Keputusan
Mahkamah Konstitusi yang menolak judicial review pasal 18-19 UU
APBN-P 2012 perlu dipertanyakan. Sebab ketentuan Pasal ini, memuat
mengenai tanggung jawab negara terhadap para korban lumpur Lapindo di
luar peta terdampak sesuai Perpres No. 40 Tahun 2007. Memang menurut
saya agak begitu rancu, ketika Mahkamah Konstitusi menolak
permohonan uji materi atas UU Nomor 4 Tahun 2012 yang mengatur
alokasi dana APBN untuk korban lumpur Sidoarjo. Dimana, disisi Lain
Mahkamah Konstitusi harus mempertimbangkan alokasi APBN untuk warga
yang berada di luar PAT (Peta Area Terdampak). Sehingga dari
pertimbangan itu, merupakan tanggung jawab negara untuk membantu
menyelesaikan masalah yang dihadapi rakyatnya yang tidak dapat
diselesaikan oleh PT. Lapindo. Alokasi anggaran itu adalah bentuk
tanggung jawab negara dalam rangka melaksanakan amanat Pembukaan UUD
1945. Dan Jika pemerintah tidak ikut memikul tanggung jawab tersebut
yang sebelumnya tidak ditetapkan menjadi tanggung jawab PT. Lapindo,
maka rakyat Sidoarjo di luar area PAT akan mengalami penderitaan
tanpa kepastian hukum. Oleh karena hal itulah, menurut Mahkamah
Kontitusi menolak judicial review pasal 18-19 UU APBN-P 2012 adalah
benar.
Tetapi
tidak bisa hanya berdasarkan Alasan itu juga, Mahkamah Konstitusi
harus menolak judicial review pasal 18-19 UU APBN-P 2012. Sebab dari
sisi yang lain, keputusan ini juga jelas – jelas akan melukai hati
Masyarakat. Oleh karena dimata Masyarakat, keputusan Mahkamah
Konstotusi ini ditakutkan adanya indikasi Intervensi Politik dari
Pemilik Lapindo. Sebab Bagaimana bisa pemerintah diwajibkan membayar
ganti rugi terhadap masyarakat diluar peta berdampak. Sedangkan
Luasan peserta berdampak sesuai perpres tidak akan berubah, sementara
luasan wilayah diluar peta berdampak akan terus bertambah karena
semburan lumpur yang belum bisa dihentikan hingga kini. sehingga
otomatis luas wilayah di luar peta berdampak akan semakin besar dan
tanggung jawab pemerintah akan semakin besar pula.
Oleh karena
itu Menurut saya, kalau negara mau mengambil alih tanggung jawab
membayar ganti rugi tidak menjadi masalah, asalkan beban negara ini
harus kembali dibebankan kepada pihak PT. Lapindo. Sebab, Semua
kejadian ini berawal dari kesalahan Lapindo dan oleh karena itu maka
tanggung jawabnya juga ada di lapindo. Bukan seperti sekarang, dimana
sebagian besar kerugian ditanggung oleh negara dan rakyat Indonesia.
Dan tampak sangat aneh juga menurut saya, jika tanggung jawab
Lapindo dibatasi pada peta terdampak saja sementara yang tidak
terdampak menjadi tanggung jawab pemerintah. Seharusnya semua warga
masyarakat yang menjadi korban baik yang masuk di peta terdampak dan
tidak terdampak menjadi tanggung jawab PT. Lapindo. karena yang
berada diluar wilayah peta terdampak itu juga mengalami kerugian
akibat semburan lumpur Lapindo, jadi seharusnya itu menjadi tanggung
jawab penuh Lapindo karena semua itu diakibatkan perbuatan Lapindo.
Sangat
disayangkan sekali jika Mahkamah Konstitusi menolak judicial review
pasal 18-19 UU APBN-P 2012. Tanggung jawab lapindo yang sepenuhnya
harus diberikan kepada Korban Lumpur Lapindo, harus dibayar dengan
uang pajak rakyat seluruh Indonesia. Dan coba bayangkan berapa banyak
Keuangan negara yang bersumber dari pajak nantinya, hanya untuk
membayar dan memberi ganti rugi kasus lumpur Lapindo. Padahal kasus
lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur murni
kesalahan/kelalaian pihak perusahaan, sehingga tidak bisa menggunakan
uang negara untuk menalangi kesalahan korporasi. Para pemohon selaku
pembayar pajak seharusnya uang hasil pajak dipakai untuk
kesejahteraan rakyat, bukan membayar kerugian yang timbul akibat
kelalaian suatu perusahaan. Karena itu, ketentuan Pasal 18 UU APBNP
harus dibatalkan atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena
bertentangan dengan Pasal Pasal 1 ayat (3) dan 23 ayat (1) UUD 1945.
Hal ini untuk memberikan pengakuan, jaminan dan kepastian hukum bagi
para pemohon sebagai pembayar pajak yang seharusnya hasil pembayaran
pajak untuk menyejahterakan rakyat.
keputusan
Mahkamah Konstitusi tersebut juga sangat janggal. Mahkamah Konstitusi
seharusnya menguji sebuah produk UU dengan UUD dan keputusannya harus
bisa memberikan kepastian hukum. Tetapi pihak Mahkamah Konstitusi
beralasan demi rasa keadilan pemerintah harus terlibat, padahal kasus
lumpur ini seharusnya menjadi tanggung jawab pribadi PT Lapindo
Brantas. Dan perlu diketahui Lapindo Brantas sendiri sampai saat ini
belum maksimal dalam pembayaran ganti rugi kepada masyarakat dalam
PAT. Masih ada masyarakat di dalam PAT yang belum dibayarkan dana
ganti ruginya oleh Lapindo Brantas. Tentu jelas bahwa kasus lumpur
ini merupakan kejadian non bencana alam. Sehingga, lapindo harusnya
betanggung jawab penuh atas Kerugian dari Kasus Lumpur Lapindo ini.
Pembayaran dalam PAT saja belum maksimal, sehingga seolah – olah
kesan Konspirasi dalam putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Tanggung
Jawab Lapindo diintervensi oleh tekanan Politik.
Kemudian dalam
pertimbangan dijelaskan Pasal 18 dan UU APBN-P dan Pasal 19 UU APBN
2012. intinya mengenai dana APBN untuk pos anggaran Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) untuk membayar ganti rugi yang
berada di luar Peta Area Terdampak (PAT). Sedangkan wilayah yang
berada di dalam PAT merupakan tanggung jawab PT Lapindo Brantas
sebagai pemegang Kontrak Production Sharing (KPS) Blok Brantas untuk
membayar ganti kerugian atas pembelian atas tanah dan bangunan
masyarakat yang terkena dampak semburan dan luapan lumpur.
Adanya
pembagian tanggung jawab antara PT Lapindo Brantas dan negara terkait
penanggulangan dampak bencana semburan lumpur dituangkan dalam
kesepakatan PAT. Kesepakatan PAT, antara PT Lapindo dan pemerintah
daerah - yang ditetapkan pada tanggal 22 Maret 2007 dibuat untuk
memberikan kepastian tanggung jawab atas wilayah yang terkena dampak
langsung semburan dan luapan lumpur. Hal itu dilakukan lantaran
semburan dan luapan lumpur di Sidoarjo ini ternyata tidak hanya
berdampak terhadap wilayah yang berada di dalam PAT. Namun, telah
berdampak luas terhadap sendi- sendi kehidupan masyarakat yang berada
di luar PAT. Karena itu, diperlukan kebijakan negara untuk
menanggulangi semburan lumpur dan penanganan masalah sosial
kemasyarakatan di luar PAT. Untuk memberi kepastian tanggung jawab
pemerintah dan perusahaan terhadap masyarakat, maka anggaran
penanggulangan Lumpur Lapindo di luar PAT dituangkan dalam Pasal 18
dan Pasal 19 itu. Meski begitu, menurut pendapat saya, keberadaan
kedua pasal itu bukan dimaksudkan untuk menghilangkan tanggung jawab
PT. Lapindo Brantas untuk membayar ganti rugi. Sedangkan menurut
Mahkamah alokasi anggaran itu merupakan salah bentuk tanggung jawab
negara untuk menyesejahterakan rakyat.
- BERIKUT INI ADALAH BUNYI PASAL 18 UNDANG – UNDANG APBN-P 2012
PASAL
18 UU APBN-P 2012
Untuk
kelancaran upaya penanggulangan lumpur Sidoarjo, alokasi dana pada
Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Tahun Anggaran 2012,
dapat digunakan untuk:
- pelunasan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar peta area terdampak pada tiga desa (Desa Besuki, Desa Kedungcangkring, dan Desa Pejarakan):
- bantuan kontrak rumah, bantuan tunjangan hidup, biaya evakuasi dan pelunasan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar peta area terdampak pada sembilan rukun tetangga di tiga kelurahan (Kelurahan Siring, Kelurahan Jatirejo, dan Kelurahan Mindi);
Menurut saya,
semua bunyi Pasal yang terdapat pada UU APBN-P 2012 Pasal 18 ayat a
dan b. Semuanya berkaitan dengan tanggung jawab Negara, selaku
diwakili oleh BPLS sebagai pelaksananya. Dan tanggung jawab
penanggulangan tersebut, sangat berkaitan erat dengan ganti rugi
pembelian tanah. Tak hanya diluar peta terdampak, baik itu didalam
PAT. Semuanya berkaitan dengan ganti rugi atas tanah. Oleh karena
itu, dari keterkaitan antara kasus penanggulangan Lumpur Sidoarjo dan
ganti rugi atas tanah. Tentunya diperlukan kajian berdasarkan Hukum
Agraria yang berlaku di Indonesia. Sehingga apakah benar jika
penolakan judicial review atas UU APBN-P 2012 oleh MK, tak
bertabrakan dengan kajian Hukum Agraria Nasional. Jadi diperlukan,
bagaimanakah cara ganti rugi pembelian tanah dan bangunan atas kasus
lumpur lapindo yang sebenarnya, bila dikaji dengan Hukum Agraria
Nasional.
- KAJIAN HUKUM AGRARIA, DALAM KASUS GANTI RUGI ATAS TANAH DAN BANGUNAN ATAS KASUS LUMPUR LAPINDO
Dalam
hal ganti rugi atas tanah, menurut saya Masyarakat terkadang tidak
mempunyai posisi runding (bergaining position) yang seimbang, secara
psikologis masyarakat berada di bawah tekanan pihak penguasa dan
karena tidak ada pilihan lagi. Penentuan bentuk dan besarnya ganti
rugi dianggap oleh masyarakat tidak layak, dalam arti bahwa ganti
rugi itu tidak dapat digunakan untuk mempertahankan tingkat
kesejahteraan sosial ekonominya, bahkan tingkat kesejahteraan sosial
ekonominya menjadi lebih buruk jika dibandingkan keadaan sebelum
tanahnya dicabut atau dibebaskan haknya. Seperti hal-nya pada korban
Lumpur lapindo, dimana tanpa adanya Musyawarah untuk mencapai
kesepakatan, harus dilakukan dengan perundangan yang benar, saling
mendengar dan saling menerima pendapat, berdasarkan alur dan patut,
berdasarkan sukarela antara para pihak tanpa adanya tekanan
psikologis yang dapat menghalangi proses musyawarah tersebut. Tetapi
semenjak terjadinya kasus Lumpur, seolah – olah warga korban lumpur
hanya bisa Pasrah dan menerima ganti rugi atas pencabutan tanahnya
begitu saja.
Lalu
kemudian Batasan tentang pengertian kepentingan umum yang dijadikan
dasar pengadaan tanah ini sangat abstrak, sehingga menimbulkan
penafsiran yag berbeda-beda dalam masyarakat. Akibatnya terjadi
“ketidakpastian hukum” dan dapat menjurus pada munculnya konflik
di kemudian hari. Belum lagi nanti penggantian kerugian hanya
terbatas bagi masyarakat pemilik tanah ataupun penggarap tanah,yang
berarti ahli warisnya. Ketentuan ini tanpa memberikan perlindungan
terhadap warga masyarakat yang bukan pemilik, seperti penyewa atau
orang yang mengerjakan tanah, yang menguasai dan menempati serta yang
menggunakan tanah. Di samping itu terhadap hak ulayat yang dibebaskan
untuk kepentingan umum, bagi masyarakat adat tersebut belum
dilindungi dan belum mendapat kontribusi dari pembangunan itu, serta
recognisi sebagai ganti pendapatan, pemanfaatan dan penguasaan hak
ulayat mereka yang telah digunakan untuk pembangunan. Karena kita
ketahui, saat begitu kasus Lumpur Lapindo ini muncul. Ternyata masih
banyak warga korban Lumpur yang memiliki tanah ketok D.
Ketidak
jelasan atas Pengaturan tentang permukiman kembali, bagi Korban
lumpur diluar PAT juga tidak diatur lebih lanjut kejelasannya dalam
UU APBN-P 2012 dan oleh BPLS. Sehingga permukiman kembali itu
dilaksanakan hanya sekedar memindahkan warga masyarakat yang terkena
pembebasan atas dampak Lumpur Lapindo, dari tempat yang lama ke
tempat yang baru, tanpa diikuti dengan kegiatan untuk memulihkan
kehidupan sosial ekonomi mereka. Upaya untuk memulihkan kegiatan
ekonomi mereka dengan memperhitungkan kerugian yang dialami oleh
warga yang terkena dampak pembebasan tanah korban Lumpur Lapindo,
adalah sangat penting. Sebab mungkin bagi warga masyarakat, Kesalahan
PT. Lapindo ini telah membawa dampak yang sangat buruk, apalagi bagi
mereka tanah adalah merupakan aset yang berharga, sebagai tempat
usaha, bertani, berkebun dan sebagainya. Sehingga bagaimana jika
mereka terpaksa kehilangan aset ini, dan mereka dipindahkan ke tempat
permukiman yang baru, tanpa kejelasan selanjutnya dari pihak –
pihak yang telah melakukan kesalahan atas adanya Luapan Lumpur yang
mengancam dan menengelamkan tanah – tanah mereka.
- DALAM KONSEPSI HUKUM AGRARIA, APAKAH LUMPUR LAPINDO TERMASUK DALAM PENGADAAN TANAH GUNA KEPENTINGAN UMUM ?
Dalam
Hukum Agraria negara kita dikenal istilah pengadaan tanah, dimana
definisi dari Pengadaan
tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara
memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah,
bangunan, tanaman, dan benda- benda yang yang berkaitan dengan tanah.
Dengan Latar Belakang Pengadaan tanah adalah meningkatnya pembangunan
untuk kepentingan umum yangg memerlukan tanah sehingga pengadaannya
perlu dilakukan secara cepat dan transparan dengan tetap
memperhatikan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas
tanah. Dari definisi tersebut, apakah Pasal 18 APBN-P 2012 yang
judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi termasuk dalam pengadaan
tanah guna Kepentingan Umum ?. tentunya dari Hal ini saja, Mahkamah
Konstitusi seharusnya meninjau kembali atas pembelian tanah korban
lumpur yang harus dibayar oleh Negara.
Lalu
kita lihat Definisi pengadaan tanah menurut Pasal 1 angka 2 KEPPERS
55/Tahun 1993, dimana dalam kegiatan menyediakan tanah dengan cara
memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.
Kata "layak dan adil" dalam definisi tersebut mencerminkan
adanya paradigma baru yang menjamin dan menghormati yang berhak. Kata
"pihak yang berhak" juga menjawab berbagai persoalan
terhadap pelepasan tanah yang diatasnya terdapat bangunan, tanaman
dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah tersebut namun belum
tentu merupakan hak dari pemilik tanah, bisa saja milik penyewanya,
penggunanya, pengolahnya, pengelolanya dan sebagainya. Sehingga
apabila kita lihat dari definisi tersebut, apakah benar dalam
pembelian tanah di
luar peta area terdampak pada tiga desa (Desa Besuki, Desa
Kedungcangkring, dan Desa Pejarakan)
dan
pembelian tanah dan bangunan di luar peta area terdampak pada
sembilan rukun tetangga di tiga kelurahan (Kelurahan Siring,
Kelurahan Jatirejo, dan Kelurahan Mindi).
Sudah bisa dikatakan Layak dan Adil ? bukankah dengan Alasan tidak
ada pilihan lain lagi, maka korban Lumpur Sidoarjo sudah mendapatkan
ganti rugi yang layak ?
Oleh
karena itu diperlukan sebuah aturan yang Sesuai
dengan Konsepsi Hukum Tanah Nasional yaitu adanya keseimbangan antara
kepentingan
umum dan kepentingan perseorangan maka prinsip pengadaan tanah adalah
mewujudkan
pengadaan tanah yang memenuhi rasa keadilan, baik bagi masyarakat
yang
terkena
pengadaan tanah dengan diberi ganti kerugian yang dapat menjamin
kelangsungan
hidupnya
dan bagi Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah untuk dapat
memperoleh
tanah
serta perlindungan maupun kepastian hukum.
Sehingga Guna
mewujudkan hal tersebut di atas maka pengadaan tanah bagi pembangunan
untuk
kepentingan umum dengan cara pembebasan hak-hak atas tanah masyarakat
haruslah
diatur dalam suatu undang-undang, yang mencerminkan pengakuan dan
penghormatan
terhadap hak asasi manusia khususnya hak-hak keperdataan dan hak-hak
ekonomi
yang dimilikinya.
Tetapi apakah benar ? jika tanggung jawab atas pembelian tanah akibat
dampak Lumpur Lapindo ini harus penuh menjadi tanggung jawab Negara.
Dengan alasan untuk Kepentingan Umum dan sesejahteraan.
Tentu
saja, jika beban besar atas pembelian tanah ini harus ditanggung
penuh oleh PT. LAPINDO BRANTAS. Maka akan terasa sangat berat, baik
untuk yang tercantum dalam PAT maupun diluar PAT. Dari hal itulah,
ditakutkan bahwa sebenarnya UU APBN-P 2012 pasal 18. Tentunya adalah
Pasal titipan yang bermuatan sangat politis. Sebab kita ketahui bahwa
pemilik PT. LAPINDO BRANTAS, adalah bapak Abu Rizal Bakrie. Maka tak
khayal apabila Pasal ini lolos dan disahkan pada sidang paripurna,
dikarenakan adanya Konspirasi politik dan intervesi kepentingan dalam
Penanggulangan Lumpur Lapindo ini. Apalagi sebagian besar anggota
partai yang diketua Bapak Abu Rizal Bakrie ini mengisi jajaran di
Parlemen dan Mempunyai kedekatan dengan Presiden. Sehingga dari hal
itu, Lumpur Lapindo kini menjadi tanggung jawab Negara dan PT.
LAPINDO selaku yang membuat kesalahan atas semburan Lumpur di
Sidoarjo. Sehingga akan nampak jelas, jika menggunakan tameng Hukum
Agraria mengenai pengadaan Tanah, maka akan lebih meringankan beban
Lapindo. Karena Negara bisa beralasan, bahwa Tanah yang seharusnya
menjadi tanggung Jawab PT. LAPINDO. Kini menjadi tanggung jawab
negara dengan alasan demi Kepentingan umum.
Padahal
apabila kita melihat Definisi kepentingan umum, adalah kepentingan
bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah
dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dan Pada
Perpres No. 36 Tahun 2005 pengertian kepentingan umum adalah
kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat. Sehingga dari definisi
kepentingan umum tersebut ternyata lebih memiliki kejelasan dengan
menekankan adanya kepentingan bangsa, negara dan masyarakat yang
harus diwujudkan oleh pemerintah. Sedangkan dalam kasus Lumpur
Sidoarjo apakah termasuk dalam Kepentingan umum ? Apakah itu
merupakan bagian dari kepentingan bangsa, negara, dan Masyarakat yang
harus diwujudkan oleh pemerintah ?. Tentu saja tidak, karena tidak
mencakup sebagian besar lapisan Masyarakat. Pasal 18 UU APBN-P 2012
ada, karena kepentingan PT. Lapindo. Dan gunakan untuk menjaga
kemakmuran PT. Lapindo akibat harus membayar atas korban Lumpur
Lapindo.
Lalu kita
lihat, Adanya penegasan tujuan dari pengadaan tanah untuk kepentingan
umum yang dimuat Pasal 3, yaitu bertujuan menyediakan tanah bagi
pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin
kepentingan hukum Pihak yang Berhak. Cakupan pengadaan tanah yang
digunakan untuk kepentingan umum dalam pembangunan telah dipertegas
dalam Pasal 10 dengan jumlah 18 item. Dilihat dari materinya
merupakan penegasan dan penyempurnaan cakupan dari Pasal 5 Perpres 63
Tahun 2005 yang memiliki 21 item, dan perpres 65 tahun 2006 dengan
7 item. Ke 18 item cakupan pengadaan tanah untuk kepentingan umum
tersebut adalah meliputi :
- Pertahanan dan keamanan nasional;
- Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;
- Waduk, bendungan, bending, irigasi, saluran air minum, seluran pembuangan air dan sanitasi, bangunan pengairan lainnya;
- Pelabuhan, Bandar udara, dan terminal;
- Infrastruktur minyak, gas dan panas bumi, meliputi transmisi dan/atau distribusi minyak, gas dan panas bumi;
- Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;
- Jaringan telekomunikasi and informatika;
- Tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
- Rumah sakit pemerintah/pemerintah daerah;
- Fasilitas keselamatan umum
- Tempat pemakaman umum pemerintah/pemerintah daerah;
- Fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
- Cagar alam dan cagar budaya;
- Kantor pemerintah/pemerintah daerah/desa;
- Penataan pemukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa;
- Prasarana pendidikan atau sekolah pemerintah/pemerintah daerah;
- Prasarana olah raga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan
- Pasar umum dan lapangan parkir umum.
Sehingga
dari 18 item, yang dimaksud dengan kepentingan umum tersebut. Apakah
penanggulangan atas pembelian Tanah korban Lumpur Lapindo termasuk
dalam kepentingan umum ?. dan apakah benar, jika Negara harus
menanggung dampak dari Luapan lumpur Lapindo tersebut ?. padahal
dalam kajian, Undang – undang Hukum Agraria sendiri tidak tercantum
seperti kasus Lumpur Lapindo itu, apakah termasuk dalam Kepentingan
umum. Oleh karena itu, pengkajian atas UU APBN-P 2012 pasal 18 sangat
perlu dikaji. Karena hal ini, bukanlah merupakan tanggung jawab
negara, meskipun negara tidak bisa lepas tangan secara Penuh.
Kemudian dari
aturan tersebut, bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum wajib
diselenggarakan oleh pemerintah dan tanahnya selanjutnya dimiliki
Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Jika yang memerlukan BUMN maka
tanah untuk kepentingan umum menjadi milik BUMN. Tetapi apabila kita
melihat kasus Lumpur lapindo. Dalam
pertimbangan dijelaskan Pasal 18 dan UU APBN-P dan Pasal 19 UU APBN
2012 intinya mengenai dana APBN untuk pos anggaran Badan
Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) untuk membayar ganti rugi yang
berada di luar Peta Area Terdampak (PAT). Sedangkan wilayah yang
berada di dalam PAT merupakan tanggung jawab PT Lapindo Brantas
sebagai pemegang Kontrak Production Sharing (KPS) Blok Brantas untuk
membayar ganti kerugian atas pembelian atas tanah dan bangunan
masyarakat yang terkena dampak semburan dan luapan lumpur.
Tentunya
yang akan menjadi pertanyaan besar bagi kita, adalah setelah semua
tanah itu lunas dibayar baik oleh pemerintah maupun PT. Lapindo.
Siapakah yang akan memiliki hak atas tanah yang sudah dibeli, baik
dalam PAT maupun diluar PAT. Dan bagaimana aturan selanjutnya,
mengenai kepemilikan tanah tersebut. Apakah karena adanya Lumpur
tersebut, maka semua cakupan tanah yang berada di dalam PAT Lumpur
Lapindo adalah milik Lumpur Lapindo. Sedangkan tanah yang diluar PAT,
yang dibeli oleh negara sesuai dengan aturan APBN-P 2012 Pasal 18,
adalah menjadi milik negara. Tentu saja dari hal ini, kita perlu
mengkaji lagi aturan – aturan mengenai penanggulangan Lumpur
Lapindo. Sehingga jelas, tanggung jawab dan peruntukannya bagi
Masyarakat, tanpa adanya intervensi kepentingan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar