadi yang menguasai
obyek pengadaan tanah belum tentu sekaligus sebagai memiliki obyek
pengadaan tanah telah masuk dalam definisi pihak yang Berhak. Pasal 1
angka 4, menyebutkan objek pengadaan tanah adalah tanah, ruang atas
tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan
tanah, atau lainnya yang dapat dinilai. Dari 2 definisi ini dapat
diharapkan adanya pemberian ganti rugi yang adil kepada pihak-pihak
yang berhak atas pemberian ganti kerugian yang seringkali memicu
potensi konflik.
Definisi
kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat
yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya
untuk kemakmuran rakyat. Pada draft naskah akademik RUU ini definisi
kepentingan umum belum termuat. Pada Perpres No. 36 Tahun 2005
pengertian kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan
masyarakat. Definisi kepentingan umum dalam RUU yang disahkan
tersebut ternyata lebih memiliki kejelasan dengan menekankan adanya
kepentingan bangsa, negara dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh
pemerintah.
Diperkenalkannya
instrumen konsultasi publik dalam proses pengadaan tanah untuk
kepentingan umum, sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 angka 8 yang
menyebutkan bahwa konsultasi publik adalah proses komunikasi dialogis
atau musyawarah antarpihak yang berkepentingan guna mencapai
kesepahaman dan kesepakatan dalam perencanaan pengadaan tanah bagi
pembangunan untuk kepentingan. Dengan konsultasi publik ini instansi
yang memerlukan tanah menjelaskan antara lain mengenai rencana
pembangunan dan cara perhitungan ganti kerugian yang akan dilakukan
oleh penilai pertanahan.
Pencantuman
asas pengadaan tanah untuk kepentingan umum, yang meliputi 10 asas
yaitu :
- Asas Kemanusiaan, adalah pengadaan tanah harus memberikan perlindungan serta menghormati terhadap hak asasi manusia, harkat, dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
- Asas Keadilan, adalah memberikan jaminan penggantian yang layak kepada Pihak yang Berhak dalam proses pengadaan tanah sehingga mendapatkan kesempatan untuk dapat melangsungkan kehidupan yang lebih baik.
- Asas Kemanfaatan, adalah hasil pengadaan tanah mampu memberikan manfaat secara luas bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara.
- Asas Kepastian, adalah memberikan kepastian hukum tersedianya tanah dalam proses pengadaan tanah untuk pembangunan dan memberikan jaminan kepada Pihak yang Berhak untuk mendapatkan ganti kerugian yang layak.
- Asas Keterbukaan, adalah bahwa pengadaan tanah untuk pembangunan dilaksanakan dengan memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan pengadaan tanah.
- Asas Kesepakatan, adalah bahwa proses pengadaan tanah dilakukan dengan cara musyawarah para pihak tanpa unsur paksaan untuk mendapatkan kesepakatan bersama.
- Asas Keikutsertaan, adalah dukungan dalam penyelenggaraan pengadaan tanah melalui partisipasi masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung sejak perencanaan sampai dengan pembangunan.
- Asas Kesejahteraan,adalah bahwa pengadaan tanah untuk pembangunan dapat memberikan nilai tambah bagi kelangsungan kehidupan pihak yang berhak dan masyarakat secara luas.
- Asas Keberlanjutan, adalah kegiatan pembangunan dapat berlangsung secara terus menerus, berkesinambungan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
- Asas Keselarasan, adalah bahwa pengadaan tanah untuk pembangunan dapat seimbang dan sejalan dengan kepentingan masyarakat dan Negara.
Asas
kemanusiaan pada draft RUU naskah akademik sebelumnya belum termuat.
Dimuatnya tambahan asas kemanusiaan dan ditempatkan paling awal telah
menegaskan adanya prinsip kemanusiaan yang harus dipatuhi dalam
setiap pengadaan tanah untuk kepentingan umum, selain mematuhi 9 asas
lainnya. Secara mudah argumentasinya dapat dijelaskan bahwa meski
pengadaan tanah untuk kepentingan umum bersifat wajib/keharusan bagi
pemerintah untuk mewujudkannya, namun harus tetap memperhatikan sisi
kemanusiaan bagi yang berhak.
Adanya
penegasan tujuan dari pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang
dimuat Pasal 3, yaitu bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan
pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa,
negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum Pihak
yang Berhak.
Cakupan
pengadaan tanah yang digunakan untuk kepentingan umum dalam
pembangunan telah dipertegas dalam Pasal 10 dengan jumlah 18 item.
Dilihat dari materinya merupakan penegasan dan penyempurnaan cakupan
dari Pasal 5 Perpres 63 Tahun 2005 yang memiliki 21 item, dan
perpres 65 tahun 2006 dengan 7 item. Ke 18 item cakupan pengadaan
tanah untuk kepentingan umum tersebut adalah meliputi :
- Pertahanan dan keamanan nasional;
- Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;
- Waduk, bendungan, bending, irigasi, saluran air minum, seluran pembuangan air dan sanitasi, bangunan pengairan lainnya;
- Pelabuhan, Bandar udara, dan terminal;
- Infrastruktur minyak, gas dan panas bumi, meliputi transmisi dan/atau distribusi minyak, gas dan panas bumi;
- Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;
- Jaringan telekomunikasi and informatika;
- Tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
- Rumah sakit pemerintah/pemerintah daerah;
- Fasilitas keselamatan umum
- Tempat pemakaman umum pemerintah/pemerintah daerah;
- Fasilitas keselamatan umum;
- Fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
- Cagar alam dan cagar budaya;
- Kantor pemerintah/pemerintah daerah/desa;
- Penataan pemukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa;
- Prasarana pendidikan atau sekolah pemerintah/pemerintah daerah;
- Prasarana olah raga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan
- Pasar umum dan lapangan parkir umum.
Pasal
11 mengatur bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum wajib
diselenggarakan oleh pemerintah dan tanahnya selanjutnya dimiliki
Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Jika yang memerlukan BUMN maka
tanah untuk kepentingan umum menjadi milik BUMN.
Pasal
12 mengatur bahwa pembangunan untuk kepentingan umum wajib
diselenggarakan Pemerintah, dan dapat bekerjasama dengan BUMN, BUMD,
atau Badan Usaha Swasta. Dalam hal pembangunan pertahanan dan
keamanan nasional maka pembangunannya diselenggarakan sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan.
Tahapan
pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan melalui : a.
perencanaan; b. persiapan, c. pelaksanaan; dan d. penyerahan hasil,
yang rincian pengaturannya dibahas dalam pasal-pasal selanjutnya.
Penilaian
besarnya ganti kerugian oleh Penilai dilakukan per bidang tanah,
meliputi : a. tanah; b. ruang atas tanah dan bawah tanah; c.
bangunan; d. tanaman; e. benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau
f. kerugian lain yang dapat dinilai. Dalam bagian penjelasan
diterangkan bahwa yang dimaksud "Kerugian lain yang dapat
dinilai" adalah kerugian nonfisik yang dapat disetarakan dengan
niai uang, misalnya kerugian karena kehilangan usaha atau pekerjaan,
baiaya pemindahan tempat, biaya alih profesi, dan nilai atas properti
sisa.
Dalam
hal bidang tanah tertentu yang terkena pengadaan tanah terdapat sisa
yang tidak lagi dapat difungsikan sesuai peruntukan dan
penggunaannya, Pihak yang berhak dapat meminta penggantian secara
utuh atas bidang tanahnya.
Perencanaan
pengadaan tanah untuk kepentingan umum disusun dalam bentuk dokumen
perencanaan pengadaan tanah, yang paling sedikit memuat :
- maksud dan tujuan rencana pembangunan;
- kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah dan rencana pembangunan nasional dan daerah;
- letak tanah;
- luas tanah yang dibutuhkan;
- gambaran umum status tanah;
- perkiraan waktu pelaksanaan pengadaan tanah;
- perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan;
- perkiraan nilai tanah; dan
- rencana penganggaran.
Dokumen
perencanaan ini disusun berdasar studi kelayakan yang dilaksanakan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, dan ditetapkan oleh
instansi yang memerlukan tanah.
- DASAR HUKUM DALAM PENGADAAN TANAH
DASAR
HUKUM
Pengadaan
tanah untuk kepentingan umum sejak tahun 1961 sampai dengan
sekarang
telah berlaku Undang-undang No. 20 Tahun 1961, kemudian dilanjutkan
dengan
kebijakan
pemerintah melalui PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) No. 15 Tahun
1975,
kemudian
dicabut dan diganti dengan Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang
Pengadaan
Tanah
Bagi Kepentingan Umum. Namun dengan berlakunya ketentuan tersebut
dalam
proses
pelaksanaannya tetap menimbulkan konflik dalam masyarakat. Untuk itu
perlu dikaji
ulang
keberadaan dari Keppres No. 55 Tahun 1993 dan dikaitkan pula dengan
Undang-undang
No.
22 Tahun 1999,
tentang
Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 25
Tahun
1999, tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah
Pusat dan Daerah. Pengadaan tanah kemudian diatur dengan Peraturan
Presiden Nomor 36 Tahun 2005
yang
kemudian dirubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006.
Sampai dengan
saat
ini Indonesia belum memiliki Undang-Undang yang mengatur secara
khusus tentang
Pengadaan
Tanah.
Ditingkat
Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), pengadaan tanah diatur dalam
Peraturan
Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan
Presiden
Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan
Untuk
Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden
Nomor 65
Tahun
2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005
tentang
Pengadaan
Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.
- BENTUK - BENTUK PENGADAAN TANAH
BENTUK-BENTUK
PENGADAAN TANAH MENURUT HUKUM AGRARIA INDONESIA
Pada
prinsipnya Hukum Agraria Indonesia mengenal 2 (dua) bentuk pengadaan
tanah
yaitu :
1.
Dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah
(pembebasan hak
atas
tanah) ;
2.
Dilaksanakan dengan cara pencabutan hak atas tanah.
Perbedaan
yang menonjol antara pencabutan hak atas tanah dengan pembebasan
tanah
ialah, jika dalam pencabutan hak atas tanah dilakukan dengan cara
paksa, maka
dalam
pembebasan tanah dilakukan dengan berdasar pada asas musyawarah.
Sebelumnya
oleh Perpres No 36 Tahun 2005 ditentukan secara tegas bahwa bentuk
pengadaan
tanah dilakukan dengan cara pembebasan hak atas tanah dan dengan cara
pencabutan
hak atas tanah. Namun dengan dikeluarkannya Perpres No 65 Tahun 2006,
hanya
ditegaskan bahwa pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan.
Tidak
dicantumkannya
secara tegas cara pencabutan hak atas tanah di dalam Perpres No.
65/2006
bukan berarti menghilangkan secara mutlak cara pencabutan tersebut,
melainkan
untuk
memberikan kesan bahwa cara pencabutan adalah cara paling terakhir
yang dapat
ditempuh
apabila jalur musyawarah gagal . Hal ini ditafsirkan secara imperatif
dimana jalur
pembebasan
tanah harus ditempuh terlebih dahulu sebelum mengambil jalur
pencabutan
hak
atas tanah.
Jika
pada Perpres No. 36 Tahun 2005 terdapat kesan alternatif antara cara
pembebasan
dan pencabutan, maka pada Perpres No.65 Tahun 2006 antara cara
pembebasan
dan pencabutan sifatnya prioritas-baku. Ini agar pemerintah tidak
sewenang
- wenang
dan
tidak dengan mudah saja dalam mengambil tindakan dalam kaitannya
dengan
pengadaan
tanah. Artinya ditinjau dari segi Hak Asasi Manusia (HAM), Perpres No
65 Tahun
2006
dinilai lebih manusiawi jika dibandingkan peraturan-peraturan
sebelumnya.
Selain
bersifat lebih manusiawi, Perpres No 65 Tahun 2006 juga memberikan
suatu
terobosan
kecil yaitu dengan dicantumkannya pasal 18A. Pasal 18A menentukan
apabila
yang
berhak atas tanah atau benda-benda yang ada di atasnya yang haknya
dicabut tidak
bersedia
menerima ganti rugi sebagaimana ditetapkan, karena dianggap jumlahnya
kurang
layak,
maka yang
bersangkutan
dapat meminta banding kepada Pengadilan Tinggi agar
menetapkan
ganti rugi sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang
Pencabutan
Hak-Hak
Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya dan Peraturan
Pemerintah
Nomor
39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan
Tinggi
Sehubungan
dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di
Atasnya.
Ketentuan Pasal 18 A ini mempertegas ketentuan Pasal 8 UU No. 20
Tahun 1961.
Meskipun
pengaduan ini sudah ditentukan sebelumnya oleh UU No. 20/1961 namun
kurang
memberikan
kepastian hukum karena Perpres-Perpres yang ada hanya menegaskan
pengajuan
keberatan kepada Bupati/Walikota, Gubernur, atau Menteri Dalam
Negeri.
Sehingga
dianggap dapat memberikan ruang untuk meminimalisir
kesewenang-wenangan
birokrasi
eksekutif yang notabene
adalah
pihak yang paling berkepentingan dalam urusan
ini.
PRINSIP
DASAR PENGATURAN PENGADAAN TANAH
Prinsip
dasar pengaturan pengadaan tanah yang diatur dalam Perpres No 36
Tahun
2005
Jo. Perpres No 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3
Tahun 2007
yaitu
:
- Pengadaan tanah untuk kepentingan umum, dipastikan tersedia tanahnya. Bahwa dalam rangka terpastikan untuk kepentingan umum tersedianya tanah, maka Perpres No 36 Tahun 2005 Jo. Perpres No 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007 mengatur
- Kepastian Lokasi (Pasal 39 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);
- Adanya penitipan ganti rugi ke pengadilan (Pasal 37 dan 48 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);
- Penerapan UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dengan Pemberian Ganti Rugi (Pasal 41 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007).
- Hak-hak dasar masyarakat atas tanah terlindungi. Dalam rangka memperhatikan hak-hak masyarakat terlindungi, Perpres No 36 Tahun 2005 Jo. Perpres No 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007, mengatur :
- Sosialiasi lokasi (Pasal 8 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);
- Adanya penyuluhan tentang manfaat, maksud dan tujuan pembangunan kepada masyarakat (Pasal 19 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);
- Pengumuman hasil inventarisasi tanah, bangunan, tanaman, dan benda lain yang berkaitan dengan tanah guna memberi kesempatan kepada pihak yang berkepentingan untuk mengajukan keberatan (Pasal 23 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);
- Penilaian harga tanah dilakukan oleh Lembaga Penilai Harga yang professional dan independen (Pasal 27 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);
- Musyawarah penetapan ganti rugi dilakukan secara langsung antara Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dengan pemilik tanah (Pasal 31 dan 32 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007), sedangkan Panitia Pengadaan Tanah hanya sebagai fasilitator dalam pelaksanaan musyawarah tersebut ;
- Adanya hak mengajukan keberatan terhadap bentuk dan besarnya ganti rugi yang ditetapkan oleh Panitia Pengadaan Tanah kepada Bupati/Walikota, Gubernur atau Menteri Dalam Negeri (Pasal 41 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007).
- Menutup peluang lahirnya spekulasi tanah.
Dalam
rangka menutup peluang terjadinya spekulasi tanah Perpres No 36 Tahun
2005
Jo.
Perpres No 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun
2007,
mengatur
sebagai berikut :
Jika
lokasi tanah telah ditetapkan sebagai lokasi pembangunan untuk
kepentingan
umum,
maka pihak ketiga yang bermaksud untuk memperoleh tanah dilokasi
tersebut
wajib
memperoleh izin tertulis dari Bupati/Walikota atau Gubernur untuk
wilayah DKI
Jakarta
(Pasal 9 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007)
TATA
CARA PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN
1.
Persiapan
Instansi
pemerintah yang memerlukan tanah mengajukan permohonan penetapan
lokasi
kepada
Bupati/Walikota
atau
Gubernur untuk wilayah DKI Jakarta dengan tembusan
disampaikan
kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Permohonan penetapan
lokasi
diatur sebagai berikut :
- Untuk lokasi yang terletak di 2 (dua) Kabupaten/Kota atau lebih dalam 1 (satu) provinsi diajukan kepada Gubernur.
- Untuk lokasi yang terletak di 2 (dua) provinsi atau lebih diajukan kepada Kepala BPN-RI.
2.
Pelaksanaan
a.
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya lebih dari 1
(satu) hektar.
Khusus
pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya lebih dari 1
(satu)
hektar
berdasarkan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah
dengan
Perpres Nomor 65 Tahun 2006, dibentuk Panitia Pengadaan Tanah
Kabupaten/Kota
dengan
Keputusan
Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah
DKI
Jakarta.
Keanggotaan
Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota terdiri dari paling banyak 9
(Sembilan)
orang dengan susunan sebagai berikut :
- Sekretaris Daerah sebagai Ketua merangkap Anggota;
- Pejabat dari unsur perangkat daerah setingkat eselon II sebagai Wakil Ketua merangkap Anggota;
- Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota atau pejabat yang ditunjuk sebagai Sekretaris merangkap Anggota; dan
- Kepala Dinas/Kantor/Badan di Kabupaten/Kota yang terkait dengan pelaksanaan pengadaan tanah atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota.
Tugas
Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota adalah :
- Penyuluhan kepada masyarakat;
- Inventarisasi bidang tanah dan/atau bangunan dan/atau tanaman;
- Penelitian status hak tanah;
- Pengumuman hasil inventarisasi;
- Menerima hasil penilaian harga tanah dari Lembaga atau Tim Penilai Harga Tanah;
- Memfasilitasi pelaksanaan musyawarah antara Pemilik dengan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah;
- Penetapan besarnya ganti rugi atas dasar kesepakatan harga yang telah dicapai antara pemilik dengan instansi Pemerintah yang memerlukan tanah;
- Menyaksikan penyerahan ganti rugi;
- Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak;
- Mengadministrasikan dan mendokumentasikan berkas pengadaan tanah;
- Menyampaikan permasalahan disertai pertimbangan penyelesaian pengadaan tanah kepada Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah DKI Jakarta apabila musyawarah tidak tercapai kesepakatan untuk pengambilan keputusan.
Panitia
Pengadaan Tanah dalam melaksanakan tugasnya diberikan sejumlah dana
yang
disebut sebagai biaya operasional dalam rangka membantu pengadaan
tanah
bagi
pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Biaya Panitia
Pengadaan
Tanah
tersebut diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
58/PMK.02/2008
tanggal
23 April 2008 tentang Biaya Panitia Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan
Pembangunan
Untuk Kepentingan
Umum.
Biaya operasional tersebut digunakan
untuk
pembayaran honorarium, pengadaan bahan, alat tulis kantor,
cetak/stensil,
fotocopy/penggandaan,
penunjang musyawarah, sosialisasi, sidang-sidang yang
berkaitan
dengan proses pengadaan tanah, satuan tugas (satgas), biaya keamanan,
dan
biaya perjalanan dalam rangka pengadaan tanah.
b.
Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang Luasnya tidak Lebih dari
1 (Satu)
Hektar
dan Pengadaan Tanah Selain untuk Kepentingan Umum.
Pengadaan
tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum
adalah
pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan
Instansi
Pemerintah,
yang dimiliki oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.
Khusus
untuk pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya tidak lebih
dari
1 (satu) hektar dan pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum :
- Dilaksanakan secara langsung oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah melalui proses jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati para pihak.10
- Dapat juga menggunakan bantuan Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota dengan mempergunakan tata cara pengadaan tanah yang sama dengan tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya lebih dari 1 (satu) hektar.
- Bentuk dan besarnya ganti rugi ditentukan dari kesepakatan dalam musyawarah antara Instansi Pemerintah dengan pemegang hak atas tanah (Pemilik tanah).
- Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas :
- Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh panitia;
- nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan;
- nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian.
- PENILAIAN TANAH DALAM PROSES PENGADAAN TANAH
PENILAIAN
Penilaian
harga tanah yang terkena pembangunan untuk kepentingan umum
dilakukan
oleh Lembaga Penilai Harga Tanah/Tim Penilai Harga Tanah. Lembaga
Penilai
Harga
Tanah saat ini dipercayakan kepada Lembaga Penilai Independen yaitu
Lembaga
Appraisal
yang mendapat lisensi dari Menteri Keuangan dan BPN. Sedangkan untuk
harga
bangunan dan/atau tanaman dan/atau benda-benda lain yang berkaitan
dengan
tanah
dilakukan oleh Kepala Dinas/Kantor/Badan di Kabupaten/Kota yang
membidangi
bangunan
dan/atau benda lain yang berkaitan dengan tanah tersebut.
Tim
Penilai Harga Tanah melakukan penilaian harga tanah berdasarkan NJOP
atau nilai
nyata/sebenarnya
dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan, dan dapat berpedoman
pada
variable-variabel sebagai berikut :
- Lokasi dan letak tanah;
- Status tanah;
- Peruntukan tanah;
- Kesesuaian penggunaan tanah dengan rencana tata ruang wilayah atau perencanaan wilayah atau tata kota yang telah ada;
- Sarana dan prasarana yang tersedia; dan
- Faktor lainnya yang mempengaruhi harga tanah.
- GANTI KERUGIAN DALAM PROSES PENGADAAN TANAH
GANTI
KERUGIAN
Permasalahan
pokok dalam pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan
untuk
kepentingan umum adalah mengenai penetapan besarnya ganti rugi.
Ketentuan
mengenai
pemberian ganti rugi ini telah diatur dalam ketentuan
hukum
tanah di Negara
kita.
UUPA mengatur bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan
bangsa
dan
Negara
serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat
dicabut,
dengan
member ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan
undang-undang.
Ganti
rugi yang layak didasarkan atas nilai nyata/sebenarnya dari tanah
atau
benda
yang bersangkutan.13 Pola penetapan ganti rugi atas tanah dinegara
kita
ditetapkan
melalui musyawarah dengan memperhatikan harga umum setempat
disamping
faktor-faktor lain yang mempengaruhi tanah. Ganti kerugian yang
diberikan
dapat berupa :
- Uang;
- Tanah pengganti;
- Pemukiman kembali;
- Gabungan dari dua atau lebih ganti kerugian a, b, dan c;
- Bentuk lain yang disetujui para pihak.
Sedangkan
Perpres No 36 Tahun 2005 Jo. Perpres No 65 Tahun 2006 dan
Peraturan
Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007 menyebutkan makna ganti rugi adalah
penggantian
terhadap kerugian baik bersifat fisik sebagai akibat pengadaan tanah
kepada
yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain
yang
berkaitan
dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik
dari
tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah.
Penentuan
besarnya
ganti rugi didasarkan pada hasil kesepakatan pemilik tanah dengan
Instansi
Pemerintah
yang memerlukan tanah. Hasil kesepakatan tersebut kemudian oleh
Panitia
Pengadaan
Tanah
sesuai dengan tugasnya dituangkan dalam Berita Acara Hasil
Musyawarah,
dan selanjutnya menerbitkan Surat Keputusan Penetapan Besarnya Ganti
Rugi.
Musyawarah antara pemilik tanah dengan Instansi Pemerintah
yang
memerlukan
tanah
tersebut berpedoman pada penilaian harga tanah yang dilakukan oleh
Lembaga/Tim
Penilai Harga Tanah.
Ganti
kerugian menurut Hukum Tanah Nasional ditetapkan menurut nilai
pengganti
(replacement
value) yang
berarti bahwa ganti rugi yang diterima dapat
dimanfaatkan
untuk memperoleh penggantian terhadap
tanah
dan/atau bangunan
dan/atau
tanaman semula dalam kualitas yang minimal setara dengan yang sebelum
terkena
pengadaan tanah.
Sesuai
dengan Konsepsi Hukum Tanah Nasional yaitu adanya keseimbangan antara
kepentingan
umum dan kepentingan perseorangan maka prinsip pengadaan tanah adalah
mewujudkan
pengadaan tanah yang memenuhi rasa keadilan, baik bagi masyarakat
yang
terkena
pengadaan tanah dengan diberi ganti kerugian yang dapat menjamin
kelangsungan
hidupnya
dan bagi Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah untuk dapat
memperoleh
tanah
serta perlindungan maupun kepastian hukum.
Guna
mewujudkan hal tersebut di atas maka pengadaan tanah bagi pembangunan
untuk
kepentingan umum dengan cara pembebasan hak-hak atas tanah masyarakat
haruslah
diatur dalam suatu undang-undang, yang mencerminkan pengakuan dan
penghormatan
terhadap hak asasi manusia khususnya hak-hak keperdataan dan hak-hak
ekonomi
yang dimilikinya. Hal tersebut sampai saat ini belum juga dapat
diwujudkan di
negara
kita. Sampai saat ini Negara kita belum juga memiliki Undang-Undang
yang
mengatur
secara
khusus tentang Pengadaan Tanah, melainkan diatur dengan Peraturan
Presiden.
Namun, dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006
tersebut,
dinilai telah sedikit memberikan kepastian hukum dan aturan-aturan
pengadaan
tanah
yang lebih demokratis, serta sedikit menutup ruang bagi aparat
pemerintah untuk
bertindak
secara sewenang-wenang.
BAB
III
PENUTUP
- KESIMPULAN
Demikian
hasil penyajian gambaran kondisi aktual tentang pengadaan tanah untuk
kepentingan umum yang mengalami perbaikan dari waktu ke waktu, dan
semuanya itu bertujuan untuk memberikan rasa keadilan dan demokratis
bagi rakyat maupun pemerintah yang membutuhkan tanah untuk
pembangunan sehingga menghasilkan win-win solution, memperkecil
potensi konflik dan permasalahan kerawanan yang terjadi dalam
pengadaan tanah.
Selama
ini praktek pengadaan tanah untuk kepentingan umum semenjak tidak
berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan
Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di Atasnya, masih
didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang
Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum,
Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi
Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dan Peraturan Kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007
Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005
Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk
Kepentingan Umum Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Presiden
Nomor 65 Tahun 2006.
Dengan
disahkannya RUU Pengadaan Tanah dalam pembangunan untuk kepentingan
Umum oleh DPR pada tanggal 16 Desember 2011, ada sebuah pemahaman
bahwa Pemerintah dan DPR telah berusaha mewadahi paradigma pengadaan
tanah yang manusiawi, berkeadilan, demokratis dan mampu memberikan
kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat dalam pengadaan tanah
untuk kepentingan umum.
Ada
harapan besar yang disandarkan pada UU Pengadaan tanah ini mampu
menjawab persoalan dan permasalahan, serta meminimalkan potensi
konflik yang terjadi dalam pengadaan tanah. Demikian pula
korban-korban yang terjerat persoalan pidana dalam pengadaan dari
pihak panitia, kemunculan spekulan tanah, pemulihan ekonomi yang
tidak sebanding, dan problem-problem lainnya dapat dicegah dengan
disahkannya UU ini.
Meskipun
ada pihak-pihak yang tidak/belum sepakat dengan hadirnya UU ini,
menurut hemat penulis, pada tatanan hukum dan tatanan sosial perihal
pengaturan pengadaan tanah untuk kepentingan umum ini sudah
seharusnya diatur dalam UU karena menyangkut kepentingan masyarakat
luas, kepentingan pribadi yang berhak, kepentingan pemerintah, bangsa
dan negara dalam pembangunan untuk kepentingan umum. Pengadaan tanah
untuk kepentingan umum ini juga memiliki dampak ikutan yang mampu
menjadi agen perubahan sosial dan ekonomi masyarakat.
Dengan
memahami materi RUU yang telah disahkan ini kiranya dapat dirasakan
dan ditemukan paradigma baru yang diusung untuk menjaga keseimbangan
hak dan kewajiban anatara pemerintah dan rakyat dalam pengadaan tanah
untuk kepentingan umum, serta penghormatan terhadap hak atas tanah
bagi yang berhak.
- SARAN
masyarakat
terkadang tidak mempunyai posisi runding (bergaining position) yang
seimbang, secara psikologis masyarakat berada di bawah tekanan pihak
penguasa.
Penentuan
bentuk dan besarnya ganti rugi dianggap oleh masyarakat tidak layak,
dalam arti bahwa ganti rugi itu tidak dapat digunakan untuk
mempertahankan tingkat kesejahteraan sosial ekonominya, bahkan
tingkat kesejahteraan sosial ekonominya menjadi lebih buruk jika
dibandingkan keadaan sebelum tanahnya dicabut atau dibebaskan haknya.
Batasan
tentang pengertian kepentingan umum yang dijadikan dasar pengadaan
tanah ini sangat abstrak, sehingga menimbulkan penafsiran yag
berbeda-beda dalam masyarakat. Akibatnya terjadi “ketidakpastian
hukum” dan dapat menjurus pada munculnya konflik.
Penggantian
kerugian hanya terbatas bagi masyarakat pemilik tanah ataupun
penggarap tanah,yang berarti ahli warisnya. Ketentuan ini tanpa
memberikan perlindungan terhadap warga masyarakat yang bukan pemilik,
seperti penyewa atau orang yang mengerjakan tanah, yang menguasai dan
menempati serta yang menggunakan tanah. Di samping itu terhadap hak
ulayat yang dibebaskan untuk kepentingan umum, bagi masyarakat adat
tersebut belum dilindungi dan belum mendapat kontribusi dari
pembangunan itu, serta recognisi sebagai ganti pendapatan,
pemanfaatan dan penguasaan hak ulayat mereka yang telah digunakan
untuk pembangunan.
Musyawarah
untuk mencapai kesepakatan, harus dilakukan dengan perundangan yang
benar, saling mendengar dan saling menerima pendapat, berdasarkan
alur dan patut, berdasarkan sukarela antara para pihak tanpa adanya
tekanan psikologis yang dapat menghalangi proses musyawarah tersebut.
Pengaturan
tentang permukiman kembali tidak diatur lebih lanjut, sehingga
permukiman kembali itu dilaksanakan hanya sekedar memindahkan warga
masyarakat yang terkena proyek pembebasan dari tempat yang lama ke
tempat yang baru, tanpa diikuti dengan kegiatan untuk memulihkan
kehidupan sosial ekonomi mereka. Upaya untuk memulihkan kegiatan
ekonomi mereka dengan memperhitungkan kerugian yang dialami oleh
warga yang terkena dampak pembebasan tanahnya, bagi warga masyarakat
yang sebelumnya tanah adalah merupakan aset yang berharga, sebagai
tempat usaha, bertani, berkebun dan sebagainya, terpaksa kehilangan
aset ini, karena mereka dipindahkan ke tempat permukiman yang baru.
Setiap
perselisihan yang terjadi dalam pelaksanaan tentang menentukan bentuk
dan besarnya ganti rugi perlu adanya pemikiran bahwa penyelesaiannya
yang paling utama harus dilakukan dengan penyelesaian ADR
(Alternative Dispute Resolution), yaitu melalui musyawarah, negosiasi
dan mediasi, jika cara ini tidak membuahkan hasil, maka penyelesaian
baru melalui proses yudisial ke pengadilan.
Panitia
pencabutan hak-hak atas tanah harus juga bertanggung jawab terhadap
upaya pemulihan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang terkena dampak
pembebasan.
keren gan isinya cukup lengkap. bisa buat bahan diskusi kelas. hehe...
BalasHapusbegrounya item lagi pas banget buat baca sambil matiin lampu.biar gak ganggu temen yang mau tidur.