BAB
I
PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Dalam Hukum
Perdata, Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang
berperan dan berpengaruh sangat besar terhadap perkembangan sosial
dan perkembangan kepribadian setiap anggota keluarga. Keluarga
memerlukan organisasi tersendiri dan perlu kepala rumah tangga
sebagai tokoh penting yang memimpin keluarga disamping beberapa
anggota keluarga lainnya. Anggota keluarga terdiri dari Ayah, ibu,
dan anak merupakan sebuah satu kesatuan yang memiliki hubungan yang
sangat baik. Hubungan baik ini ditandai dengan adanya keserasian
dalam hubungan timbal balik antar semua anggota/individu dalam
keluarga. Sebuah keluarga disebut harmonis apabila seluruh anggota
keluarga merasa bahagia yang ditandai dengan tidak adanya konflik,
ketegangan, kekecewaan dan kepuasan terhadap keadaan (fisik, mental,
emosi dan sosial) seluruh anggota keluarga. Keluarga disebut
disharmonis apabila terjadi sebaliknya.
Ketegangan maupun
konflik antara suami dan istri maupun orang tua dengan anak merupakan
hal yang wajar dalam sebuah keluarga atau rumah tangga. Tidak ada
rumah tangga yang berjalan tanpa konflik namun konflik dalam rumah
tangga bukanlah sesuatu yang menakutkan. Hampir semua keluarga pernah
mengalaminya. Yang mejadi berbeda adalah bagaimana cara mengatasi dan
menyelesaikan hal tersebut. Penyelesaian masalah dilakukan dengan
marah yang berlebih-lebihan, hentakan-hentakan fisik sebagai
pelampiasan kemarahan, teriakan dan makian maupun ekspresi wajah
menyeramkan. Terkadang muncul perilaku seperti menyerang, memaksa,
mengancam atau melakukan kekerasan fisik. Perilaku seperti ini dapat
dikatakan pada tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang
diartikan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan,
yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Berbagai pendapat,
persepsi, dan definisi mengenai KDRT berkembang dalam masyarakat.
Pada umumnya orang berpendapat bahwa KDRT adalah urusan intern
keluarga dan rumah tangga. Anggapan ini telah membudaya bertahun,
berabad bahkan bermilenium lamanya, di kalangan masyarakat termasuk
aparat penegak hukum. Jika seseorang (perempuan atau anak) disenggol
di jalanan umum dan ia minta tolong, maka masyarakat termasuk aparat
polisi akan segera menolong dia. Namun jika seseorang (perempuan dan
anak) dipukuli sampai babak belur di dalam rumahnya, walau pun ia
sudah berteriak minta tolong, orang segan menolong karena tidak mau
mencampuri urusan rumahtangga orang lain. Berbagai kasus akibat fatal
dari kekerasan orangtua terhadap anaknya, suami terhadap istrinya,
majikan terhadap pembantu rumahtangga, terkuak dalam surat kabar dan
media masa. Masyarakat membantu dan aparat polisi bertindak setelah
akibat kekerasan sudah fatal, korbannya sudah meninggal, atau pun
cacat.
Sehingga Oleh
Karena itu dewasa ini, bahwa masyarakat termasuk aparat penegak hukum
berpendapat bahwa diperlukan undang-undang sebagai dasar hukum untuk
dapat mengambil tindakan terhadap suatu kejahatan, demikian pula
untuk menangani KDRT. Lalu kini, telah ada Undang-undangnya yang
khusus untuk mengatur mengenai Penghapusan KDRT, yaitu UU No.23 Tahun
2004 tentang PENGHAPUSAN KDRT (UU P KDRT). Dan untuk membahas
mengenai Hukum Penghapusan KDRT ini, maka dengan Penulisan Makalah
ini. Sebenarnya Hukum Penghapusan KDRT ini, dapat ditinjau dari
berbagai Sudut pandang. Baik sudut pandang Segi Hukum nasional,
Agama, dan Adat. Sebab untuk menjadi sebuah aturan Hukum yang berlaku
di masyarakat (living law), juga tidak akan Lepas dari sudut Pandang
Hukum Nasional, Agama, dan Adat.
BAB
II
PEMBAHASAN
- Pengertian KDRT
KDRT
atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga memiliki arti setiap perbuatan
terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga.
- Bentuk-Bentuk KDRT
- Kekerasan Fisik
Kekerasan
Fisik Berat,
berupa penganiayaan berat seperti menendang; memukul, menyundut;
melakukan percobaan pembunuhan atau pembunuhan dan semua perbuatan
lain yang dapat mengakibatkan:
- Cedera berat
- Tidak mampu menjalankan tugas sehari-hari
- Pingsan
- Luka berat pada tubuh korban dan atau luka yang sulit disembuhkan atau yang menimbulkan bahaya mati
- Kehilangan salah satu panca indera.
- Mendapat cacat.
- Menderita sakit lumpuh.
- Terganggunya daya pikir selama 4 minggu lebih
- Gugurnya atau matinya kandungan seorang perempuan
- Kematian korban.
Kekerasan
Fisik Ringan,
berupa menampar, menjambak, mendorong, dan perbuatan lainnya yang
mengakibatkan:
- Cedera ringan
- Rasa sakit dan luka fisik yang tidak masuk dalam kategori berat
Melakukan
repitisi kekerasan fisik ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis
kekerasan berat.
- Kekerasan Psikis
Kekerasan
Psikis Berat,
berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan,
perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan dan
isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau
menghina; penguntitan; kekerasan dan atau ancaman kekerasan fisik,
seksual dan ekonomis; yang masing-masingnya bisa mengakibatkan
penderitaan psikis berat berupa salah satu atau beberapa hal berikut:
- Gangguan tidur atau gangguan makan atau ketergantungan obat atau disfungsi seksual yang salah satu atau kesemuanya berat dan atau menahun.
- Gangguan stres pasca trauma.
- Gangguan fungsi tubuh berat (seperti tiba-tiba lumpuh atau buta tanpa indikasi medis)
- Depresi berat atau destruksi diri
- Gangguan jiwa dalam bentuk hilangnya kontak dengan realitas seperti skizofrenia dan atau bentuk psikotik lainnya
- Bunuh diri
Kekerasan
Psikis Ringan,
berupa tindakan pengendalian, manipulasi, eksploitasi, kesewenangan,
perendahan dan penghinaan, dalam bentuk pelarangan, pemaksaan, dan
isolasi sosial; tindakan dan atau ucapan yang merendahkan atau
menghina; penguntitan; ancaman kekerasan fisik, seksual dan
ekonomis;yang masing-masingnya bisa mengakibatkan penderitaan psikis
ringan, berupa salah satu atau beberapa hal di bawah ini:
- Ketakutan dan perasaan terteror
- Rasa tidak berdaya, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak
- Gangguan tidur atau gangguan makan atau disfungsi seksual
- Gangguan fungsi tubuh ringan (misalnya, sakit kepala, gangguan pencernaan tanpa indikasi medis)
- Fobia atau depresi temporer
- Kekerasan Seksual
Kekerasan
seksual berat,
berupa:
- Pelecehan seksual dengan kontak fisik, seperti meraba, menyentuh organ seksual, mencium secara paksa, merangkul serta perbuatan lain yang menimbulkan rasa muak/jijik, terteror, terhina dan merasa dikendalikan.
- Pemaksaan hubungan seksual tanpa persetujuan korban atau pada saat korban tidak menghendaki.
- Pemaksaan hubungan seksual dengan cara tidak disukai, merendahkan dan atau menyakitkan.
- Pemaksaan hubungan seksual dengan orang lain untuk tujuan pelacuran dan atau tujuan tertentu.
- Terjadinya hubungan seksual dimana pelaku memanfaatkan posisi ketergantungan korban yang seharusnya dilindungi.
- Tindakan seksual dengan kekerasan fisik dengan atau tanpa bantuan alat yang menimbulkan sakit, luka,atau cedera.
Kekerasan
Seksual Ringan,
berupa pelecehan seksual secara verbal seperti komentar verbal,
gurauan porno, siulan, ejekan dan julukan dan atau secara non verbal,
seperti ekspresi wajah, gerakan tubuh atau pun perbuatan lainnya yang
meminta perhatian seksual yang tidak dikehendaki korban bersifat
melecehkan dan atau menghina korban.
Melakukan
repitisi kekerasan seksual ringan dapat dimasukkan ke dalam jenis
kekerasan seksual berat.
- Kekerasan Ekonomi
Kekerasan
Ekonomi Berat,
yakni tindakan eksploitasi, manipulasi dan pengendalian lewat sarana
ekonomi berupa:
- Memaksa korban bekerja dengan cara eksploitatif termasuk pelacuran.
- Melarang korban bekerja tetapi menelantarkannya.
- Mengambil tanpa sepengetahuan dan tanpa persetujuan korban, merampas dan atau memanipulasi harta benda korban.
Kekerasan
Ekonomi Ringan,
berupa melakukan upaya-upaya sengaja yang menjadikan korban
tergantung atau tidak berdaya secara ekonomi atau tidak terpenuhi
kebutuhan dasarnya.
- FAKTOR – FAKTOR Penyebab Terjadinya Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Ada
beberapa Faktor penyebab terjadinya kekerasan dalam Ruang Lingkup
Rumah Tangga, antara lain sebagai Berikut :
- Laki-laki dan perempuan tidak dalam posisi yang setara
- Masyarakat menganggap laki-laki dengan menanamkan anggapan bahwa laki-laki harus kuat, berani serta tanpa ampun
- KDRT dianggap bukan sebagai permasalahan sosial, tetapi persoalan pribadi terhadap relasi suami istri
- Pemahaman keliru terhadap ajaran agama, sehingga timbul anggapan bahwa laki-laki boleh menguasai perempuan
- Pembelaan atas kekuasaan laki-lakiLaki-laki dianggap sebagai superioritas sumber daya dibandingkan dengan wanita, sehingga mampu mengatur dan mengendalikan wanita.
- Diskriminasi dan pembatasan dibidang ekonomiDiskriminasi dan pembatasan kesempatan bagi wanita untuk bekerja mengakibatkan wanita (istri) ketergantungan terhadap suami, dan ketika suami kehilangan pekerjaan maka istri mengalami tindakan kekerasan.
- Beban pengasuhan anakIstri yang tidak bekerja, menjadikannya menanggung beban sebagai pengasuh anak. Ketika terjadi hal yang tidak diharapkan terhadap anak, maka suami akan menyalah-kan istri sehingga tejadi kekerasan dalam rumah tangga.
- Wanita sebagai anak-anakKonsep wanita sebagai hak milik bagi laki-laki menurut hukum, mengakibatkan kele-luasaan laki-laki untuk mengatur dan mengendalikan segala hak dan kewajiban wanita. Laki-laki merasa punya hak untuk melakukan kekerasan sebagai seorang bapak melakukan kekerasan terhadap anaknya agar menjadi tertib.
- Orientasi peradilan pidana pada laki-lakiPosisi wanita sebagai istri di dalam rumah tangga yang mengalami kekerasan oleh suaminya, diterima sebagai pelanggaran hukum, sehingga penyelesaian kasusnya sering ditunda atau ditutup. Alasan yang lazim dikemukakan oleh penegak hukum yaitu adanya legitimasi hukum bagi suami melakukan kekerasan sepanjang bertindak dalam konteks harmoni keluarga.
- Kekerasan dalam Rumah Tangga menurut sudut pandang Hukum Nasional
Kekerasan
dalam Rumah Tangga menurut sudut Pandang Hukum Nasional, tertuang
dalam UU No. 23 Tahun 2004. Dimana implementasi Undang – Undang ini
sebenarnya merupakan implementasi negara yang meratifikasi konvensi
mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan
(Convention on the Elimination of All Form of Discrimination/CEDAW)
melalui Undang-undang No 7 tahun 1984. Juga berdasar Deklarasi
Penghapusan Kekerasan Terhadap Perempuan yang dilahirkan PBB tanggal
20 Desember 1993 dan telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia.
Bahkan di Indonesia telah disahkan Undang-undang No 23 Tahun 2004
tentang ‘Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Kekerasan
dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang No.23
Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, memiliki
arti setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang
berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik,
seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk
ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan
kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Masalah
kekerasan dalam rumah tangga telah mendapatkan perlindungan hukum
dalam Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 yang antara lain menegaskan
bahwa:
- Bahwa setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebes dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-undang Republik Indonesia tahun 1945.
- Bahwa segala bentuk kekerasan, terutama Kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia, dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk deskriminasi yang harus dihapus.
- Bahwa korban kekerasan dalam rumah tangga yang kebanyakan adalah perempuan, hal itu harus mendapatkan perlindungan dari Negara dan/atau masyarakat agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman kekerasan, penyiksaan, atau perlakuan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.
- Bahwa berdasarkan pertimbangan sebagai dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu dibentuk Undang-undang tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
- Tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap isteri sebenarnya merupakan unsur yang berat dalam tindak pidana, dasar hukumnya adalah KUHP (kitab undang-undang hukum pidana) pasal 356 yang secara garis besar isi pasal yang berbunyi:
“Barang
siapa yang melakukan penganiayaan terhadap ayah, ibu, isteri atau
anak diancam hukuman pidana”
UU
tentang KDRT merupakan hukum publik yang didalamnya ada ancaman
pidana penjara atau denda bagi yang melanggarnya, maka masyarakat
luas khususnya kaum lelaki, dalam kedudukan sebagai kepala keluarga
sebaiknya mengetahui apa itu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
Adapun tentang siapa saja yang termasuk
Adapun
bentuk KDRT seperti yang disebut di atas dapat dilakukan suami
terhadap anggota keluarganya dalam bentuk : 1) Kekerasan fisik, yang
mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat ; 2) Kekerasan
psikis, yang mengakibatkan rasa ketakutan, hilangnya rasa percaya
diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dll.
3).Kekerasan seksual, yang berupa pemaksaan seksual dengan cara tidak
wajar, baik untuk suami maupun untuk orang lain untuk tujuan
komersial, atau tujuan tertentu ; dan 4). Penelantaran rumah tangga
yang terjadi dalam lingkup rumah tangganya, yang mana menurut hukum
diwajibkan atasnya. Selain itu penelantaran juga berlaku bagi setiap
orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi
dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar
rumah, sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut.
Bagi
korban KDRT undang-undang telah mengatur akan hak-hak yang dapat
dituntut kepada pelakunya, antara lain : a).Perlindungan dari pihak
keluarga, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, advokat, lembaga sosial,
atau pihak lainnya maupun atas penetapan perintah perlindungan dari
pengadilan ; b).Pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medis ;
c). Penanganan secara khusus berkaitan dengan kerahasiaan korban ;
d).Pendampingan oleh pekerja sosial dan bantuan hukum ; dan e).
Pelayanan bimbingan rohani. Selain itu korban KDRT juga berhak untuk
mendapatkan pelayanan demi pemulihan korban dari, tenaga kesehatan,
pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani. (vide,
pasal 10 UU No.23 tahun 2004 tentang PKDRT).
Dalam
UU PKDRT Pemerintah mempunyai kewajiban, yaitu : a).Merumuskan
kebijakan penghapusan KDRT ; b). Menyelenggarakan komunikasi,
informasi dan edukasi tentang KDRT ; c). Menyelenggarakan sosialisasi
dan advokasi tentang KDRT ; dan d). Menyelenggarakan pendidikan dan
pelatihan sensitif jender, dan isu KDRT serta menetapkan standard dan
akreditasi pelayanan yang sensitif jender.
UU
No.23 tahun 2004 juga mengatur kewajiban masyarakat dalam PKDRT,
dimana bagi setiap orang yang mendengar, melihat, atau mengetahui
terjadinya kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) wajib melakukan upaya
: a) mencegah KDRT ; b) Memberikan perlindungan kepada korban ;
c).Memberikan pertolongan darurat ; dan d). Mengajukan proses
pengajuan permohonan penetapan perlindungan ; (vide pasal 15 UU
PKDRT). Namun untuk kejahatan kekerasan psikis dan fisik ringan serta
kekerasan seksual yang terjadi di dalam relasi antar suami-isteri,
maka yang berlaku adalah delik aduan. Maksudnya adalah korban sendiri
yang melaporkan KDRT yang dialaminya kepada pihak kepolisian. ( vide,
pasal 26 ayat 1 UU 23 tahun 2004 tentang PKDRT).
Namun
korban dapat memberikan kuasa kepada keluarga atau Advokat/Pengacara
untuk melaporkan KDRT ke kepolisian (vide, pasal 26 ayat 2). Jika
yang menjadi korban adalah seorang anak, laporan dapat dilakukan oleh
orang tua, wali, pengasuh atau anak yang bersangkutan (vide, pasal
27). Adapun mengenai sanksi pidana dalam pelanggaran UU No.23 tahun
2004 tentang PKDRT diatur dalam Bab VIII mulai dari pasal 44 s/d
pasal 53. Khusus untuk kekerasan KDRT di bidang seksual, berlaku
pidana minimal 5 tahun penjara dan maksimal 15 tahun penjara atau 20
tahun penjara atau denda antara 12 juta s/d 300 juta rupiah atau
antara 25 juta s/d 500 juta rupiah. ( vide pasal 47 dan 48 UU PKDRT).
Dan
perlu diketahui juga, bahwa pada umumnya UU No.23 tahun 2004 tentang
PKDRT, bukan hanya melulu ditujukan kepada seorang suami, tapi juga
juga bisa ditujukan kepada seorang isteri yang melakukan kekerasan
terhadap suaminya, anak-anaknya, keluarganya atau pembantunya yang
menetap tinggal dalam satu rumah tangga tersebut
- Kekerasan dalam Rumah Tangga menurut sudut pandang Hukum AGAMA
Kekerasan
Rumah Tangga tak hanya menjadi Konsteks Hukum Nasional Saja. Tetapi
dalam perfektif pemahaman agama, sejak dulu sudah diatur Dalam Kitab
– Kitab suci Masing – Masing Agama. Mengenai Penghapusan
Kekekrasan Dalam Rumah Tangga. Karena di negara kita Mayoritas
Beragama Muslim. Maka saya
juga
akan mengangkat Kekerasan Dalam Rumah Tangga ini menurut sudut
Pandang Agama Islam. Berikut ini adalah paparan penjelasan KDRT dalam
sudut Pandang Agama Islam.
KDRT
Dalam konteks rumah tangga, bentuk-bentuk kekerasan memang seringkali
terjadi, baik yang menimpa istri, anak-anak, pembantu rumah tangga,
kerabat ataupun suami. Misal ada suami yang memukuli istri dengan
berbagai sebab, ibu yang memukul anaknya karena tidak menuruti
perintah orang tua, atau pembantu rumah tangga yang dianiaya majikan
karena tidak beres menyelesaikan tugasnya. Semua bentuk kekerasan
dalam rumah tangga itu pada dasarnya harus dikenai sanksi karena
merupakan bentuk kriminalitas (jarimah).
Perlu
digarisbawahi bahwa dalam konteks rumah tangga, suami memiliki
kewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya agar taat kepada
Allah Swt. Hal ini sesuai firman Allah Swt yang artinya: “Wahai
orang yang beriman jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka…”
(Qs. at-Tahrim [66]: 6). Dalam mendidik istri dan anak-anak ini, bisa
jadi terpaksa dilakukan dengan “pukulan”. Nah, “pukulan”
dalam konteks pendidikan atau ta’dib ini dibolehkan dengan
batasan-batasan dan kaidah tertentu yang jelas.
Kaidah
itu antara lain: pukulan yang diberikan bukan pukulan yang
menyakitkan, apalagi sampai mematikan; pukulan hanya diberikan jika
tidak ada cara lain (atau semua cara sudah ditempuh) untuk memberi
hukuman/pengertian; tidak baleh memukul ketika dalam keadaan marah
sekali (karena dikhawatirkan akan membahayakan); tidak memukul pada
bagian-bagian tubuh vital semisal wajah, kepala dan dada; tidak boleh
memukul lebih dari tiga kali pukulan (kecuali sangat terpaksa dan
tidak melebihi sepuluh kali pukulan); tidak boleh memukul anak di
bawah usia 10 tahun; jika kesalahan baru pertama kali dilakukan, maka
diberi kesempatan bertobat dan minta maaf atas perbuatannya, dll.
Dengan
demikian jika ada seorang ayah yang memukul anaknya (dengan tidak
menyakitkan) karena si anak sudah berusia 10 tahun lebih namun belum
mengerjakan shalat, tidak bisa dikatakan ayah tersebut telah
menganiaya anaknya. Toh sekali lagi, pukulan yang dilakukan bukanlah
pukulan yang menyakitkan, namun dalam rangka mendidik.
Demikian
pula istri yang tidak taat kepada suami atau nusyuz, misal tidak mau
melayani suami padahal tidak ada uzur (sakit atau haid), maka tidak
bisa disalahkan jika suami memperingatkannya dengan “pukulan”
yang tidak menyakitkan. Atau istri yang melalaikan tugasnya sebagai
ibu rumah tangga karena disibukkan berbagai urusan di luar rumah,
maka bila suami melarangnya ke luar rumah bukan berarti bentuk
kekerasan terhadap perempuan. Dalam hal ini bukan berarti suami telah
menganiaya istri melainkan justru untuk mendidik istri agar taat pada
syariat.
Semua
itu dikarenakan istri wajib taat kepada suami selama suami tidak
melanggar syara’. Rasulullah Saw menyatakan: “Apabila seorang
wanita shalat lima waktu, puasa sebulan (Ramadhan), menjaga
kemaluannya dan taat kepada suaminya, maka dikatakan kepadanya:
Masuklah engkau ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau
sukai.” [HR. Ahmad 1/191, di-shahih-kan asy-Syaikh al-Albani
rahimahullah dalam Shahihul Jami' No 660, 661).
Namun
di sisi lain, selain kewajiban taat pada suami, wanita boleh menuntut
hak-haknya seperti nafkah, kasih sayang, perlakuan yang baik dan
sebagainya. Seperti firman Allah SWT: "Dan para wanita mempunyai
hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf."
(Qs. al-Baqarah [2]: 228).
Relasi
Suami-Istri dalam Rumah Tangga
Kehidupan
rumah tangga adalah dalam konteks menegakkan syariat Islam, menuju
ridho Allah Swt. Suami dan istri harus saling melengkapi dan bekerja
sama dalam membangun rumah tangga yang harmonis menuju derajat takwa.
Allah SWT berfirman: “Dan orang-orang beriman, lelaki dan
perempuan, sebagian mereka (adalah) menjadi penolong sebahagian yang
lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang
mungkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat kepada
Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah;
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Qs.
at-Taubah [9]: 71).
Sejalan
dengan itu dibutuhkan relasi yang jelas antara suami dan istri, dan
tidak bisa disamaratakan tugas dan wewenangnya. Suami berhak menuntut
hak-haknya, seperti dilayani istri dengan baik. Sebaliknya, suami
memiliki kewajiban untuk mendidik istri dan anak-anaknya, memberikan
nafkah yang layak dan memperlakukan mereka dengan cara yang makruf.
Allah
SWT berfirman dalam Qs. an-Nisâ’ [4]: 19: “Hai orang-orang yang
beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa
dan janganlah kamu menghalangi mereka kawin dan menyusahkan mereka
karena hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang telah kamu
berikan kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan perbuatan keji
yang nyata. Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila
kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu
tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan
yang banyak” (Qs. an-Nisâ’ [4]: 19).
Nash
ini merupakan seruan kepada para suami agar mereka mempergauli
isteri-isteri mereka secara ma’ruf. Menurut ath-Thabari, ma’ruf
adalah menunaikan hak-hak mereka. Beberapa mufassir menyatakan bahwa
ma’ruf adalah bersikap adil dalam giliran dan nafkah; memperbagus
ucapan dan perbuatan. Ayat ini juga memerintahkan menjaga keutuhan
keluarga. Jika ada sesuatu yang tidak disukai pada diri isterinya,
selain zina dan nusyuz, suami diminta bersabar dan tidak terburu-buru
menceraikannya. Sebab, bisa jadi pada perkara yang tidak disukai,
terdapat sisi-sisi kebaikan.
Jika
masing-masing, baik suami maupun istri menyadari perannya dan
melaksanakan hak dan kewajiban sesuai syariat Islam, niscaya tidak
dibutuhkan kekerasan dalam menyelaraskan perjalanan biduk rumah
tangga. Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dapat terhindarkan karena
biduk rumah tangga dibangun dengan pondasi syariat Islam, dikemudikan
dengan kasih sayang dan diarahkan oleh peta iman. Wallahu’alam bi
shawab.
Pemukulan
Istri dalam Perspektif Islam
Pemukulan
terhadap istri dalam masyarakat patriarkhis selalu dianggap sebagai
suatu hal yang biasa dan lumrah. Bahkan oleh sebagian masyarakat
pemukulan terhadap istri hampir selalu diterjemahkan sebagai bentuk
pengajaran suami terhadap istri dalam rangka pembinaan rumah tangga.
Dan yang lebih parahnya lagi masyarakat sering melegitimasikan
kekerasan tersebut dengan dalih agama (baca:Islam). Persoalannya
apakah memang agama melegitimasi hal tersebut? Berikut ini beberapa
informasi penting tentang bagaimana sebenarnya Islam memandang
kekerasan atau pemukulan terhadap istri.
1.
Benarkah Islam membolehkan seorang suami memukul atau melakukan
kekerasan terhadap istrinya?
Islam
tidak pernah membenarkan seorang suami bertindak kejam terhadap
istrinya baik secara lahir maupun secara batin. Karena Islam adalah
agama yang mempunyai nilai-nilai prinsipil seperti nilai egalitarian,
keadilan, dan kemanusiaan. Berikut ini ayat-ayat Alqur-an dan hadist
nabi yang mengharuskan suami untuk berlaku sopan, penyayang dan lemah
lembut kepada istrinya :
- Dalam Surat An-nisa:19 yang menyatakan "Wahai orang yang beriman, tiada dihalalkan bagimu mempusakai perempuan dengan paksaan dan janganlah bertindak kejam terhadap mereka….sebaliknya bergaullah dengan mereka secara baik-baik lagi adil. Hiduplah bersama mereka dalam kebajikan".
- Dalam surat Ar-rum:21 yang pada intinya menyuruh kepada suami istri untuk hidup saling sayang menyayangi dan cinta mencintai.
- Aisyah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah pernah bersabda "Yang paling baik dikalangan kamu adalah mereka paling sopan terhadap istrinya" (HR. Tarmizi)
- Dalam hadistnya Rasulullah SAW "…para suami yang memukul istrinya bukanlah termasuk orang-orang baik diantara kamu"(HR.Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah).
- Dalam hadistnya Rasulullah SAW "Janganlah kamu memukul hamba-hamba perempuan Allah swt"(HR. Abu Daud dengan isnad yang shahih )
2.
Benarkah surat An-nisa ayat 34 melegitimasi suami boleh memukul atau
melakukan kekerasan terhadap istri ?
Al-quran
tidak pernah membenarkan suami melakukan kekerasan terhadap istri
atau keluarganya. Karena Al-quran diyakini membawa nilai-nilai
keadilan dan kesetaraan yang universal. Persoalannya terletak pada
cara memahami pesan Al-quran, dan satu kesalahan fatal yang dilakukan
umat dalam memahami teks-teks yang berkaitan dengan perempuan selama
ini, adalah menjadikan teks tersebut bersifat final dan normatif
dengan melegitimasikan pada Keabadian Kalam Allah. Seperti pada Surat
An-nisa ayat 34 yang artinya:
"Laki-laki
adalah qawwam (pemimpin) atas perempuan, karena Allah telah
melebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain, dan karena mereka
telah menafkahkan sebagian harta mereka (untuk perempuan), sebab itu
perempuan yang shaleh adalah yang taat kepada Allah (qanitat) dan
menjaga diri dibalik pembelakangan suaminya (hafizah lil ghaib),
sebagaimana Allah menjaganya. Perempuan-perempuan yang kamu
khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah dari
tempat tidur mereka dan pukullah (wadharibuhunna) mereka. Kemudian
jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk
menyusahkannya. Sesungguhnya Allah maha Tinggi lagi Maha Besar".
Dalam
ayat ini ada dua kata kunci yang selalu ditafsirkan secara tekstual
yaitu kata Nusyuz dan kata Dharaba. Hampir semua ulama baik
konvensional maupun kotemporer mengartikan nusyuz sebagai durhaka
istri terhadap suami atau tidak patuh terhadap suami. Sehingga Ayat
ini sering disalah tafsirkan sebagai : Pertama: Bahwa seorang istri
haruslah taat kepada suaminya; Kedua: Jika dia tidak taat kepada
suaminya, maka si suami boleh memukulnya. Penafsiran ini tentunya
sangat bias laki-laki, karena bila dilihat kembali dari teks ayat
tersebut, pengertian nusyuz sebenarnya sudah ditafsirkan dalam ayat
tersebut, yaitu : Tindakan yang tidak mencerminkan kesalehan, yang
dalam ayat tersebut ditandai dengan dua ciri yaitu : taat kepada
Allah dan menjaga dirinya dibalik pembelakangan suami (Ketika suami
tidak ada). Selain itu alasan pengabsahan pemukulan istri ini
seringkali dikukuhkan melalui kegiatan penerjemahan kata kunci
Wadhribuuhunna yang berasal dari kata dharaba. Masyarakat umum bahkan
para mubaligh seringkali mengutip ayat ini dalam versi terjemahan
yang lazim, dharaba selalu diartikan pukullah. Padahal kata tersebut
mempunyai lebih dari satu arti, misalnya mendidik, mencangkul,
memelihara bahkan menurut ar-ragib secara metaforis berarti melakukan
hubungan seksual.
- Kekerasan dalam Rumah Tangga menurut sudut pandang Hukum ADAT.
Penganiayaan
terhadap perempuan hakikatnya adalah perwujudan dari ketimpangan
relasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan di dalam masyarakat
(yang sering disebut sebagai ketimpangan gender), yang secara sosial
menempatkan laki-laki lebih unggul dibandingkan dengan perempuan.
Bahwa ketimpangan tersebut yang diperkuat oleh keyakinan sosial
seperti mitos, stereotipe dan prasangka yang menumbuhsuburkan
praktik-praktik diskriminasi terhadap perempuan (baik diranah
domestik maupun publik). Dan penganiayaan yang mengakibatkan
penderitaan perempuan baik secara fisik, mental maupun seksual.
Menurut
tradisi Jawa, perempuan dibatasi oleh tradisi keperempuanan ideal
yang mengutamakan nilai-nilai kepatutan dan ketaatan. Nilai-nilai
tradisional Jawa sangat dipengaruhi oleh ajaran Islam yang
mengintepretasikan lelaki sebagai pemimpin perempuan, sehingga oleh
karenanya mengharuskan perempuan itu direfleksikan dalam ungkapan
“Swarga nurut nraka katut” yang artinya adalah seorang perempuan
harus mengikuti suaminya dengan setia, apakah ia pergi ke surga atau
ke neraka. Nilai tradisional yang dianut sebagian besar masyarakat
Jawa menyatakan bahwa bila seorang perempuan menikah dengan seorang
laki-laki, maka ia menjadi milik suaminya dan orang tuanya tidak
punya kekuasaan lagi terhadap dirinya, sehingga kaum pria lebih
berkuasa dalam rumah tangga dengan begitu kaum pria akan merasa benar
jika dalam mengaturnya menggunakan kekerasan.
Pengantin
perempuan selalu dinasehati oleh orang tuanya untuk berhati-hati
dalam menyembunyikan konflik yang mungkin terjadi antara dia dan
suaminya. Hal ini biasa diistilahkan sebagai “njaga praja” yang
berarti bahwa kehormatan suami harus dilindungi dari orang-orang di
luar keluarganya. Setelah menikah, seorang perempuan di masayarakaty
harus memenuhi tuntutan peran yang telah ditentukan secara sosial
yaitu mengurus rumah, melahirkan dan mengasuh anak serta melayani
suami. Kebudayaan Jawa dikenal sangat paternalistik,
mendukung
superioritas generasi yang lebih muda, kelas aristokrat di atas orang
biasa dan lelaki di atas perempuan. Dalam konteks kekerasan terhadap
istri banyak akar kepercayaan yang berasal dari intepretasi ajaaran
agama yang mempertimbangkan bahwa kekuasaan suami adalah absolut
terhadap istrinya, serta status sub ordinasi perempuan. Karena
norma-norma ini orang cenderung tidak mengambil jalur hukum ketika
mengalami penganiayaan dalam rumah tangga.
Hubungan
struktural antara suami istri menjadi prakondisi terjadinya kekerasan
suami terhadap istri. Artinya struktur yang timpang dimana suami
memiliki kekuasaan yang lebih besar, memungkinkan mereka untuk
melakukan kekerasan terhadap istrinya. Sedangkan perilaku istri yang
dianggap menimbulkan terjadinya kekerasan terhadap istri adalah
(Berurutan secara gradual dari tinggi ke rendah) tidak menurut suami,
melalaikan pekerjaan rumah tangga, cemburu, pergi tanpa pamit, suami
mabuk, ngomel keras kepada anak. Adapun bentuk kekerasannya berupa
peringatan dengan “kata keras”, membanting benda, memukul, dan
mengucapkan kata “cerai”.
Penganiayaan
terhadap perempuan adalah pelanggaran HAM terparah yang belum diakui
oleh dunia. Penganiayaan terhadap perempuan juga merupakan masalah
yang serius dalam bidang kesehatan karena melemahkan energi
perempuan, mengikis kesehatan fisik dan harga dirinya. Disamping
menyebabkan luka-luka, penganiayaan juga memperbesar resiko jangka
panjang terhadap masalah kesehatan lainnya termasuk penyakit kronis,
cacat fisik, penyalahgunaan obat dan alkohol. Perempuan dengan
riwayat penganiayaan fisik dan seksual juga meningkatkan resiko untuk
mengalami kehamilan yang tidak diinginkan, penyakit menular seksual
(PMS) dan kesudahan kehamilan yang kurang baik. Berbagai kasus-kasus
penganiayaan yang muncul cenderung dipungkiri, tidak diakui dalam
konteks publik alias dilokalisir dan ditenggelamkan di wilayah privat
dan personel. Sebagai contoh kasus penganiayaan dalam rumah tangga
yakni penganiayaan terhadap istri andai kata terjadi penganiayaan
maka masyarakat cenderung diam dan bersikap masa bodoh dengan
menganggap bahwa hal tersebut adalah hal pribadi dan urusan rumah
tangga orang lain, bahwa penganiayaan yang terjadi dianggap sebagai
previlege suami untuk mengendalikan dan memperlakukan istri semaunya
sendiri (sebagai perluasan kontinum keyakinan bahwa istri adalah hak
miliki).
- Spouse Abuse (penganiayaan terhadap istri atau suami) adalah bagian dari family abusefamily abuse atau fakily violance (kekerasan dalam keluarga) yang dapat berbentuk seperti family crime (kejahatan keluarga).
- Abuse adalah tindakan negatif yang dilakukan dengan kekerasan, dilakukan berulang-ulang dan berpola (maksudnya bahwa tindakan itu dapat berupa kekerasan atau ucapan-ucapan menyakitkan) dan melalui proses sosialisasi dengan cara menghina, melukai, melecehkan, menyakitkan dan dilakukan dengan sengaja
Berpijak
pada kenyataan tersebut, jelaslah disini bahwa masih banyak perempuan
(istri) yang telah menjadi korban penganiayaan dari suaminya. Disini
terlihat lemahnya posisi seorang perempuan (istri) dihadapan suami
sehingga mudah menjadi korban dari tindak kekerasan kemanusiaan.
Peran
Penting Pengadilan Adat Dalam Penyelesaian Kasus Kekerasan Terhadap
Perempuan
Secara
umum penyelesaian kasus Kekerasan terhadap Prempuan (KtP) dilakukan
melalui jalur formal atau litigasi. Namun, catatan tahunan Komnas
Perempuan 2009 menunjukkan perempuan korban juga dapat memilih
menyelesaikan kasus kekerasan yang dialaminya melalui jalur informal,
seperti melalui mekanisme peradilan adat.
Banyak
kasus KDRT diselelesaikan melalui mekanisme adat. Jumlahnya mencapai
80 persen. Mekanisme adat dipilih karena prosesnya cepat dan pelaku
segera mendapat sanksi sosial. Selama ini kasus yang banyak ditangani
oleh peradilan adat adalah Kekerasan dalam Rumah Tangga (KDRT),
pemerkosaan, kekerasan dalam pacaran, pengambilan harta gono-gini
oleh suami setelah proses cerai, penelantaran ekonomi serta persoalan
tenaga kerja wanita (TKW).
Proses
pengadilan adat biasanya selesai dalam waktu tujuh hari. Lebih
singkat dari proses formal yang kadang memakan waktu satu hingga
enam bulan. Selama ini sanksi adat yang diberikan kepada pelaku
kekerasan adalah sebagai berikut: Pada kasus KDRT, pelaku didenda
dengan satu ekor kerbau/10 lembar kain/10 dulang-nampan besar terbuat
dari tembaga. Pada kasus pemerkosaan pelaku diberikan sanksi denda
satu ekor kerbau. Denda
berupa
kerbau digunakan untuk bersih desa. Hal ini dimaksudkan agar aib
pelaku tidak menyebar secara luas. Jika perempuan korban ingin
dinikahkan maka pelaku diharuskan menikahi dan memberikan sejumlah
mahar. Jika perempuan korban ingin pelaku mendapat hukuman, maka
pendamping harus mengupayakan jalur litigasi atau pengadilan formal.
Dalam
kasus pemerkosaan, para tetua adat hanya mendengarkan kesaksian dari
perempuan korban. Peradilan juga dilakukan secara tertutup. Hal ini
dilakukan untuk menjaga psikologi korban, agar tidak mengalami
reviktimisasi (kekerasan berulang). Putusan pengadilan adat dianggap
masyarakat Ngata Toro telah berpihak pada pemenuhan hak-hak perempuan
korban dan sangat menghargai hak-hak perempuan.
Meskipun
sanksi yang diberikan dianggap cukup efektif, namun keterlibatan
perempuan di tingkat pemangku adat dalam penyelesaian kasus kekerasan
belum maksimal. Sementara itu, Sullistyowati menjelaskan jauh sebelum
muncul hukum negara, hukum adat dan hukum agama telah digunakan
sebagai penyelesaian sengketa. Hukum akan efektif jika sesuai dengan
kultur yang tumbuh pada masyarakatnya dan mampu mengakomodir
nilai-nilai yang tumbuh di dalam masyarakat.
Dalam
masyarakat adat, peradilan adat dianggap lebih efektif karena dampak
putusan dan sanksi sosial bisa langsung dirasakan. Sehingga harapan
agar ke depan terbangun sinergi antara hukum adat dan hukum formal
untuk menciptakan pemenuhan hak perempuan korban kekerasan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tindakan
KDRT atau Kekerasan Dalam Rumah Tangga banyak dilakukan terhadap
seseorang terutama perempuan. Dimana tindakan ini berakibat timbulnya
kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis,
dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan
perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan
hukum dalam lingkup rumah tangga. Sehingga untuk Penghapusan tindakan
KDRT tersebut dalam ruang Lingkup Rumah Tangga atau ruang Lingkup
Keluarga. Diperlukan kaidah – kaidah Hukum yang mengatur mengenai
Pencegahan maupun Sanksi Hukum dari perbuatan KDRT itu. Dengan adanya
Upaya tersebut, maka pemerintah telah mengesahkan Aturan Undang –
undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT. Dimana Undang –
undang tersebut merupakan Hukum Publik yang menjawab kekosongan Hukum
yang terjadi selama ini. Sehingga korban – korban KDRT, atau
perempuan yang ditindas suaminya, saat ini memiliki jaminan Hukum
atas KDRT yang dialaminya selama ini.
Tidak
hanya Hukum Nasional yang berperan penting. Tetapi Hukum adat dan
Hukum Agama juga turut serta memfasilitasi atau memberikan kepastian
Hukum terhadap perbuatan KDRT ini. Bahkan Hukum ada di Indonesiapun,
juga turut serta menyelesaikan permasalahan KDRT yang terjadi di
negara ini. Sehingga dari beberapa sudut pandang Hukum, baik Hukum
Nasional, Hukum Agama, dan Hukum Adat semuanya turut mendukung untuk
melakukan Penghapusan Kekerasan dalam rumah tangga.
3.2 Saran
KDRT adalah
persoalan yang rumit untuk dipecahkan. Ada banyak alasan. Boleh
jadi, pelaku KDRT benar-benar tidak menyadari bahwa apa yang telah ia
lakukan adalah merupakan tindak KDRT. Atau, bisa jadi pula, pelaku
menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya merupakan tindakan KDRT.
Hanya saja, ia mengabaikannya lantaran berlindung diri di bawah
norma-norma tertentu yang telah mapan dalam masyarakat. Sehingga
menganggap perbuatan KDRT sebagai hal yang wajar dan pribadi . oleh
karena itu aturan UU No. 23 tahun 2004 Harus dipertegas lebih dalam
lagi.
Dan sudah
selayaknya kalau kejahatan KDRT diperlakukan sama dengan kejahatan
pada umumnya. KDRT diubah jadi delik aduan relatif (bukan delik aduan
absolut seperti saat ini), sehingga pencabutan pengaduan tidak
otomatis menghentikan proses hukum alias kasusnya jalan terus. Atau,
kapan perlu menjadi tindak pidana biasa yang tidak perlu disyaratkan
adanya pengaduan, kepolisian dapat langsung bertindak pada saat
mengetahui ada KDRT. Sebab, mensyaratkan pengaduan sama halnya dengan
membirokratisasi penegakan hukum KDRT.
UU PKDRT sendiri
sudah menegaskan bahwa KDRT merupakan kejahatan terhadap martabat
kemanusiaan (Pasal 20 huruf b). Merupakan pelanggaran terhadap hak
asasi manusia (HAM) dan bentuk diskriminasi yang harus dihapus (vide
Pasal 21, Pasal 28A, Pasal 28B, Pasal 28D ayat (1) dan ayat (2),
Pasal 28E, Pasal 28F, Pasal 28G, Pasal 28H, Pasal 28I, Pasal 28J dan
Pasal 29 UUD 1945, sebagaimana dikutip pada bagian Mengingat UU
PKDRT). Sehingga menjadi pertanyaan kita, mengapa begitu banyak
aturan birokratisasi dalam penegakannya ?.
Puisi Seorang ISTERI atas Kekerasan Suaminya.
BalasHapusAku mendapat bunga hari ini
meski hari ini bukan hari istimewa dan bukan hari ulangtahunku.
Semalam untuk pertama kalinya kami bertengkar
dan ia melontarkan kata-kata menyakitkan.
Aku tahu ia menyesali perbuatannya
karena hari ini ia mengirim aku bunga.
Aku mendapat bunga hari ini.
Ini bukan ulang tahun perkawinan kami atau hari istimewa kami.
Semalam ia menghempaskan aku ke dinding dan mulai mencekikku
Aku bangun dengan memar dan rasa sakit sekujur tubuhku.
Aku tahu ia menyesali perbuatannya
karena ia mengirim bunga padaku hari ini.
Aku mendapat bunga hari ini,
padahal hari ini bukanlah hari Ibu atau hari istimewa lain.
Semalam ia memukuli aku lagi, lebih keras dibanding waktu-waktu yang lalu.
Aku takut padanya tetapi aku takut meningggalkannya.
Aku tidak punya uang.
Lalu bagaimana aku bisa menghidupi anak-anakku?
Namun, aku tahu ia menyesali perbuatannya semalam,
karena hari ini ia kembali mengirimi aku bunga.
Ada bunga untukku hari ini.
Hari ini adalah hari istimewa: inilah hari pemakamanku.
Ia menganiayaku sampai mati tadi malam.
Kalau saja aku punya cukup keberanian dan kekuatan untuk meninggalkannya,
aku tidak akan mendapat bunga lagi hari ini….
PS:
Tolong di-forward ke perempuan di belahan dunia manapun.
Kadang wanita terlalu lemah dan menerima saja untuk di ...