MvpTogeteR

MvpTogeteR
Selamat datang Didunia MVP

Selasa, 19 Maret 2013

Putusan Mahkamah Konstitusi Menolak Judicial Review Pasal 18-19 UU APBN-P 2012

Keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak judicial review pasal 18-19 UU APBN-P 2012 perlu dipertanyakan. Sebab ketentuan Pasal ini, memuat mengenai tanggung jawab negara terhadap para korban lumpur Lapindo di luar peta terdampak sesuai Perpres No. 40 Tahun 2007. Memang menurut saya agak begitu rancu, ketika Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi atas UU Nomor 4 Tahun 2012 yang mengatur alokasi dana APBN untuk korban lumpur Sidoarjo. Dimana, disisi Lain Mahkamah Konstitusi harus mempertimbangkan alokasi APBN untuk warga yang berada di luar PAT (Peta Area Terdampak). Sehingga dari pertimbangan itu, merupakan tanggung jawab negara untuk membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi rakyatnya yang tidak dapat diselesaikan oleh PT. Lapindo. Alokasi anggaran itu adalah bentuk tanggung jawab negara dalam rangka melaksanakan amanat Pembukaan UUD 1945. Dan Jika pemerintah tidak ikut memikul tanggung jawab tersebut yang sebelumnya tidak ditetapkan menjadi tanggung jawab PT. Lapindo, maka rakyat Sidoarjo di luar area PAT akan mengalami penderitaan tanpa kepastian hukum. Oleh karena hal itulah, menurut Mahkamah Kontitusi menolak judicial review pasal 18-19 UU APBN-P 2012 adalah benar.

Tetapi tidak bisa hanya berdasarkan Alasan itu juga, Mahkamah Konstitusi harus menolak judicial review pasal 18-19 UU APBN-P 2012. Sebab dari sisi yang lain, keputusan ini juga jelas – jelas akan melukai hati Masyarakat. Oleh karena dimata Masyarakat, keputusan Mahkamah Konstotusi ini ditakutkan adanya indikasi Intervensi Politik dari Pemilik Lapindo. Sebab Bagaimana bisa pemerintah diwajibkan membayar ganti rugi terhadap masyarakat diluar peta berdampak. Sedangkan Luasan peserta berdampak sesuai perpres tidak akan berubah, sementara luasan wilayah diluar peta berdampak akan terus bertambah karena semburan lumpur yang belum bisa dihentikan hingga kini. sehingga otomatis luas wilayah di luar peta berdampak akan semakin besar dan tanggung jawab pemerintah akan semakin besar pula.

Oleh karena itu Menurut saya, kalau negara mau mengambil alih tanggung jawab membayar ganti rugi tidak menjadi masalah, asalkan beban negara ini harus kembali dibebankan kepada pihak PT. Lapindo. Sebab, Semua kejadian ini berawal dari kesalahan Lapindo dan oleh karena itu maka tanggung jawabnya juga ada di lapindo. Bukan seperti sekarang, dimana sebagian besar kerugian ditanggung oleh negara dan rakyat Indonesia. Dan tampak sangat aneh juga menurut saya, jika tanggung jawab Lapindo dibatasi pada peta terdampak saja sementara yang tidak terdampak menjadi tanggung jawab pemerintah. Seharusnya semua warga masyarakat yang menjadi korban baik yang masuk di peta terdampak dan tidak terdampak menjadi tanggung jawab PT. Lapindo. karena yang berada diluar wilayah peta terdampak itu juga mengalami kerugian akibat semburan lumpur Lapindo, jadi seharusnya itu menjadi tanggung jawab penuh Lapindo karena semua itu diakibatkan perbuatan Lapindo.

Sangat disayangkan sekali jika Mahkamah Konstitusi menolak judicial review pasal 18-19 UU APBN-P 2012. Tanggung jawab lapindo yang sepenuhnya harus diberikan kepada Korban Lumpur Lapindo, harus dibayar dengan uang pajak rakyat seluruh Indonesia. Dan coba bayangkan berapa banyak Keuangan negara yang bersumber dari pajak nantinya, hanya untuk membayar dan memberi ganti rugi kasus lumpur Lapindo. Padahal kasus lumpur Lapindo di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur murni kesalahan/kelalaian pihak perusahaan, sehingga tidak bisa menggunakan uang negara untuk menalangi kesalahan korporasi. Para pemohon selaku pembayar pajak seharusnya uang hasil pajak dipakai untuk kesejahteraan rakyat, bukan membayar kerugian yang timbul akibat kelalaian suatu perusahaan. Karena itu, ketentuan Pasal 18 UU APBNP harus dibatalkan atau tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat karena bertentangan dengan Pasal Pasal 1 ayat (3) dan 23 ayat (1) UUD 1945. Hal ini untuk memberikan pengakuan, jaminan dan kepastian hukum bagi para pemohon sebagai pembayar pajak yang seharusnya hasil pembayaran pajak untuk menyejahterakan rakyat.

keputusan Mahkamah Konstitusi tersebut juga sangat janggal. Mahkamah Konstitusi seharusnya menguji sebuah produk UU dengan UUD dan keputusannya harus bisa memberikan kepastian hukum. Tetapi pihak Mahkamah Konstitusi beralasan demi rasa keadilan pemerintah harus terlibat, padahal kasus lumpur ini seharusnya menjadi tanggung jawab pribadi PT Lapindo Brantas. Dan perlu diketahui Lapindo Brantas sendiri sampai saat ini belum maksimal dalam pembayaran ganti rugi kepada masyarakat dalam PAT. Masih ada masyarakat di dalam PAT yang belum dibayarkan dana ganti ruginya oleh Lapindo Brantas. Tentu jelas bahwa kasus lumpur ini merupakan kejadian non bencana alam. Sehingga, lapindo harusnya betanggung jawab penuh atas Kerugian dari Kasus Lumpur Lapindo ini. Pembayaran dalam PAT saja belum maksimal, sehingga seolah – olah kesan Konspirasi dalam putusan Mahkamah Konstitusi terhadap Tanggung Jawab Lapindo diintervensi oleh tekanan Politik.

Kemudian dalam pertimbangan dijelaskan Pasal 18 dan UU APBN-P dan Pasal 19 UU APBN 2012. intinya mengenai dana APBN untuk pos anggaran Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) untuk membayar ganti rugi yang berada di luar Peta Area Terdampak (PAT). Sedangkan wilayah yang berada di dalam PAT merupakan tanggung jawab PT Lapindo Brantas sebagai pemegang Kontrak Production Sharing (KPS) Blok Brantas untuk membayar ganti kerugian atas pembelian atas tanah dan bangunan masyarakat yang terkena dampak semburan dan luapan lumpur.

Adanya pembagian tanggung jawab antara PT Lapindo Brantas dan negara terkait penanggulangan dampak bencana semburan lumpur dituangkan dalam kesepakatan PAT. Kesepakatan PAT, antara PT Lapindo dan pemerintah daerah - yang ditetapkan pada tanggal 22 Maret 2007 dibuat untuk memberikan kepastian tanggung jawab atas wilayah yang terkena dampak langsung semburan dan luapan lumpur. Hal itu dilakukan lantaran semburan dan luapan lumpur di Sidoarjo ini ternyata tidak hanya berdampak terhadap wilayah yang berada di dalam PAT. Namun, telah berdampak luas terhadap sendi- sendi kehidupan masyarakat yang berada di luar PAT. Karena itu, diperlukan kebijakan negara untuk menanggulangi semburan lumpur dan penanganan masalah sosial kemasyarakatan di luar PAT. Untuk memberi kepastian tanggung jawab pemerintah dan perusahaan terhadap masyarakat, maka anggaran penanggulangan Lumpur Lapindo di luar PAT dituangkan dalam Pasal 18 dan Pasal 19 itu. Meski begitu, menurut pendapat saya, keberadaan kedua pasal itu bukan dimaksudkan untuk menghilangkan tanggung jawab PT. Lapindo Brantas untuk membayar ganti rugi. Sedangkan menurut Mahkamah alokasi anggaran itu merupakan salah bentuk tanggung jawab negara untuk menyesejahterakan rakyat.

  • BERIKUT INI ADALAH BUNYI PASAL 18 UNDANG – UNDANG APBN-P 2012

PASAL 18 UU APBN-P 2012
Untuk kelancaran upaya penanggulangan lumpur Sidoarjo, alokasi dana pada Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) Tahun Anggaran 2012, dapat digunakan untuk:

  1. pelunasan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar peta area terdampak pada tiga desa (Desa Besuki, Desa Kedungcangkring, dan Desa Pejarakan):
  2. bantuan kontrak rumah, bantuan tunjangan hidup, biaya evakuasi dan pelunasan pembayaran pembelian tanah dan bangunan di luar peta area terdampak pada sembilan rukun tetangga di tiga kelurahan (Kelurahan Siring, Kelurahan Jatirejo, dan Kelurahan Mindi);

Menurut saya, semua bunyi Pasal yang terdapat pada UU APBN-P 2012 Pasal 18 ayat a dan b. Semuanya berkaitan dengan tanggung jawab Negara, selaku diwakili oleh BPLS sebagai pelaksananya. Dan tanggung jawab penanggulangan tersebut, sangat berkaitan erat dengan ganti rugi pembelian tanah. Tak hanya diluar peta terdampak, baik itu didalam PAT. Semuanya berkaitan dengan ganti rugi atas tanah. Oleh karena itu, dari keterkaitan antara kasus penanggulangan Lumpur Sidoarjo dan ganti rugi atas tanah. Tentunya diperlukan kajian berdasarkan Hukum Agraria yang berlaku di Indonesia. Sehingga apakah benar jika penolakan judicial review atas UU APBN-P 2012 oleh MK, tak bertabrakan dengan kajian Hukum Agraria Nasional. Jadi diperlukan, bagaimanakah cara ganti rugi pembelian tanah dan bangunan atas kasus lumpur lapindo yang sebenarnya, bila dikaji dengan Hukum Agraria Nasional.


  • KAJIAN HUKUM AGRARIA, DALAM KASUS GANTI RUGI ATAS TANAH DAN BANGUNAN ATAS KASUS LUMPUR LAPINDO

Dalam hal ganti rugi atas tanah, menurut saya Masyarakat terkadang tidak mempunyai posisi runding (bergaining position) yang seimbang, secara psikologis masyarakat berada di bawah tekanan pihak penguasa dan karena tidak ada pilihan lagi. Penentuan bentuk dan besarnya ganti rugi dianggap oleh masyarakat tidak layak, dalam arti bahwa ganti rugi itu tidak dapat digunakan untuk mempertahankan tingkat kesejahteraan sosial ekonominya, bahkan tingkat kesejahteraan sosial ekonominya menjadi lebih buruk jika dibandingkan keadaan sebelum tanahnya dicabut atau dibebaskan haknya. Seperti hal-nya pada korban Lumpur lapindo, dimana tanpa adanya Musyawarah untuk mencapai kesepakatan, harus dilakukan dengan perundangan yang benar, saling mendengar dan saling menerima pendapat, berdasarkan alur dan patut, berdasarkan sukarela antara para pihak tanpa adanya tekanan psikologis yang dapat menghalangi proses musyawarah tersebut. Tetapi semenjak terjadinya kasus Lumpur, seolah – olah warga korban lumpur hanya bisa Pasrah dan menerima ganti rugi atas pencabutan tanahnya begitu saja.

Lalu kemudian Batasan tentang pengertian kepentingan umum yang dijadikan dasar pengadaan tanah ini sangat abstrak, sehingga menimbulkan penafsiran yag berbeda-beda dalam masyarakat. Akibatnya terjadi “ketidakpastian hukum” dan dapat menjurus pada munculnya konflik di kemudian hari. Belum lagi nanti penggantian kerugian hanya terbatas bagi masyarakat pemilik tanah ataupun penggarap tanah,yang berarti ahli warisnya. Ketentuan ini tanpa memberikan perlindungan terhadap warga masyarakat yang bukan pemilik, seperti penyewa atau orang yang mengerjakan tanah, yang menguasai dan menempati serta yang menggunakan tanah. Di samping itu terhadap hak ulayat yang dibebaskan untuk kepentingan umum, bagi masyarakat adat tersebut belum dilindungi dan belum mendapat kontribusi dari pembangunan itu, serta recognisi sebagai ganti pendapatan, pemanfaatan dan penguasaan hak ulayat mereka yang telah digunakan untuk pembangunan. Karena kita ketahui, saat begitu kasus Lumpur Lapindo ini muncul. Ternyata masih banyak warga korban Lumpur yang memiliki tanah ketok D.
Ketidak jelasan atas Pengaturan tentang permukiman kembali, bagi Korban lumpur diluar PAT juga tidak diatur lebih lanjut kejelasannya dalam UU APBN-P 2012 dan oleh BPLS. Sehingga permukiman kembali itu dilaksanakan hanya sekedar memindahkan warga masyarakat yang terkena pembebasan atas dampak Lumpur Lapindo, dari tempat yang lama ke tempat yang baru, tanpa diikuti dengan kegiatan untuk memulihkan kehidupan sosial ekonomi mereka. Upaya untuk memulihkan kegiatan ekonomi mereka dengan memperhitungkan kerugian yang dialami oleh warga yang terkena dampak pembebasan tanah korban Lumpur Lapindo, adalah sangat penting. Sebab mungkin bagi warga masyarakat, Kesalahan PT. Lapindo ini telah membawa dampak yang sangat buruk, apalagi bagi mereka tanah adalah merupakan aset yang berharga, sebagai tempat usaha, bertani, berkebun dan sebagainya. Sehingga bagaimana jika mereka terpaksa kehilangan aset ini, dan mereka dipindahkan ke tempat permukiman yang baru, tanpa kejelasan selanjutnya dari pihak – pihak yang telah melakukan kesalahan atas adanya Luapan Lumpur yang mengancam dan menengelamkan tanah – tanah mereka.



  • DALAM KONSEPSI HUKUM AGRARIA, APAKAH LUMPUR LAPINDO TERMASUK DALAM PENGADAAN TANAH GUNA KEPENTINGAN UMUM ?

Dalam Hukum Agraria negara kita dikenal istilah pengadaan tanah, dimana definisi dari Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda- benda yang yang berkaitan dengan tanah. Dengan Latar Belakang Pengadaan tanah adalah meningkatnya pembangunan untuk kepentingan umum yangg memerlukan tanah sehingga pengadaannya perlu dilakukan secara cepat dan transparan dengan tetap memperhatikan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Dari definisi tersebut, apakah Pasal 18 APBN-P 2012 yang judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi termasuk dalam pengadaan tanah guna Kepentingan Umum ?. tentunya dari Hal ini saja, Mahkamah Konstitusi seharusnya meninjau kembali atas pembelian tanah korban lumpur yang harus dibayar oleh Negara.

Lalu kita lihat Definisi pengadaan tanah menurut Pasal 1 angka 2 KEPPERS 55/Tahun 1993, dimana dalam kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Kata "layak dan adil" dalam definisi tersebut mencerminkan adanya paradigma baru yang menjamin dan menghormati yang berhak. Kata "pihak yang berhak" juga menjawab berbagai persoalan terhadap pelepasan tanah yang diatasnya terdapat bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah tersebut namun belum tentu merupakan hak dari pemilik tanah, bisa saja milik penyewanya, penggunanya, pengolahnya, pengelolanya dan sebagainya. Sehingga apabila kita lihat dari definisi tersebut, apakah benar dalam pembelian tanah di luar peta area terdampak pada tiga desa (Desa Besuki, Desa Kedungcangkring, dan Desa Pejarakan) dan pembelian tanah dan bangunan di luar peta area terdampak pada sembilan rukun tetangga di tiga kelurahan (Kelurahan Siring, Kelurahan Jatirejo, dan Kelurahan Mindi). Sudah bisa dikatakan Layak dan Adil ? bukankah dengan Alasan tidak ada pilihan lain lagi, maka korban Lumpur Sidoarjo sudah mendapatkan ganti rugi yang layak ?

Oleh karena itu diperlukan sebuah aturan yang Sesuai dengan Konsepsi Hukum Tanah Nasional yaitu adanya keseimbangan antara kepentingan umum dan kepentingan perseorangan maka prinsip pengadaan tanah adalah mewujudkan pengadaan tanah yang memenuhi rasa keadilan, baik bagi masyarakat yang terkena pengadaan tanah dengan diberi ganti kerugian yang dapat menjamin kelangsungan hidupnya dan bagi Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah untuk dapat memperoleh tanah serta perlindungan maupun kepastian hukum. Sehingga Guna mewujudkan hal tersebut di atas maka pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dengan cara pembebasan hak-hak atas tanah masyarakat haruslah diatur dalam suatu undang-undang, yang mencerminkan pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia khususnya hak-hak keperdataan dan hak-hak ekonomi yang dimilikinya. Tetapi apakah benar ? jika tanggung jawab atas pembelian tanah akibat dampak Lumpur Lapindo ini harus penuh menjadi tanggung jawab Negara. Dengan alasan untuk Kepentingan Umum dan sesejahteraan.

Tentu saja, jika beban besar atas pembelian tanah ini harus ditanggung penuh oleh PT. LAPINDO BRANTAS. Maka akan terasa sangat berat, baik untuk yang tercantum dalam PAT maupun diluar PAT. Dari hal itulah, ditakutkan bahwa sebenarnya UU APBN-P 2012 pasal 18. Tentunya adalah Pasal titipan yang bermuatan sangat politis. Sebab kita ketahui bahwa pemilik PT. LAPINDO BRANTAS, adalah bapak Abu Rizal Bakrie. Maka tak khayal apabila Pasal ini lolos dan disahkan pada sidang paripurna, dikarenakan adanya Konspirasi politik dan intervesi kepentingan dalam Penanggulangan Lumpur Lapindo ini. Apalagi sebagian besar anggota partai yang diketua Bapak Abu Rizal Bakrie ini mengisi jajaran di Parlemen dan Mempunyai kedekatan dengan Presiden. Sehingga dari hal itu, Lumpur Lapindo kini menjadi tanggung jawab Negara dan PT. LAPINDO selaku yang membuat kesalahan atas semburan Lumpur di Sidoarjo. Sehingga akan nampak jelas, jika menggunakan tameng Hukum Agraria mengenai pengadaan Tanah, maka akan lebih meringankan beban Lapindo. Karena Negara bisa beralasan, bahwa Tanah yang seharusnya menjadi tanggung Jawab PT. LAPINDO. Kini menjadi tanggung jawab negara dengan alasan demi Kepentingan umum.

Padahal apabila kita melihat Definisi kepentingan umum, adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Dan Pada Perpres No. 36 Tahun 2005 pengertian kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat. Sehingga dari definisi kepentingan umum tersebut ternyata lebih memiliki kejelasan dengan menekankan adanya kepentingan bangsa, negara dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah. Sedangkan dalam kasus Lumpur Sidoarjo apakah termasuk dalam Kepentingan umum ? Apakah itu merupakan bagian dari kepentingan bangsa, negara, dan Masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah ?. Tentu saja tidak, karena tidak mencakup sebagian besar lapisan Masyarakat. Pasal 18 UU APBN-P 2012 ada, karena kepentingan PT. Lapindo. Dan gunakan untuk menjaga kemakmuran PT. Lapindo akibat harus membayar atas korban Lumpur Lapindo.

Lalu kita lihat, Adanya penegasan tujuan dari pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang dimuat Pasal 3, yaitu bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak. Cakupan pengadaan tanah yang digunakan untuk kepentingan umum dalam pembangunan telah dipertegas dalam Pasal 10 dengan jumlah 18 item. Dilihat dari materinya merupakan penegasan dan penyempurnaan cakupan dari Pasal 5 Perpres 63 Tahun 2005 yang memiliki 21 item, dan perpres 65 tahun 2006 dengan 7 item. Ke 18 item cakupan pengadaan tanah untuk kepentingan umum tersebut adalah meliputi :

    1. Pertahanan dan keamanan nasional;
    2. Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;
    3. Waduk, bendungan, bending, irigasi, saluran air minum, seluran pembuangan air dan sanitasi, bangunan pengairan lainnya;
    4. Pelabuhan, Bandar udara, dan terminal;
    5. Infrastruktur minyak, gas dan panas bumi, meliputi transmisi dan/atau distribusi minyak, gas dan panas bumi;
    6. Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;
    7. Jaringan telekomunikasi and informatika;
    8. Tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
    9. Rumah sakit pemerintah/pemerintah daerah;
    10. Fasilitas keselamatan umum
    11. Tempat pemakaman umum pemerintah/pemerintah daerah;
    12. Fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
    13. Cagar alam dan cagar budaya;
    14. Kantor pemerintah/pemerintah daerah/desa;
    15. Penataan pemukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa;
    16. Prasarana pendidikan atau sekolah pemerintah/pemerintah daerah;
    17. Prasarana olah raga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan
    18. Pasar umum dan lapangan parkir umum.

Sehingga dari 18 item, yang dimaksud dengan kepentingan umum tersebut. Apakah penanggulangan atas pembelian Tanah korban Lumpur Lapindo termasuk dalam kepentingan umum ?. dan apakah benar, jika Negara harus menanggung dampak dari Luapan lumpur Lapindo tersebut ?. padahal dalam kajian, Undang – undang Hukum Agraria sendiri tidak tercantum seperti kasus Lumpur Lapindo itu, apakah termasuk dalam Kepentingan umum. Oleh karena itu, pengkajian atas UU APBN-P 2012 pasal 18 sangat perlu dikaji. Karena hal ini, bukanlah merupakan tanggung jawab negara, meskipun negara tidak bisa lepas tangan secara Penuh.
Kemudian dari aturan tersebut, bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum wajib diselenggarakan oleh pemerintah dan tanahnya selanjutnya dimiliki Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Jika yang memerlukan BUMN maka tanah untuk kepentingan umum menjadi milik BUMN. Tetapi apabila kita melihat kasus Lumpur lapindo. Dalam pertimbangan dijelaskan Pasal 18 dan UU APBN-P dan Pasal 19 UU APBN 2012 intinya mengenai dana APBN untuk pos anggaran Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo (BPLS) untuk membayar ganti rugi yang berada di luar Peta Area Terdampak (PAT). Sedangkan wilayah yang berada di dalam PAT merupakan tanggung jawab PT Lapindo Brantas sebagai pemegang Kontrak Production Sharing (KPS) Blok Brantas untuk membayar ganti kerugian atas pembelian atas tanah dan bangunan masyarakat yang terkena dampak semburan dan luapan lumpur.
Tentunya yang akan menjadi pertanyaan besar bagi kita, adalah setelah semua tanah itu lunas dibayar baik oleh pemerintah maupun PT. Lapindo. Siapakah yang akan memiliki hak atas tanah yang sudah dibeli, baik dalam PAT maupun diluar PAT. Dan bagaimana aturan selanjutnya, mengenai kepemilikan tanah tersebut. Apakah karena adanya Lumpur tersebut, maka semua cakupan tanah yang berada di dalam PAT Lumpur Lapindo adalah milik Lumpur Lapindo. Sedangkan tanah yang diluar PAT, yang dibeli oleh negara sesuai dengan aturan APBN-P 2012 Pasal 18, adalah menjadi milik negara. Tentu saja dari hal ini, kita perlu mengkaji lagi aturan – aturan mengenai penanggulangan Lumpur Lapindo. Sehingga jelas, tanggung jawab dan peruntukannya bagi Masyarakat, tanpa adanya intervensi kepentingan.








Tidak ada komentar:

Posting Komentar