MvpTogeteR

MvpTogeteR
Selamat datang Didunia MVP

Selasa, 19 Maret 2013

Pengadaan Tanah sesuai dengan HUKUM AGRARIA

Pengertian Pengadaan Tanah
Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda- benda yang yang berkaitan dengan tanah.
Latar Belakang pengadaan tanah adalah meningkatnya pembangunan untuk kepentingan umum yangg memerlukan tanah sehingga pengadaannya perlu dilakukan secara cepat dan transparan dengan tetap memperhatikan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan yang diatur dalam Keppres No: 55 tahun 1993 sudah tidak sesuai lagi sebagai landasan hukum dalam melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum. Adapun persyaratan pengadaan tanah antara lain:

  • Hanya dapat dilakukan apabila berdasarkan rencana tata ruang wilayah yang ditetapkan terlebih dahulu.
  • Apabila belum ditetapkan rencana tata ruang wilayah, didasarkan pada rencana ruang wilayah atau kota yang telah ada.
  • Apabila tanah telah ditetapkan sebagai lokasi pelaksanaan pembangunan berdasarkan surat keputusan penetapan lokasi yang ditetapkan Gubernur/ Walikota / Bupati, maka bagi siapa saja yang akan melakukan pembelian tanah, terlebih dahulu harus memperoleh persetujuan tertulis dari Bupati/ Wali kota atau Gubernur sesuai dengan kewenangannya.

Definisi pengadaan tanah menurut Pasal 1 angka 2, adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Kata "layak dan adil" dalam definisi tersebut mencerminkan adanya paradigma baru yang menjamin dan menghormati yang berhak. Kata "pihak yang berhak" juga menjawab berbagai persoalan terhadap pelepasan tanah yang diatasnya terdapat bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah tersebut namun belum tentu merupakan hak dari pemilik tanah, bisa saja milik penyewanya, penggunanya, pengolahnya, pengelolanya dan sebagainya. Aturan ini belum ditemukan pada Keppres No. 55 Tahun 1993 dan Perpres No.36 Tahun 2005.

Pasal 1 angka 3, menyebutkan bahwa pihak yang Berhak adalah pihak yang menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah. Jadi yang menguasai obyek pengadaan tanah belum tentu sekaligus sebagai memiliki obyek pengadaan tanah telah masuk dalam definisi pihak yang Berhak. Pasal 1 angka 4, menyebutkan objek pengadaan tanah adalah tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah, atau lainnya yang dapat dinilai. Dari 2 definisi ini dapat diharapkan adanya pemberian ganti rugi yang adil kepada pihak-pihak yang berhak atas pemberian ganti kerugian yang seringkali memicu potensi konflik.

Definisi kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pada draft naskah akademik RUU ini definisi kepentingan umum belum termuat. Pada Perpres No. 36 Tahun 2005 pengertian kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat. Definisi kepentingan umum dalam RUU yang disahkan tersebut ternyata lebih memiliki kejelasan dengan menekankan adanya kepentingan bangsa, negara dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah.

Diperkenalkannya instrumen konsultasi publik dalam proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 angka 8 yang menyebutkan bahwa konsultasi publik adalah proses komunikasi dialogis atau musyawarah antarpihak yang berkepentingan guna mencapai kesepahaman dan kesepakatan dalam perencanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan. Dengan konsultasi publik ini instansi yang memerlukan tanah menjelaskan antara lain mengenai rencana pembangunan dan cara perhitungan ganti kerugian yang akan dilakukan oleh penilai pertanahan.

Pencantuman asas pengadaan tanah untuk kepentingan umum, yang meliputi 10 asas yaitu :

    1. Asas Kemanusiaan, adalah pengadaan tanah harus memberikan perlindungan serta menghormati terhadap hak asasi manusia, harkat, dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
    2. Asas Keadilan, adalah memberikan jaminan penggantian yang layak kepada Pihak yang Berhak dalam proses pengadaan tanah sehingga mendapatkan kesempatan untuk dapat melangsungkan kehidupan yang lebih baik.
    3. Asas Kemanfaatan, adalah hasil pengadaan tanah mampu memberikan manfaat secara luas bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara.
    4. Asas Kepastian, adalah memberikan kepastian hukum tersedianya tanah dalam proses pengadaan tanah untuk pembangunan dan memberikan jaminan kepada Pihak yang Berhak untuk mendapatkan ganti kerugian yang layak.
    5. Asas Keterbukaan, adalah bahwa pengadaan tanah untuk pembangunan dilaksanakan dengan memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan pengadaan tanah.
    6. Asas Kesepakatan, adalah bahwa proses pengadaan tanah dilakukan dengan cara musyawarah para pihak tanpa unsur paksaan untuk mendapatkan kesepakatan bersama.
    7. Asas Keikutsertaan, adalah dukungan dalam penyelenggaraan pengadaan tanah melalui partisipasi masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung sejak perencanaan sampai dengan pembangunan.
    8. Asas Kesejahteraan,adalah bahwa pengadaan tanah untuk pembangunan dapat memberikan nilai tambah bagi kelangsungan kehidupan pihak yang berhak dan masyarakat secara luas.
    9. Asas Keberlanjutan, adalah kegiatan pembangunan dapat berlangsung secara terus menerus, berkesinambungan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
    10. Asas Keselarasan, adalah bahwa pengadaan tanah untuk pembangunan dapat seimbang dan sejalan dengan kepentingan masyarakat dan Negara.

Asas kemanusiaan pada draft RUU naskah akademik sebelumnya belum termuat. Dimuatnya tambahan asas kemanusiaan dan ditempatkan paling awal telah menegaskan adanya prinsip kemanusiaan yang harus dipatuhi dalam setiap pengadaan tanah untuk kepentingan umum, selain mematuhi 9 asas lainnya. Secara mudah argumentasinya dapat dijelaskan bahwa meski pengadaan tanah untuk kepentingan umum bersifat wajib/keharusan bagi pemerintah untuk mewujudkannya, namun harus tetap memperhatikan sisi kemanusiaan bagi yang berhak.
Adanya penegasan tujuan dari pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang dimuat Pasal 3, yaitu bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak.
Cakupan pengadaan tanah yang digunakan untuk kepentingan umum dalam pembangunan telah dipertegas dalam Pasal 10 dengan jumlah 18 item. Dilihat dari materinya merupakan penegasan dan penyempurnaan cakupan dari Pasal 5 Perpres 63 Tahun 2005 yang memiliki 21 item, dan perpres 65 tahun 2006 dengan 7 item. Ke 18 item cakupan pengadaan tanah untuk kepentingan umum tersebut adalah meliputi :

    1. Pertahanan dan keamanan nasional;
    2. Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;
    3. Waduk, bendungan, bending, irigasi, saluran air minum, seluran pembuangan air dan sanitasi, bangunan pengairan lainnya;
    4. Pelabuhan, Bandar udara, dan terminal;
    5. Infrastruktur minyak, gas dan panas bumi, meliputi transmisi dan/atau distribusi minyak, gas dan panas bumi;
    6. Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;
    7. Jaringan telekomunikasi and informatika;
    8. Tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
    1. Rumah sakit pemerintah/pemerintah daerah;
    2. Fasilitas keselamatan umum
    3. Tempat pemakaman umum pemerintah/pemerintah daerah;
    4. Fasilitas keselamatan umum;
    5. Fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
    6. Cagar alam dan cagar budaya;
    7. Kantor pemerintah/pemerintah daerah/desa;
    8. Penataan pemukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa;
    9. Prasarana pendidikan atau sekolah pemerintah/pemerintah daerah;
    10. Prasarana olah raga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan
    11. Pasar umum dan lapangan parkir umum.
Pasal 11 mengatur bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum wajib diselenggarakan oleh pemerintah dan tanahnya selanjutnya dimiliki Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Jika yang memerlukan BUMN maka tanah untuk kepentingan umum menjadi milik BUMN.
Pasal 12 mengatur bahwa pembangunan untuk kepentingan umum wajib diselenggarakan Pemerintah, dan dapat bekerjasama dengan BUMN, BUMD, atau Badan Usaha Swasta. Dalam hal pembangunan pertahanan dan keamanan nasional maka pembangunannya diselenggarakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Tahapan pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan melalui : a. perencanaan; b. persiapan, c. pelaksanaan; dan d. penyerahan hasil, yang rincian pengaturannya dibahas dalam pasal-pasal selanjutnya.
Penilaian besarnya ganti kerugian oleh Penilai dilakukan per bidang tanah, meliputi : a. tanah; b. ruang atas tanah dan bawah tanah; c. bangunan; d. tanaman; e. benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau f. kerugian lain yang dapat dinilai. Dalam bagian penjelasan diterangkan bahwa yang dimaksud "Kerugian lain yang dapat dinilai" adalah kerugian nonfisik yang dapat disetarakan dengan niai uang, misalnya kerugian karena kehilangan usaha atau pekerjaan, baiaya pemindahan tempat, biaya alih profesi, dan nilai atas properti sisa.
Dalam hal bidang tanah tertentu yang terkena pengadaan tanah terdapat sisa yang tidak lagi dapat difungsikan sesuai peruntukan dan penggunaannya, Pihak yang berhak dapat meminta penggantian secara utuh atas bidang tanahnya.
Perencanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum disusun dalam bentuk dokumen perencanaan pengadaan tanah, yang paling sedikit memuat :

    1. maksud dan tujuan rencana pembangunan;
    2. kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah dan rencana pembangunan nasional dan daerah;
    3. letak tanah;
    4. luas tanah yang dibutuhkan;
    5. gambaran umum status tanah;
    6. perkiraan waktu pelaksanaan pengadaan tanah;
    7. perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan;
    8. perkiraan nilai tanah; dan
    9. rencana penganggaran.
Dokumen perencanaan ini disusun berdasar studi kelayakan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, dan ditetapkan oleh instansi yang memerlukan tanah.

 
  • DASAR HUKUM DALAM PENGADAAN TANAH


DASAR HUKUM
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sejak tahun 1961 sampai dengan sekarang telah berlaku Undang-undang No. 20 Tahun 1961, kemudian dilanjutkan dengan kebijakan pemerintah melalui PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) No. 15 Tahun 1975, kemudian dicabut dan diganti dengan Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum. Namun dengan berlakunya ketentuan tersebut dalam proses pelaksanaannya tetap menimbulkan konflik dalam masyarakat. Untuk itu perlu dikaji ulang keberadaan dari Keppres No. 55 Tahun 1993 dan dikaitkan pula dengan Undang-undang No. 22 Tahun 1999,

tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 25 Tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pengadaan tanah kemudian diatur dengan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 yang kemudian dirubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006. Sampai dengan saat ini Indonesia belum memiliki Undang-Undang yang mengatur secara khusus tentang Pengadaan Tanah. Ditingkat Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), pengadaan tanah diatur dalam Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

 
  • BENTUK - BENTUK PENGADAAN TANAH

BENTUK-BENTUK PENGADAAN TANAH MENURUT HUKUM AGRARIA INDONESIA
Pada prinsipnya Hukum Agraria Indonesia mengenal 2 (dua) bentuk pengadaan
tanah yaitu :
1. Dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah (pembebasan hak atas tanah) ;
2. Dilaksanakan dengan cara pencabutan hak atas tanah.
Perbedaan yang menonjol antara pencabutan hak atas tanah dengan pembebasan tanah ialah, jika dalam pencabutan hak atas tanah dilakukan dengan cara paksa, maka dalam pembebasan tanah dilakukan dengan berdasar pada asas musyawarah. Sebelumnya oleh Perpres No 36 Tahun 2005 ditentukan secara tegas bahwa bentuk pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan hak atas tanah dan dengan cara pencabutan hak atas tanah. Namun dengan dikeluarkannya Perpres No 65 Tahun 2006, hanya ditegaskan bahwa pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan. Tidak dicantumkannya secara tegas cara pencabutan hak atas tanah di dalam Perpres No. 65/2006 bukan berarti menghilangkan secara mutlak cara pencabutan tersebut, melainkan untuk memberikan kesan bahwa cara pencabutan adalah cara paling terakhir yang dapat ditempuh apabila jalur musyawarah gagal . Hal ini ditafsirkan secara imperatif dimana jalur pembebasan tanah harus ditempuh terlebih dahulu sebelum mengambil jalur pencabutan hak atas tanah.
Jika pada Perpres No. 36 Tahun 2005 terdapat kesan alternatif antara cara pembebasan dan pencabutan, maka pada Perpres No.65 Tahun 2006 antara cara pembebasan dan pencabutan sifatnya prioritas-baku. Ini agar pemerintah tidak sewenang - wenang dan tidak dengan mudah saja dalam mengambil tindakan dalam kaitannya dengan pengadaan tanah. Artinya ditinjau dari segi Hak Asasi Manusia (HAM), Perpres No 65 Tahun 2006 dinilai lebih manusiawi jika dibandingkan peraturan-peraturan sebelumnya. Selain bersifat lebih manusiawi, Perpres No 65 Tahun 2006 juga memberikan suatu terobosan kecil yaitu dengan dicantumkannya pasal 18A. Pasal 18A menentukan apabila yang berhak atas tanah atau benda-benda yang ada di atasnya yang haknya dicabut tidak bersedia menerima ganti rugi sebagaimana ditetapkan, karena dianggap jumlahnya kurang layak, maka yang bersangkutan dapat meminta banding kepada Pengadilan Tinggi agar menetapkan ganti rugi sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di Atasnya. Ketentuan Pasal 18 A ini mempertegas ketentuan Pasal 8 UU No. 20 Tahun 1961. Meskipun pengaduan ini sudah ditentukan sebelumnya oleh UU No. 20/1961 namun kurang memberikan kepastian hukum karena Perpres-Perpres yang ada hanya menegaskan pengajuan keberatan kepada Bupati/Walikota, Gubernur, atau Menteri Dalam Negeri. Sehingga dianggap dapat memberikan ruang untuk meminimalisir kesewenang-wenangan birokrasi eksekutif yang notabene adalah pihak yang paling berkepentingan dalam urusan ini.

PRINSIP DASAR PENGATURAN PENGADAAN TANAH
Prinsip dasar pengaturan pengadaan tanah yang diatur dalam Perpres No 36 Tahun 2005 Jo. Perpres No 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007 yaitu :
  1. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum, dipastikan tersedia tanahnya. Bahwa dalam rangka terpastikan untuk kepentingan umum tersedianya tanah, maka Perpres No 36 Tahun 2005 Jo. Perpres No 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007 mengatur
  1. Kepastian Lokasi (Pasal 39 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);
  2. Adanya penitipan ganti rugi ke pengadilan (Pasal 37 dan 48 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);
  3. Penerapan UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dengan Pemberian Ganti Rugi (Pasal 41 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007).
  1. Hak-hak dasar masyarakat atas tanah terlindungi. Dalam rangka memperhatikan hak-hak masyarakat terlindungi, Perpres No 36 Tahun 2005 Jo. Perpres No 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007, mengatur :
    1. Sosialiasi lokasi (Pasal 8 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);
    2. Adanya penyuluhan tentang manfaat, maksud dan tujuan pembangunan kepada masyarakat (Pasal 19 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);
    3. Pengumuman hasil inventarisasi tanah, bangunan, tanaman, dan benda lain yang berkaitan dengan tanah guna memberi kesempatan kepada pihak yang berkepentingan untuk mengajukan keberatan (Pasal 23 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);
    4. Penilaian harga tanah dilakukan oleh Lembaga Penilai Harga yang professional dan independen (Pasal 27 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);
    5. Musyawarah penetapan ganti rugi dilakukan secara langsung antara Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dengan pemilik tanah (Pasal 31 dan 32 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007), sedangkan Panitia Pengadaan Tanah hanya sebagai fasilitator dalam pelaksanaan musyawarah tersebut ;
    6. Adanya hak mengajukan keberatan terhadap bentuk dan besarnya ganti rugi yang ditetapkan oleh Panitia Pengadaan Tanah kepada Bupati/Walikota, Gubernur atau Menteri Dalam Negeri (Pasal 41 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007).
  1. Menutup peluang lahirnya spekulasi tanah.
Dalam rangka menutup peluang terjadinya spekulasi tanah Perpres No 36 Tahun 2005 Jo. Perpres No 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007, mengatur sebagai berikut :
Jika lokasi tanah telah ditetapkan sebagai lokasi pembangunan untuk kepentingan umum, maka pihak ketiga yang bermaksud untuk memperoleh tanah dilokasi tersebut wajib memperoleh izin tertulis dari Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah DKI Jakarta (Pasal 9 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007)


  • TATA CARA PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN

TATA CARA PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN
1. Persiapan
Instansi pemerintah yang memerlukan tanah mengajukan permohonan penetapan lokasi kepada Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah DKI Jakarta dengan tembusan disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Permohonan penetapan lokasi diatur sebagai berikut :
      • Untuk lokasi yang terletak di 2 (dua) Kabupaten/Kota atau lebih dalam 1 (satu) provinsi diajukan kepada Gubernur.
      • Untuk lokasi yang terletak di 2 (dua) provinsi atau lebih diajukan kepada Kepala BPN-RI.
2. Pelaksanaan
a. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya lebih dari 1 (satu) hektar.
Khusus pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya lebih dari 1 (satu) hektar berdasarkan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2006, dibentuk Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota dengan Keputusan Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah DKI Jakarta.
Keanggotaan Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota terdiri dari paling banyak 9
(Sembilan) orang dengan susunan sebagai berikut :
  1. Sekretaris Daerah sebagai Ketua merangkap Anggota;
  2. Pejabat dari unsur perangkat daerah setingkat eselon II sebagai Wakil Ketua merangkap Anggota;
  1. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota atau pejabat yang ditunjuk sebagai Sekretaris merangkap Anggota; dan
  2. Kepala Dinas/Kantor/Badan di Kabupaten/Kota yang terkait dengan pelaksanaan pengadaan tanah atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota.

Tugas Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota adalah :
  1. Penyuluhan kepada masyarakat;
  2. Inventarisasi bidang tanah dan/atau bangunan dan/atau tanaman;
  3. Penelitian status hak tanah;
  4. Pengumuman hasil inventarisasi;
  5. Menerima hasil penilaian harga tanah dari Lembaga atau Tim Penilai Harga Tanah;
  6. Memfasilitasi pelaksanaan musyawarah antara Pemilik dengan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah;
  7. Penetapan besarnya ganti rugi atas dasar kesepakatan harga yang telah dicapai antara pemilik dengan instansi Pemerintah yang memerlukan tanah;
  8. Menyaksikan penyerahan ganti rugi;
  9. Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak;
  10. Mengadministrasikan dan mendokumentasikan berkas pengadaan tanah;
  11. Menyampaikan permasalahan disertai pertimbangan penyelesaian pengadaan tanah kepada Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah DKI Jakarta apabila musyawarah tidak tercapai kesepakatan untuk pengambilan keputusan.

Panitia Pengadaan Tanah dalam melaksanakan tugasnya diberikan sejumlah dana yang disebut sebagai biaya operasional dalam rangka membantu pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Biaya Panitia Pengadaan Tanah tersebut diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 58/PMK.02/2008 tanggal 23 April 2008 tentang Biaya Panitia Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Biaya operasional tersebut digunakan untuk pembayaran honorarium, pengadaan bahan, alat tulis kantor, cetak/stensil, fotocopy/penggandaan, penunjang musyawarah, sosialisasi, sidang-sidang yang berkaitan dengan proses pengadaan tanah, satuan tugas (satgas), biaya keamanan, dan biaya perjalanan dalam rangka pengadaan tanah.

b. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang Luasnya tidak Lebih dari 1 (Satu) Hektar dan Pengadaan Tanah Selain untuk Kepentingan Umum.
Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum adalah pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan Instansi Pemerintah, yang dimiliki oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Khusus untuk pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya tidak lebih dari 1 (satu) hektar dan pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum :
      • Dilaksanakan secara langsung oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah melalui proses jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati para pihak.10
      • Dapat juga menggunakan bantuan Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota dengan mempergunakan tata cara pengadaan tanah yang sama dengan tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya lebih dari 1 (satu) hektar.
      • Bentuk dan besarnya ganti rugi ditentukan dari kesepakatan dalam musyawarah antara Instansi Pemerintah dengan pemegang hak atas tanah (Pemilik tanah).
      • Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas :
  1. Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh panitia;
  2. nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan;
  3. nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian.

  • PENILAIAN TANAH DALAM PROSES PENGADAAN TANAH

PENILAIAN
Penilaian harga tanah yang terkena pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan oleh Lembaga Penilai Harga Tanah/Tim Penilai Harga Tanah. Lembaga Penilai Harga Tanah saat ini dipercayakan kepada Lembaga Penilai Independen yaitu Lembaga Appraisal yang mendapat lisensi dari Menteri Keuangan dan BPN. Sedangkan untuk harga bangunan dan/atau tanaman dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah dilakukan oleh Kepala Dinas/Kantor/Badan di Kabupaten/Kota yang membidangi bangunan dan/atau benda lain yang berkaitan dengan tanah tersebut.

Tim Penilai Harga Tanah melakukan penilaian harga tanah berdasarkan NJOP atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan, dan dapat berpedoman pada variable-variabel sebagai berikut :
    1. Lokasi dan letak tanah;
    2. Status tanah;
    3. Peruntukan tanah;
    4. Kesesuaian penggunaan tanah dengan rencana tata ruang wilayah atau perencanaan wilayah atau tata kota yang telah ada;
    5. Sarana dan prasarana yang tersedia; dan
    6. Faktor lainnya yang mempengaruhi harga tanah.

  • GANTI KERUGIAN DALAM PROSES PENGADAAN TANAH


GANTI KERUGIAN
Permasalahan pokok dalam pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum adalah mengenai penetapan besarnya ganti rugi. Ketentuan mengenai pemberian ganti rugi ini telah diatur dalam ketentuan hukum tanah di Negara kita. UUPA mengatur bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan member ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.
Ganti rugi yang layak didasarkan atas nilai nyata/sebenarnya dari tanah atau benda yang bersangkutan.13 Pola penetapan ganti rugi atas tanah dinegara kita ditetapkan melalui musyawarah dengan memperhatikan harga umum setempat disamping faktor-faktor lain yang mempengaruhi tanah. Ganti kerugian yang diberikan dapat berupa :
    1. Uang;
    2. Tanah pengganti;
    3. Pemukiman kembali;
    4. Gabungan dari dua atau lebih ganti kerugian a, b, dan c;
    5. Bentuk lain yang disetujui para pihak.
Sedangkan Perpres No 36 Tahun 2005 Jo. Perpres No 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007 menyebutkan makna ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah. Penentuan besarnya ganti rugi didasarkan pada hasil kesepakatan pemilik tanah dengan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah. Hasil kesepakatan tersebut kemudian oleh Panitia Pengadaan Tanah sesuai dengan tugasnya dituangkan dalam Berita Acara Hasil Musyawarah, dan selanjutnya menerbitkan Surat Keputusan Penetapan Besarnya Ganti Rugi. Musyawarah antara pemilik tanah dengan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah tersebut berpedoman pada penilaian harga tanah yang dilakukan oleh Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah. Ganti kerugian menurut Hukum Tanah Nasional ditetapkan menurut nilai pengganti (replacement value) yang berarti bahwa ganti rugi yang diterima dapat dimanfaatkan untuk memperoleh penggantian terhadap tanah dan/atau bangunan dan/atau tanaman semula dalam kualitas yang minimal setara dengan yang sebelum terkena pengadaan tanah.

Sesuai dengan Konsepsi Hukum Tanah Nasional yaitu adanya keseimbangan antara kepentingan umum dan kepentingan perseorangan maka prinsip pengadaan tanah adalah mewujudkan pengadaan tanah yang memenuhi rasa keadilan, baik bagi masyarakat yang terkena pengadaan tanah dengan diberi ganti kerugian yang dapat menjamin kelangsungan hidupnya dan bagi Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah untuk dapat memperoleh tanah serta perlindungan maupun kepastian hukum. Guna mewujudkan hal tersebut di atas maka pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dengan cara pembebasan hak-hak atas tanah masyarakat haruslah diatur dalam suatu undang-undang, yang mencerminkan pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia khususnya hak-hak keperdataan dan hak-hak ekonomi yang dimilikinya. Hal tersebut sampai saat ini belum juga dapat diwujudkan di negara kita. Sampai saat ini Negara kita belum juga memiliki Undang-Undang yang mengatur secara khusus tentang Pengadaan Tanah, melainkan diatur dengan Peraturan Presiden. Namun, dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tersebut, dinilai telah sedikit memberikan kepastian hukum dan aturan-aturan pengadaan tanah yang lebih demokratis, serta sedikit menutup ruang bagi aparat pemerintah untuk bertindak secara sewenang-wenang.






BAB III
PENUTUP


  • KESIMPULAN

Demikian hasil penyajian gambaran kondisi aktual tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang mengalami perbaikan dari waktu ke waktu, dan semuanya itu bertujuan untuk memberikan rasa keadilan dan demokratis bagi rakyat maupun pemerintah yang membutuhkan tanah untuk pembangunan sehingga menghasilkan win-win solution, memperkecil potensi konflik dan permasalahan kerawanan yang terjadi dalam pengadaan tanah.

Selama ini praktek pengadaan tanah untuk kepentingan umum semenjak tidak berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di Atasnya, masih didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006.

Dengan disahkannya RUU Pengadaan Tanah dalam pembangunan untuk kepentingan Umum oleh DPR pada tanggal 16 Desember 2011, ada sebuah pemahaman bahwa Pemerintah dan DPR telah berusaha mewadahi paradigma pengadaan tanah yang manusiawi, berkeadilan, demokratis dan mampu memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

Ada harapan besar yang disandarkan pada UU Pengadaan tanah ini mampu menjawab persoalan dan permasalahan, serta meminimalkan potensi konflik yang terjadi dalam pengadaan tanah. Demikian pula korban-korban yang terjerat persoalan pidana dalam pengadaan dari pihak panitia, kemunculan spekulan tanah, pemulihan ekonomi yang tidak sebanding, dan problem-problem lainnya dapat dicegah dengan disahkannya UU ini.

Meskipun ada pihak-pihak yang tidak/belum sepakat dengan hadirnya UU ini, menurut hemat penulis, pada tatanan hukum dan tatanan sosial perihal pengaturan pengadaan tanah untuk kepentingan umum ini sudah seharusnya diatur dalam UU karena menyangkut kepentingan masyarakat luas, kepentingan pribadi yang berhak, kepentingan pemerintah, bangsa dan negara dalam pembangunan untuk kepentingan umum. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum ini juga memiliki dampak ikutan yang mampu menjadi agen perubahan sosial dan ekonomi masyarakat.

Dengan memahami materi RUU yang telah disahkan ini kiranya dapat dirasakan dan ditemukan paradigma baru yang diusung untuk menjaga keseimbangan hak dan kewajiban anatara pemerintah dan rakyat dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, serta penghormatan terhadap hak atas tanah bagi yang berhak.

  • SARAN

masyarakat terkadang tidak mempunyai posisi runding (bergaining position) yang seimbang, secara psikologis masyarakat berada di bawah tekanan pihak penguasa.
Penentuan bentuk dan besarnya ganti rugi dianggap oleh masyarakat tidak layak, dalam arti bahwa ganti rugi itu tidak dapat digunakan untuk mempertahankan tingkat kesejahteraan sosial ekonominya, bahkan tingkat kesejahteraan sosial ekonominya menjadi lebih buruk jika dibandingkan keadaan sebelum tanahnya dicabut atau dibebaskan haknya.

Batasan tentang pengertian kepentingan umum yang dijadikan dasar pengadaan tanah ini sangat abstrak, sehingga menimbulkan penafsiran yag berbeda-beda dalam masyarakat. Akibatnya terjadi “ketidakpastian hukum” dan dapat menjurus pada munculnya konflik.

Penggantian kerugian hanya terbatas bagi masyarakat pemilik tanah ataupun penggarap tanah,yang berarti ahli warisnya. Ketentuan ini tanpa memberikan perlindungan terhadap warga masyarakat yang bukan pemilik, seperti penyewa atau orang yang mengerjakan tanah, yang menguasai dan menempati serta yang menggunakan tanah. Di samping itu terhadap hak ulayat yang dibebaskan untuk kepentingan umum, bagi masyarakat adat tersebut belum dilindungi dan belum mendapat kontribusi dari pembangunan itu, serta recognisi sebagai ganti pendapatan, pemanfaatan dan penguasaan hak ulayat mereka yang telah digunakan untuk pembangunan.
Musyawarah untuk mencapai kesepakatan, harus dilakukan dengan perundangan yang benar, saling mendengar dan saling menerima pendapat, berdasarkan alur dan patut, berdasarkan sukarela antara para pihak tanpa adanya tekanan psikologis yang dapat menghalangi proses musyawarah tersebut.

Pengaturan tentang permukiman kembali tidak diatur lebih lanjut, sehingga permukiman kembali itu dilaksanakan hanya sekedar memindahkan warga masyarakat yang terkena proyek pembebasan dari tempat yang lama ke tempat yang baru, tanpa diikuti dengan kegiatan untuk memulihkan kehidupan sosial ekonomi mereka. Upaya untuk memulihkan kegiatan ekonomi mereka dengan memperhitungkan kerugian yang dialami oleh warga yang terkena dampak pembebasan tanahnya, bagi warga masyarakat yang sebelumnya tanah adalah merupakan aset yang berharga, sebagai tempat usaha, bertani, berkebun dan sebagainya, terpaksa kehilangan aset ini, karena mereka dipindahkan ke tempat permukiman yang baru.

Setiap perselisihan yang terjadi dalam pelaksanaan tentang menentukan bentuk dan besarnya ganti rugi perlu adanya pemikiran bahwa penyelesaiannya yang paling utama harus dilakukan dengan penyelesaian ADR (Alternative Dispute Resolution), yaitu melalui musyawarah, negosiasi dan mediasi, jika cara ini tidak membuahkan hasil, maka penyelesaian baru melalui proses yudisial ke pengadilan.

Panitia pencabutan hak-hak atas tanah harus juga bertanggung jawab terhadap upaya pemulihan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang terkena dampak pembebasan.


1 komentar:

  1. keren gan isinya cukup lengkap. bisa buat bahan diskusi kelas. hehe...
    begrounya item lagi pas banget buat baca sambil matiin lampu.biar gak ganggu temen yang mau tidur.

    BalasHapus