MvpTogeteR

MvpTogeteR
Selamat datang Didunia MVP

Selasa, 19 Maret 2013

KDRT dari sudut pandang HUKUM Nasional, Agama, dan Adat

BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang

Dalam Hukum Perdata, Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang berperan dan berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan sosial dan perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Keluarga memerlukan organisasi tersendiri dan perlu kepala rumah tangga sebagai tokoh penting yang memimpin keluarga disamping beberapa anggota keluarga lainnya. Anggota keluarga terdiri dari Ayah, ibu, dan anak merupakan sebuah satu kesatuan yang memiliki hubungan yang sangat baik. Hubungan baik ini ditandai dengan adanya keserasian dalam hubungan timbal balik antar semua anggota/individu dalam keluarga. Sebuah keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota keluarga merasa bahagia yang ditandai dengan tidak adanya konflik, ketegangan, kekecewaan dan kepuasan terhadap keadaan (fisik, mental, emosi dan sosial) seluruh anggota keluarga. Keluarga disebut disharmonis apabila terjadi sebaliknya.

Ketegangan maupun konflik antara suami dan istri maupun orang tua dengan anak merupakan hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah tangga. Tidak ada rumah tangga yang berjalan tanpa konflik namun konflik dalam rumah tangga bukanlah sesuatu yang menakutkan. Hampir semua keluarga pernah mengalaminya. Yang mejadi berbeda adalah bagaimana cara mengatasi dan menyelesaikan hal tersebut. Penyelesaian masalah dilakukan dengan marah yang berlebih-lebihan, hentakan-hentakan fisik sebagai pelampiasan kemarahan, teriakan dan makian maupun ekspresi wajah menyeramkan. Terkadang muncul perilaku seperti menyerang, memaksa, mengancam atau melakukan kekerasan fisik. Perilaku seperti ini dapat dikatakan pada tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Berbagai pendapat, persepsi, dan definisi mengenai KDRT berkembang dalam masyarakat. Pada umumnya orang berpendapat bahwa KDRT adalah urusan intern keluarga dan rumah tangga. Anggapan ini telah membudaya bertahun, berabad bahkan bermilenium lamanya, di kalangan masyarakat termasuk aparat penegak hukum. Jika seseorang (perempuan atau anak) disenggol di jalanan umum dan ia minta tolong, maka masyarakat termasuk aparat polisi akan segera menolong dia. Namun jika seseorang (perempuan dan anak) dipukuli sampai babak belur di dalam rumahnya, walau pun ia sudah berteriak minta tolong, orang segan menolong karena tidak mau mencampuri urusan rumahtangga orang lain. Berbagai kasus akibat fatal dari kekerasan orangtua terhadap anaknya, suami terhadap istrinya, majikan terhadap pembantu rumahtangga, terkuak dalam surat kabar dan media masa. Masyarakat membantu dan aparat polisi bertindak setelah akibat kekerasan sudah fatal, korbannya sudah meninggal, atau pun cacat.

Sehingga Oleh Karena itu dewasa ini, bahwa masyarakat termasuk aparat penegak hukum berpendapat bahwa diperlukan undang-undang sebagai dasar hukum untuk dapat mengambil tindakan terhadap suatu kejahatan, demikian pula untuk menangani KDRT. Lalu kini, telah ada Undang-undangnya yang khusus untuk mengatur mengenai Penghapusan KDRT, yaitu UU No.23 Tahun 2004 tentang PENGHAPUSAN KDRT (UU P KDRT). Dan untuk membahas mengenai Hukum Penghapusan KDRT ini, maka dengan Penulisan Makalah ini. Sebenarnya Hukum Penghapusan KDRT ini, dapat ditinjau dari berbagai Sudut pandang. Baik sudut pandang Segi Hukum nasional, Agama, dan Adat. Sebab untuk menjadi sebuah aturan Hukum yang berlaku di masyarakat (living law), juga tidak akan Lepas dari sudut Pandang Hukum Nasional, Agama, dan Adat.



BAB II
PEMBAHASAN

  • Pengertian KDRT

KDRT atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga memiliki arti setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

  • Bentuk-Bentuk KDRT
  • Kekerasan Fisik
Kekerasan Fisik Berat, berupa penganiayaan berat seperti menendang; memukul, menyundut; melakukan percobaan pembunuhan atau pembunuhan dan semua perbuatan lain yang dapat mengakibatkan:

  • Cedera berat
  • Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari
  • Pingsan
  • Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati
  • Kehilangan salah satu panca indera.
  • Mendapat cacat.
  • Menderita sakit lumpuh.
  • Terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih
  • Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan
  • Kematian korban.

Kekerasan Fisik Ringan, berupa menampar, menjambak, mendorong, dan perbuatan lainnya yang mengakibatkan:
  • Cedera ringan
  • Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat
Melakukan repitisi kekerasan fisik ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan berat.


  • Kekerasan Psikis
Kekerasan Psikis Berat, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan; kekerasan dan atau ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis; yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis berat berupa salah satu atau beberapa hal berikut:
  • Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun.
  • Gangguan stres pasca trauma.
  • Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa indikasi medis)
  • Depresi berat atau destruksi diri
  • Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya
  • Bunuh diri

Kekerasan Psikis Ringan, berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan, perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, dan isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau menghina; penguntitan; ancaman kekerasan fisik, seksual dan ekonomis;yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis ringan, berupa salah satu atau beberapa hal di bawah ini:
  • Ketakutan dan perasaan terteror
  • Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak
  • Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual
  • Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan pencernaan tanpa indikasi medis)
  • Fobia atau depresi temporer
  • Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual berat, berupa:
  • Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.
  • Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki.
  • Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan.
  • Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu.
  • Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.
  • Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera.

Kekerasan Seksual Ringan, berupa pelecehan seksual secara verbal seperti komentar verbal, gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal, seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat melecehkan dan atau menghina korban.
Melakukan repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis kekerasan seksual berat.

  • Kekerasan Ekonomi
Kekerasan Ekonomi Berat, yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian lewat sarana ekonomi berupa:
  • Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran.
  • Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
  • Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau memanipulasi harta benda korban.
Kekerasan Ekonomi Ringan, berupa melakukan upaya-upaya sengaja yang menjadikan korban tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya.

  • FAKTOR – FAKTOR Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga.


Ada beberapa Faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam Ruang Lingkup Rumah Tangga, antara lain sebagai Berikut :

  1. Laki-laki dan perempuan tidak dalam posisi yang setara

  2. Masyarakat menganggap laki-laki dengan menanamkan anggapan bahwa laki-laki harus kuat, berani serta tanpa ampun

  3. KDRT dianggap bukan sebagai permasalahan sosial, tetapi persoalan pribadi terhadap relasi suami istri

  4. Pemahaman keliru terhadap ajaran agama, sehingga timbul anggapan bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan

  5. Pembelaan atas kekuasaan laki-laki
    Laki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.
  1. Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomi
    Diskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan.
  1. Beban pengasuhan anak
    Istri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga.
  1. Wanita sebagai anak-anak
    Konsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan kele-luasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.
  1. Orientasi peradilan pidana pada laki-laki
    Posisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga.

  • Kekerasan dalam Rumah Tangga menurut sudut pandang Hukum Nasional

Kekerasan dalam Rumah Tangga menurut sudut Pandang Hukum Nasional, tertuang dalam UU No. 23 Tahun 2004. Dimana implementasi Undang – Undang ini sebenarnya merupakan implementasi negara yang meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Elimination of All Form of Discrimination/CEDAW) melalui Undang-undang No 7 tahun 1984. Juga berdasar Deklarasi Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang dilahirkan PBB tanggal 20 Desember 1993 dan telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Bahkan di Indonesia telah disahkan Undang-undang No 23 Tahun 2004 tentang ‘Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang No.23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, memiliki arti setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Masalah kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan perlindungan hukum dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 yang antara lain menegaskan bahwa:
    1. Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebes dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-undang Republik Indonesia tahun 1945.
    2. Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk deskriminasi yang harus dihapus.
    3. Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah perempuan, hal itu harus mendapatkan perlindungan dari Negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
    4. Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu dibentuk Undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
  1. Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri sebenarnya merupakan unsur yang berat dalam tindak pidana, dasar hukumnya adalah KUHP (kitab undang-undang hukum pidana) pasal 356 yang secara garis besar isi pasal yang berbunyi:
Barang siapa yang melakukan penganiayaan terhadap ayah, ibu, isteri atau anak diancam hukuman pidana”

UU tentang KDRT merupakan hukum publik yang didalamnya ada ancaman pidana penjara atau denda bagi yang melanggarnya, maka masyarakat luas khususnya kaum lelaki, dalam kedudukan sebagai kepala keluarga sebaiknya mengetahui apa itu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Adapun tentang siapa saja yang termasuk
dalam lingkup rumah tangga, adalah : a). Suami, isteri, dan anak, termasuk anak angkat dan anak tiri ; b). Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan suami, isteri yang tinggal menetap dalam rumah tangga, seperti : mertua, menantu, ipar, dan besan ; dan c). Orang yang bekerja membantu di rumah tangga dan menetap tinggal dalam rumah tangga tersebut, seperti PRT.

Adapun bentuk KDRT seperti yang disebut di atas dapat dilakukan suami terhadap anggota keluarganya dalam bentuk : 1) Kekerasan fisik, yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat ; 2) Kekerasan psikis, yang mengakibatkan rasa ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dll. 3).Kekerasan seksual, yang berupa pemaksaan seksual dengan cara tidak wajar, baik untuk suami maupun untuk orang lain untuk tujuan komersial, atau tujuan tertentu ; dan 4). Penelantaran rumah tangga yang terjadi dalam lingkup rumah tangganya, yang mana menurut hukum diwajibkan atasnya. Selain itu penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah, sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Bagi korban KDRT undang-undang telah mengatur akan hak-hak yang dapat dituntut kepada pelakunya, antara lain : a).Perlindungan dari pihak keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial, atau pihak lainnya maupun atas penetapan perintah perlindungan dari pengadilan ; b).Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis ; c). Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban ; d).Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum ; dan e). Pelayanan bimbingan rohani. Selain itu korban KDRT juga berhak untuk mendapatkan pelayanan demi pemulihan korban dari, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani. (vide, pasal 10 UU No.23 tahun 2004 tentang PKDRT).

Dalam UU PKDRT Pemerintah mempunyai kewajiban, yaitu : a).Merumuskan kebijakan penghapusan KDRT ; b). Menyelenggarakan komunikasi, informasi dan edukasi tentang KDRT ; c). Menyelenggarakan sosialisasi dan advokasi tentang KDRT ; dan d). Menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif jender, dan isu KDRT serta menetapkan standard dan akreditasi pelayanan yang sensitif jender.

UU No.23 tahun 2004 juga mengatur kewajiban masyarakat dalam PKDRT, dimana bagi setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) wajib melakukan upaya : a) mencegah KDRT ; b) Memberikan perlindungan kepada korban ; c).Memberikan pertolongan darurat ; dan d). Mengajukan proses pengajuan permohonan penetapan perlindungan ; (vide pasal 15 UU PKDRT). Namun untuk kejahatan kekerasan psikis dan fisik ringan serta kekerasan seksual yang terjadi di dalam relasi antar suami-isteri, maka yang berlaku adalah delik aduan. Maksudnya adalah korban sendiri yang melaporkan KDRT yang dialaminya kepada pihak kepolisian. ( vide, pasal 26 ayat 1 UU 23 tahun 2004 tentang PKDRT).

Namun korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau Advokat/Pengacara untuk melaporkan KDRT ke kepolisian (vide, pasal 26 ayat 2). Jika yang menjadi korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh orang tua, wali, pengasuh atau anak yang bersangkutan (vide, pasal 27). Adapun mengenai sanksi pidana dalam pelanggaran UU No.23 tahun 2004 tentang PKDRT diatur dalam Bab VIII mulai dari pasal 44 s/d pasal 53. Khusus untuk kekerasan KDRT di bidang seksual, berlaku pidana minimal 5 tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara atau 20 tahun penjara atau denda antara 12 juta s/d 300 juta rupiah atau antara 25 juta s/d 500 juta rupiah. ( vide pasal 47 dan 48 UU PKDRT).

Dan perlu diketahui juga, bahwa pada umumnya UU No.23 tahun 2004 tentang PKDRT, bukan hanya melulu ditujukan kepada seorang suami, tapi juga juga bisa ditujukan kepada seorang isteri yang melakukan kekerasan terhadap suaminya, anak-anaknya, keluarganya atau pembantunya yang menetap tinggal dalam satu rumah tangga tersebut

  • Kekerasan dalam Rumah Tangga menurut sudut pandang Hukum AGAMA
 

Kekerasan Rumah Tangga tak hanya menjadi Konsteks Hukum Nasional Saja. Tetapi dalam perfektif pemahaman agama, sejak dulu sudah diatur Dalam Kitab – Kitab suci Masing – Masing Agama. Mengenai Penghapusan Kekekrasan Dalam Rumah Tangga. Karena di negara kita Mayoritas Beragama Muslim. Maka saya

juga akan mengangkat Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini menurut sudut Pandang Agama Islam. Berikut ini adalah paparan penjelasan KDRT dalam sudut Pandang Agama Islam.

KDRT Dalam konteks rumah tangga, bentuk-bentuk kekerasan memang seringkali terjadi, baik yang menimpa istri, anak-anak, pembantu rumah tangga, kerabat ataupun suami. Misal ada suami yang memukuli istri dengan berbagai sebab, ibu yang memukul anaknya karena tidak menuruti perintah orang tua, atau pembantu rumah tangga yang dianiaya majikan karena tidak beres menyelesaikan tugasnya. Semua bentuk kekerasan dalam rumah tangga itu pada dasarnya harus dikenai sanksi karena merupakan bentuk kriminalitas (jarimah).

Perlu digarisbawahi bahwa dalam konteks rumah tangga, suami memiliki kewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya agar taat kepada Allah Swt. Hal ini sesuai firman Allah Swt yang artinya: “Wahai orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…” (Qs. at-Tahrim [66]: 6). Dalam mendidik istri dan anak-anak ini, bisa jadi terpaksa dilakukan dengan “pukulan”. Nah, “pukulan” dalam konteks pendidikan atau ta’dib ini dibolehkan dengan batasan-batasan dan kaidah tertentu yang jelas.

Kaidah itu antara lain: pukulan yang diberikan bukan pukulan yang menyakitkan, apalagi sampai mematikan; pukulan hanya diberikan jika tidak ada cara lain (atau semua cara sudah ditempuh) untuk memberi hukuman/pengertian; tidak baleh memukul ketika dalam keadaan marah sekali (karena dikhawatirkan akan membahayakan); tidak memukul pada bagian-bagian tubuh vital semisal wajah, kepala dan dada; tidak boleh memukul lebih dari tiga kali pukulan (kecuali sangat terpaksa dan tidak melebihi sepuluh kali pukulan); tidak boleh memukul anak di bawah usia 10 tahun; jika kesalahan baru pertama kali dilakukan, maka diberi kesempatan bertobat dan minta maaf atas perbuatannya, dll.

Dengan demikian jika ada seorang ayah yang memukul anaknya (dengan tidak menyakitkan) karena si anak sudah berusia 10 tahun lebih namun belum mengerjakan shalat, tidak bisa dikatakan ayah tersebut telah menganiaya anaknya. Toh sekali lagi, pukulan yang dilakukan bukanlah pukulan yang menyakitkan, namun dalam rangka mendidik.

Demikian pula istri yang tidak taat kepada suami atau nusyuz, misal tidak mau melayani suami padahal tidak ada uzur (sakit atau haid), maka tidak bisa disalahkan jika suami memperingatkannya dengan “pukulan” yang tidak menyakitkan. Atau istri yang melalaikan tugasnya sebagai ibu rumah tangga karena disibukkan berbagai urusan di luar rumah, maka bila suami melarangnya ke luar rumah bukan berarti bentuk kekerasan terhadap perempuan. Dalam hal ini bukan berarti suami telah menganiaya istri melainkan justru untuk mendidik istri agar taat pada syariat.

Semua itu dikarenakan istri wajib taat kepada suami selama suami tidak melanggar syara’. Rasulullah Saw menyatakan: “Apabila seorang wanita shalat lima waktu, puasa sebulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya: Masuklah engkau ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau sukai.” [HR. Ahmad 1/191, di-shahih-kan asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Shahihul Jami' No 660, 661).

Namun di sisi lain, selain kewajiban taat pada suami, wanita boleh menuntut hak-haknya seperti nafkah, kasih sayang, perlakuan yang baik dan sebagainya. Seperti firman Allah SWT: "Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf." (Qs. al-Baqarah [2]: 228).

Relasi Suami-Istri dalam Rumah Tangga

Kehidupan rumah tangga adalah dalam konteks menegakkan syariat Islam, menuju ridho Allah Swt. Suami dan istri harus saling melengkapi dan bekerja sama dalam membangun rumah tangga yang harmonis menuju derajat takwa. Allah SWT berfirman: “Dan orang-orang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs. at-Taubah [9]: 71).

Sejalan dengan itu dibutuhkan relasi yang jelas antara suami dan istri, dan tidak bisa disamaratakan tugas dan wewenangnya. Suami berhak menuntut hak-haknya, seperti dilayani istri dengan baik. Sebaliknya, suami memiliki kewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya, memberikan nafkah yang layak dan memperlakukan mereka dengan cara yang makruf.

Allah SWT berfirman dalam Qs. an-Nisâ’ [4]: 19: “Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menghalangi mereka kawin dan menyusahkan mereka karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 19).

Nash ini merupakan seruan kepada para suami agar mereka mempergauli isteri-isteri mereka secara ma’ruf. Menurut ath-Thabari, ma’ruf adalah menunaikan hak-hak mereka. Beberapa mufassir menyatakan bahwa ma’ruf adalah bersikap adil dalam giliran dan nafkah; memperbagus ucapan dan perbuatan. Ayat ini juga memerintahkan menjaga keutuhan keluarga. Jika ada sesuatu yang tidak disukai pada diri isterinya, selain zina dan nusyuz, suami diminta bersabar dan tidak terburu-buru menceraikannya. Sebab, bisa jadi pada perkara yang tidak disukai, terdapat sisi-sisi kebaikan.

Jika masing-masing, baik suami maupun istri menyadari perannya dan melaksanakan hak dan kewajiban sesuai syariat Islam, niscaya tidak dibutuhkan kekerasan dalam menyelaraskan perjalanan biduk rumah tangga. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat terhindarkan karena biduk rumah tangga dibangun dengan pondasi syariat Islam, dikemudikan dengan kasih sayang dan diarahkan oleh peta iman. Wallahu’alam bi shawab.

Pemukulan Istri dalam Perspektif Islam
Pemukulan terhadap istri dalam masyarakat patriarkhis selalu dianggap sebagai suatu hal yang biasa dan lumrah. Bahkan oleh sebagian masyarakat pemukulan terhadap istri hampir selalu diterjemahkan sebagai bentuk pengajaran suami terhadap istri dalam rangka pembinaan rumah tangga. Dan yang lebih parahnya lagi masyarakat sering melegitimasikan kekerasan tersebut dengan dalih agama (baca:Islam). Persoalannya apakah memang agama melegitimasi hal tersebut? Berikut ini beberapa informasi penting tentang bagaimana sebenarnya Islam memandang kekerasan atau pemukulan terhadap istri.

1. Benarkah Islam membolehkan seorang suami memukul atau melakukan kekerasan terhadap istrinya?
Islam tidak pernah membenarkan seorang suami bertindak kejam terhadap istrinya baik secara lahir maupun secara batin. Karena Islam adalah agama yang mempunyai nilai-nilai prinsipil seperti nilai egalitarian, keadilan, dan kemanusiaan. Berikut ini ayat-ayat Alqur-an dan hadist nabi yang mengharuskan suami untuk berlaku sopan, penyayang dan lemah lembut kepada istrinya :

    1. Dalam Surat An-nisa:19 yang menyatakan "Wahai orang yang beriman, tiada dihalalkan bagimu mempusakai perempuan dengan paksaan dan janganlah bertindak kejam terhadap mereka….sebaliknya bergaullah dengan mereka secara baik-baik lagi adil. Hiduplah bersama mereka dalam kebajikan".
    2. Dalam surat Ar-rum:21 yang pada intinya menyuruh kepada suami istri untuk hidup saling sayang menyayangi dan cinta mencintai.
    3. Aisyah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bersabda "Yang paling baik dikalangan kamu adalah mereka paling sopan terhadap istrinya" (HR. Tarmizi)
    4. Dalam hadistnya Rasulullah SAW "…para suami yang memukul istrinya bukanlah termasuk orang-orang baik diantara kamu"(HR.Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah).
    5. Dalam hadistnya Rasulullah SAW "Janganlah kamu memukul hamba-hamba perempuan Allah swt"(HR. Abu Daud dengan isnad yang shahih )
2. Benarkah surat An-nisa ayat 34 melegitimasi suami boleh memukul atau melakukan kekerasan terhadap istri ?
Al-quran tidak pernah membenarkan suami melakukan kekerasan terhadap istri atau keluarganya. Karena Al-quran diyakini membawa nilai-nilai keadilan dan kesetaraan yang universal. Persoalannya terletak pada cara memahami pesan Al-quran, dan satu kesalahan fatal yang dilakukan umat dalam memahami teks-teks yang berkaitan dengan perempuan selama ini, adalah menjadikan teks tersebut bersifat final dan normatif dengan melegitimasikan pada Keabadian Kalam Allah. Seperti pada Surat An-nisa ayat 34 yang artinya:

"Laki-laki adalah qawwam (pemimpin) atas perempuan, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka telah menafkahkan sebagian harta mereka (untuk perempuan), sebab itu perempuan yang shaleh adalah yang taat kepada Allah (qanitat) dan menjaga diri dibalik pembelakangan suaminya (hafizah lil ghaib), sebagaimana Allah menjaganya. Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah dari tempat tidur mereka dan pukullah (wadharibuhunna) mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah maha Tinggi lagi Maha Besar".

Dalam ayat ini ada dua kata kunci yang selalu ditafsirkan secara tekstual yaitu kata Nusyuz dan kata Dharaba. Hampir semua ulama baik konvensional maupun kotemporer mengartikan nusyuz sebagai durhaka istri terhadap suami atau tidak patuh terhadap suami. Sehingga Ayat ini sering disalah tafsirkan sebagai : Pertama: Bahwa seorang istri haruslah taat kepada suaminya; Kedua: Jika dia tidak taat kepada suaminya, maka si suami boleh memukulnya. Penafsiran ini tentunya sangat bias laki-laki, karena bila dilihat kembali dari teks ayat tersebut, pengertian nusyuz sebenarnya sudah ditafsirkan dalam ayat tersebut, yaitu : Tindakan yang tidak mencerminkan kesalehan, yang dalam ayat tersebut ditandai dengan dua ciri yaitu : taat kepada Allah dan menjaga dirinya dibalik pembelakangan suami (Ketika suami tidak ada). Selain itu alasan pengabsahan pemukulan istri ini seringkali dikukuhkan melalui kegiatan penerjemahan kata kunci Wadhribuuhunna yang berasal dari kata dharaba. Masyarakat umum bahkan para mubaligh seringkali mengutip ayat ini dalam versi terjemahan yang lazim, dharaba selalu diartikan pukullah. Padahal kata tersebut mempunyai lebih dari satu arti, misalnya mendidik, mencangkul, memelihara bahkan menurut ar-ragib secara metaforis berarti melakukan hubungan seksual.


  • Kekerasan dalam Rumah Tangga menurut sudut pandang Hukum ADAT.

Penganiayaan terhadap perempuan hakikatnya adalah perwujudan dari ketimpangan relasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat (yang sering disebut sebagai ketimpangan gender), yang secara sosial menempatkan laki-laki lebih unggul dibandingkan dengan perempuan. Bahwa ketimpangan tersebut yang diperkuat oleh keyakinan sosial seperti mitos, stereotipe dan prasangka yang menumbuhsuburkan praktik-praktik diskriminasi terhadap perempuan (baik diranah domestik maupun publik). Dan penganiayaan yang mengakibatkan penderitaan perempuan baik secara fisik, mental maupun seksual.

Menurut tradisi Jawa, perempuan dibatasi oleh tradisi keperempuanan ideal yang mengutamakan nilai-nilai kepatutan dan ketaatan. Nilai-nilai tradisional Jawa sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam yang mengintepretasikan lelaki sebagai pemimpin perempuan, sehingga oleh karenanya mengharuskan perempuan itu direfleksikan dalam ungkapan “Swarga nurut nraka katut” yang artinya adalah seorang perempuan harus mengikuti suaminya dengan setia, apakah ia pergi ke surga atau ke neraka. Nilai tradisional yang dianut sebagian besar masyarakat Jawa menyatakan bahwa bila seorang perempuan menikah dengan seorang laki-laki, maka ia menjadi milik suaminya dan orang tuanya tidak punya kekuasaan lagi terhadap dirinya, sehingga kaum pria lebih berkuasa dalam rumah tangga dengan begitu kaum pria akan merasa benar jika dalam mengaturnya menggunakan kekerasan.

Pengantin perempuan selalu dinasehati oleh orang tuanya untuk berhati-hati dalam menyembunyikan konflik yang mungkin terjadi antara dia dan suaminya. Hal ini biasa diistilahkan sebagai “njaga praja” yang berarti bahwa kehormatan suami harus dilindungi dari orang-orang di luar keluarganya. Setelah menikah, seorang perempuan di masayarakaty harus memenuhi tuntutan peran yang telah ditentukan secara sosial yaitu mengurus rumah, melahirkan dan mengasuh anak serta melayani suami. Kebudayaan Jawa dikenal sangat paternalistik,

mendukung superioritas generasi yang lebih muda, kelas aristokrat di atas orang biasa dan lelaki di atas perempuan. Dalam konteks kekerasan terhadap istri banyak akar kepercayaan yang berasal dari intepretasi ajaaran agama yang mempertimbangkan bahwa kekuasaan suami adalah absolut terhadap istrinya, serta status sub ordinasi perempuan. Karena norma-norma ini orang cenderung tidak mengambil jalur hukum ketika mengalami penganiayaan dalam rumah tangga.

Hubungan struktural antara suami istri menjadi prakondisi terjadinya kekerasan suami terhadap istri. Artinya struktur yang timpang dimana suami memiliki kekuasaan yang lebih besar, memungkinkan mereka untuk melakukan kekerasan terhadap istrinya. Sedangkan perilaku istri yang dianggap menimbulkan terjadinya kekerasan terhadap istri adalah (Berurutan secara gradual dari tinggi ke rendah) tidak menurut suami, melalaikan pekerjaan rumah tangga, cemburu, pergi tanpa pamit, suami mabuk, ngomel keras kepada anak. Adapun bentuk kekerasannya berupa peringatan dengan “kata keras”, membanting benda, memukul, dan mengucapkan kata “cerai”.

Penganiayaan terhadap perempuan adalah pelanggaran HAM terparah yang belum diakui oleh dunia. Penganiayaan terhadap perempuan juga merupakan masalah yang serius dalam bidang kesehatan karena melemahkan energi perempuan, mengikis kesehatan fisik dan harga dirinya. Disamping menyebabkan luka-luka, penganiayaan juga memperbesar resiko jangka panjang terhadap masalah kesehatan lainnya termasuk penyakit kronis, cacat fisik, penyalahgunaan obat dan alkohol. Perempuan dengan riwayat penganiayaan fisik dan seksual juga meningkatkan resiko untuk mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit menular seksual (PMS) dan kesudahan kehamilan yang kurang baik. Berbagai kasus-kasus penganiayaan yang muncul cenderung dipungkiri, tidak diakui dalam konteks publik alias dilokalisir dan ditenggelamkan di wilayah privat dan personel. Sebagai contoh kasus penganiayaan dalam rumah tangga yakni penganiayaan terhadap istri andai kata terjadi penganiayaan maka masyarakat cenderung diam dan bersikap masa bodoh dengan menganggap bahwa hal tersebut adalah hal pribadi dan urusan rumah tangga orang lain, bahwa penganiayaan yang terjadi dianggap sebagai previlege suami untuk mengendalikan dan memperlakukan istri semaunya sendiri (sebagai perluasan kontinum keyakinan bahwa istri adalah hak miliki).

  • Spouse Abuse (penganiayaan terhadap istri atau suami) adalah bagian dari family abusefamily abuse atau fakily violance (kekerasan dalam keluarga) yang dapat berbentuk seperti family crime (kejahatan keluarga).
  • Abuse adalah tindakan negatif yang dilakukan dengan kekerasan, dilakukan berulang-ulang dan berpola (maksudnya bahwa tindakan itu dapat berupa kekerasan atau ucapan-ucapan menyakitkan) dan melalui proses sosialisasi dengan cara menghina, melukai, melecehkan, menyakitkan dan dilakukan dengan sengaja
Berpijak pada kenyataan tersebut, jelaslah disini bahwa masih banyak perempuan (istri) yang telah menjadi korban penganiayaan dari suaminya. Disini terlihat lemahnya posisi seorang perempuan (istri) dihadapan suami sehingga mudah menjadi korban dari tindak kekerasan kemanusiaan.


Peran Penting Pengadilan Adat Dalam Penyelesaian Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan
Secara umum penyelesaian kasus Kekerasan terhadap Prempuan (KtP) dilakukan melalui jalur formal atau litigasi. Namun, catatan tahunan Komnas Perempuan 2009 menunjukkan perempuan korban juga dapat memilih menyelesaikan kasus kekerasan yang dialaminya melalui jalur informal, seperti melalui mekanisme peradilan adat.

Banyak kasus KDRT diselelesaikan melalui mekanisme adat. Jumlahnya mencapai 80 persen. Mekanisme adat dipilih karena prosesnya cepat dan pelaku segera mendapat sanksi sosial. Selama ini kasus yang banyak ditangani oleh peradilan adat adalah Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT), pemerkosaan, kekerasan dalam pacaran, pengambilan harta gono-gini oleh suami setelah proses cerai, penelantaran ekonomi serta persoalan tenaga kerja wanita (TKW).

Proses pengadilan adat biasanya selesai dalam waktu tujuh hari. Lebih singkat dari proses formal yang kadang memakan waktu satu hingga enam bulan. Selama ini sanksi adat yang diberikan kepada pelaku kekerasan adalah sebagai berikut: Pada kasus KDRT, pelaku didenda dengan satu ekor kerbau/10 lembar kain/10 dulang-nampan besar terbuat dari tembaga. Pada kasus pemerkosaan pelaku diberikan sanksi denda satu ekor kerbau. Denda

berupa kerbau digunakan untuk bersih desa. Hal ini dimaksudkan agar aib pelaku tidak menyebar secara luas. Jika perempuan korban ingin dinikahkan maka pelaku diharuskan menikahi dan memberikan sejumlah mahar. Jika perempuan korban ingin pelaku mendapat hukuman, maka pendamping harus mengupayakan jalur litigasi atau pengadilan formal.

Dalam kasus pemerkosaan, para tetua adat hanya mendengarkan kesaksian dari perempuan korban. Peradilan juga dilakukan secara tertutup. Hal ini dilakukan untuk menjaga psikologi korban, agar tidak mengalami reviktimisasi (kekerasan berulang). Putusan pengadilan adat dianggap masyarakat Ngata Toro telah berpihak pada pemenuhan hak-hak perempuan korban dan sangat menghargai hak-hak perempuan.

Meskipun sanksi yang diberikan dianggap cukup efektif, namun keterlibatan perempuan di tingkat pemangku adat dalam penyelesaian kasus kekerasan belum maksimal. Sementara itu, Sullistyowati menjelaskan jauh sebelum muncul hukum negara, hukum adat dan hukum agama telah digunakan sebagai penyelesaian sengketa. Hukum akan efektif jika sesuai dengan kultur yang tumbuh pada masyarakatnya dan mampu mengakomodir nilai-nilai yang tumbuh di dalam masyarakat.

Dalam masyarakat adat, peradilan adat dianggap lebih efektif karena dampak putusan dan sanksi sosial bisa langsung dirasakan. Sehingga harapan agar ke depan terbangun sinergi antara hukum adat dan hukum formal untuk menciptakan pemenuhan hak perempuan korban kekerasan.


BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan
Tindakan KDRT atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga banyak dilakukan terhadap seseorang terutama perempuan. Dimana tindakan ini berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Sehingga untuk Penghapusan tindakan KDRT tersebut dalam ruang Lingkup Rumah Tangga atau ruang Lingkup Keluarga. Diperlukan kaidah – kaidah Hukum yang mengatur mengenai Pencegahan maupun Sanksi Hukum dari perbuatan KDRT itu. Dengan adanya Upaya tersebut, maka pemerintah telah mengesahkan Aturan Undang – undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT. Dimana Undang – undang tersebut merupakan Hukum Publik yang menjawab kekosongan Hukum yang terjadi selama ini. Sehingga korban – korban KDRT, atau perempuan yang ditindas suaminya, saat ini memiliki jaminan Hukum atas KDRT yang dialaminya selama ini.

Tidak hanya Hukum Nasional yang berperan penting. Tetapi Hukum adat dan Hukum Agama juga turut serta memfasilitasi atau memberikan kepastian Hukum terhadap perbuatan KDRT ini. Bahkan Hukum ada di Indonesiapun, juga turut serta menyelesaikan permasalahan KDRT yang terjadi di negara ini. Sehingga dari beberapa sudut pandang Hukum, baik Hukum Nasional, Hukum Agama, dan Hukum Adat semuanya turut mendukung untuk melakukan Penghapusan Kekerasan dalam rumah tangga.


3.2 Saran

KDRT adalah persoalan yang rumit untuk dipecahkan. Ada banyak alasan. Boleh jadi, pelaku KDRT benar-benar tidak menyadari bahwa apa yang telah ia lakukan adalah merupakan tindak KDRT. Atau, bisa jadi pula, pelaku menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan tindakan KDRT. Hanya saja, ia mengabaikannya lantaran berlindung diri di bawah norma-norma tertentu yang telah mapan dalam masyarakat. Sehingga menganggap perbuatan KDRT sebagai hal yang wajar dan pribadi . oleh karena itu aturan UU No. 23 tahun 2004 Harus dipertegas lebih dalam lagi.

Dan sudah selayaknya kalau kejahatan KDRT diperlakukan sama dengan kejahatan pada umumnya. KDRT diubah jadi delik aduan relatif (bukan delik aduan absolut seperti saat ini), sehingga pencabutan pengaduan tidak otomatis menghentikan proses hukum alias kasusnya jalan terus. Atau, kapan perlu menjadi tindak pidana biasa yang tidak perlu disyaratkan adanya pengaduan, kepolisian dapat langsung bertindak pada saat mengetahui ada KDRT. Sebab, mensyaratkan pengaduan sama halnya dengan membirokratisasi penegakan hukum KDRT.

UU PKDRT sendiri sudah menegaskan bahwa KDRT merupakan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan (Pasal 20 huruf b). Merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM) dan bentuk diskriminasi yang harus dihapus (vide Pasal 21, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2), Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J dan Pasal 29 UUD 1945, sebagaimana dikutip pada bagian Mengingat UU PKDRT). Sehingga menjadi pertanyaan kita, mengapa begitu banyak aturan birokratisasi dalam penegakannya ?.









1 komentar:

  1. Puisi Seorang ISTERI atas Kekerasan Suaminya.

    Aku mendapat bunga hari ini
    meski hari ini bukan hari istimewa dan bukan hari ulangtahunku.
    Semalam untuk pertama kalinya kami bertengkar
    dan ia melontarkan kata-kata menyakitkan.
    Aku tahu ia menyesali perbuatannya
    karena hari ini ia mengirim aku bunga.

    Aku mendapat bunga hari ini.
    Ini bukan ulang tahun perkawinan kami atau hari istimewa kami.
    Semalam ia menghempaskan aku ke dinding dan mulai mencekikku
    Aku bangun dengan memar dan rasa sakit sekujur tubuhku.
    Aku tahu ia menyesali perbuatannya
    karena ia mengirim bunga padaku hari ini.

    Aku mendapat bunga hari ini,
    padahal hari ini bukanlah hari Ibu atau hari istimewa lain.
    Semalam ia memukuli aku lagi, lebih keras dibanding waktu-waktu yang lalu.
    Aku takut padanya tetapi aku takut meningggalkannya.
    Aku tidak punya uang.
    Lalu bagaimana aku bisa menghidupi anak-anakku?
    Namun, aku tahu ia menyesali perbuatannya semalam,
    karena hari ini ia kembali mengirimi aku bunga.

    Ada bunga untukku hari ini.
    Hari ini adalah hari istimewa: inilah hari pemakamanku.
    Ia menganiayaku sampai mati tadi malam.
    Kalau saja aku punya cukup keberanian dan kekuatan untuk meninggalkannya,
    aku tidak akan mendapat bunga lagi hari ini….

    PS:
    Tolong di-forward ke perempuan di belahan dunia manapun.
    Kadang wanita terlalu lemah dan menerima saja untuk di ...

    BalasHapus