1.
Apa Yang Anda Ketahui Tentang ?
a.) HAPTUN
dan HATUN
Ø
HAPTUN ( Administratieve rechtspraak)
v Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara (HAPTUN) adalah Peraturan Hukum yg
mengatur proses penyelesaian perkara TUN melalui pengadilan (hakim), sejak
pengajuan gugatan sampai keluarnya putusan pengadilan (hakim).
v HAPTUN disebut juga hukum formal yang berfungsi mempertahankan berlakunya
HTUN (HAN) sebagai hukum material. Diatur bersama dengan hukum materialnya.
ketentuan mengenai prosedur berperkara diatur bersama dengan hukum materialnya/
dengan susunan, kompetensi badan peradilan dalam bentuk UU/Peraturan lain.
Ø HAPTUN sbg pelaksana Pasal 12 UU No. 14 Th 1970 diatur bersama hkm
materialnya
Ø Prosedur berperkara diatur tersendiri dalam bentuk UU/Peraturan lainnya.
Ø UU No. 5/1986 tentang PTUN
Ø UU No.9/2004 tentang PTUN
Ø
HATUN ( Administratieve processrecht )
HTUN adalah aturan –
aturan yang mengatur tata cara alat – alat pemerintah dan badan kenegaraan dan
PTUN dalam melaksanakan tugasnya, Yang membuat beschiking. Salah 1 unsur PTUN
adalah pihak -pihak dan salah satu pihak itu adalah Badan atau Pejabat TUN dlm
kedudukanya dan bertindak berdasarkan wewenang yang diberikan oleh HTUN (HAN)
dlm menjalankan tugas pelayanan umum.
b.) Latar
Belakang Lahirnya PTUN.
1.
Untuk
menciptakan pemerintahan yang berwibawa ( Clean and Strong Government )
2.
Adanya
PTUN adalah juga sabagai Syarat Indonesia sebagai Negara Hukum.
( seperti yang ada pada UUD 1945 Pasal 1 ayat 3 : Indonesia adalah Negara Hukum )
berikut ini adalah syarat – syarat sebagai Negara hukum, antara lain :
( seperti yang ada pada UUD 1945 Pasal 1 ayat 3 : Indonesia adalah Negara Hukum )
berikut ini adalah syarat – syarat sebagai Negara hukum, antara lain :
Adanya Perlindungan Hak Asasi Manusia
Asas – Asas Legalitas ( semua tunduk pada aturan hukum )
Pembagian Kekuasaan
Peradilan Administrasi Negara (PTUN)
3.
PTUN sebagai sarana, media, atau wadah apabila terjadi
konflik antara penjabat / badan hukum negara dengan rakyat. Yang dimaksud
konflik disini, apabila ada suatu Beschiking (KTUN) yang menjadi Obyek dari
PTUN menimbulkan permasalahan atau kerugian bagi masyarakat.
( sesuai dengan
lahirnya Peradilan Tata Usaha Negara yaitu UU NO. 5 Sdut No. 9/2004 Sdut N0.
51/2009 )
4.
Adanya Hakim Ad-Hoc
c.) Kompetensi Absolut dan Relatif
dalam PTUN
1. Kompetensi Relatif
Kompetensi relatif suatu badan pengadilan
ditentukan oleh batas daerah hukum yang menjadi kewenangannya. Suatu badan
pengadilan dinyatakan berwenang untuk memeriksa suatu sengketa apabila salah
satu pihak sedang bersengketa (Penggugat/Tergugat) berkediaman di salah satu
daerah hukum yang menjadi wilayah hukum pengadilan itu.
Pengaturan kompetensi relatif peradilan tata
usaha negara terdapat dalam Pasal 6 dan Pasal 54
Pasal 6 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun
2004 menyatakan :
- Pengadilan Tata Usaha Negara
berkedudukan di ibukota Kabupaten/Kota, dan daerah hukumnya meliputi
wilayah Kabupaten/Kota.
- Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara berkedudukan di ibukota Provinsi dan daerah hukumnya meliputi
wilayah Provinsi.
Untuk saat sekarang PTUN masih terbatas
sebanyak 26 dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT.TUN) ada 4 yaitu PT.TUN
Medan, Jakarta, Surabaya dan Makasar di seluruh wilayah Indonesia,
sehingga PTUN wilayah hukumnya meliputi beberapa kabupaten dan kota.
Seperti PTUN Medan wilayah hukumnya meliputi wilayah provinsi Sumatera Utara
dan PT.TUN wilayah hukumnya meliputi provinsi-provinsi yang ada di Sumatera.
Adapun kompetensi yang berkaitan dengan
tempat kedudukan atau tempat kediaman para pihak, yakni pihak Penggugat dan
Tergugat. Dalam Pasal 54 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004 diatur sebagai
berikut :
Gugatan sengketa tata usaha negara diajukan
kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan
tergugat.
- Apabila Tergugat lebih dari satu
Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu
daerah hukum Pengadilan, gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah
hukumnya meliputi tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata
Usaha Negara.
- Dalam hal tempat kedudukan
Tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman
Penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya
meliputi tempat kediaman Penggugat untuk selanjutnya diteruskan kepada
Pengadilan yang bersangkutan.
- Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan
sifat sengketa tata usaha negara yang bersangkutan yang diatur dengan
Peraturan Pemerintah, gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang
berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat.
- Apabila Penggugat dan Tergugat
berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan diajukan kepada
Pengadilan di Jakarta.
- Apabila Tergugat berkedudukan di
dalam negeri dan Penggugat di luar negeri, gugatan diajukan kepada
Pengadilan di tempat kedudukan Tergugat.
Dengan demikian gugatan pada prinsipnya diajukan
ke pengadilan di tempat tergugat dan hanya bersifat eksepsional di tempat
penggugat diatur menurut Peraturan Pemerintah. Hanya saja sampai sekarang
Peraturan Pemerintah tersebut belum ada.
2. Kompetensi Absolut
Kompetensi absolut adalah hal berkaitan
dengan kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara untuk mengadili suatu perkara
menurut obyek, materi atau pokok dari sengketa. Adapun yang menjadi obyek
sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan tata usaha negara sebagaimana
diatur dalam Pasal 1 angka 3 UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004.
Kompetensi absolut PTUN adalah sengketa tata
usaha negara yang timbul dalam bidang Tata Usaha Negara antara orang atau Badan
Hukum Perdata dengan Badan atau Pejabat tata usaha negara, baik di pusat maupun
di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya Keputusan tata usaha negara, termasuk
sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku
(Pasal 1 angka 4 UU No. 5 Tahun 1986 jo UU No. 9 Tahun 2004).
Obyek sengketa Tata Usaha Negara adalah Keputusan
tata usaha negara sesuai Pasal 1 angka 3 dan Pasal 3 UU No. 5 Tahun 1986 UU No.
9 Tahun 2004.
Namun ini, ada pembatasan-pembatasan yang
termuat dalam ketentuan Pasal-Pasal UU No. 5 Tahun 1986 UU No. 9 Tahun 2004
yaitu Pasal 2, Pasal 48, Pasal 49 dan Pasal 142. Pembatasan ini dapat dibedakan
menjadi : Pembatasan langsung, pembatasasn tidak langsung dan pembatasan
langsung bersifat sementara.
d.) Pembatasan Langsung terhadap
Kompetensi Absolut.
Pembatasan langsung adalah pembatasan yang
tidak memungkinkan sama sekali bagi PTUN untuk memeriksa dan memutus sengketa
tersebut. Pembatasan langsung ini terdapat dalam Penjelasan Umum, Pasal 2 dan
Pasal 49 UU No. 5 Tahun 1986. Berdasarkan Pasal 2 UU No. 5 Tahun
1986 UU No. 9 Tahun 2004 menentukan, bahwa tidak termasuk Keputusan tata usaha
negara menurut UU ini :
- Keputusan tata usaha negara yang
merupakan perbuatan hukum perdata.
- Keputusan tata usaha negara yang
merupakan pengaturan yang bersifat umum.
- Keputusan tata usaha negara yang
masih memerlukan persetujuan.
- Keputusan tata usaha negara yang
dikeluarkan berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan perundang-undangan lain
yang bersifat hukum pidana.
- Keputusan tata usaha negara yang
dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan berdasarkan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Keputusan tata usaha negara
mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia.
- Keputusan Komisi Pemilihan Umum
baik di pusat maupun di daerah, mengenai hasil pemilihan umum.
2. Pasal 49,
Pengadilan tidak berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa tata
usaha negara tertentu dalam hal keputusan tata usaha negara yang disengketakan
itu dikeluarkan :
- Dalam waktu perang, keadaan
bahaya, keadaan bencana alam atau keadaan luar biasa yang membahayakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
- Dalam keadaan mendesak untuk
kepentingan umum berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
e.) . Admistratief
Beroef dan Bezwaarschirft.
Admistratief
Beroef/Banding administrasi;
Ø Apabila
penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara tersbut dilakukan oleh instasi lain
dari Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang menerbitkan Keptusan Tata Usaha
Negara yang bersangkutan.
Ø
Pengajuan
surat keberatan (Bezwaarscriff
Beroep) yang diajukan kepada
Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan (Penetapan/
Beschikking) semula. Apabila peraturan dasarnya hanya menentukan adanya upaya
administratif berupa peninjauan surat keberatan, maka gugatan terhadap
Keputusan Tata Usaha Negara yang bersangkutan diajukan kepada pengadilan Tata
Usaha Negara
Bezwaarschirft/Keberatan
;
Ø Apabila
penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara tersebut harus dilakukan sendiri oleh
Badan/Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara
tersebut.
Ø
Pengajuan
banding administratif (administratif
Beroep) yang ditujukan kepada atasan Pejabat atau instansi lain dari Badan/Pejabat
Tata Usaha Negara yang mengeluarkan keputusan yang berwenang memeriksa ulang keputusan Tata Usaha Negara
yang disengketakan. Apabila peraturan dasarnya menentukan adanya upaya
adiministratif berupa surat keberatan dan atau mewajibkan surat banding administratif,
maka gugatan terhadap Keputusan Tata Usaha Negara yang telah diputus dalam tingkat
banding administratif diajukan langsung
kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara dalam tingkat pertama yang berwenang.
2.
Sebutkan Kekuasaan Kehakiman di Lingkungan Peradilan PTUN ?
Dalam Pasal 24 Undang-Undang Dasar 1945 sekarang (hasil amandemen)
disebutkan, bahwa :
- Kekuasaan
kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakan hukum dan keadilan.
- Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Makamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan
agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha
negara dan oleh sebuah Makamah Konstitusi
Berbeda dengan UUD 1945 sebelum amandemen, yang mengatur
kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan kehakiman di
lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan
tata usaha negara. Kekuasaan kehakiman kita sekarang selain diselenggarakan
olah Mahkamah Agung (MA) dan badan-badan peradilan di bawahnya dalam
empat lingkungan peradilan juga oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Kedudukan Mahkamah Agung sama, baik sebelum
dan sesudah amanden UUD 1945 merupakan puncak dari badan-badan peradilan di
empat lingkungan peradilan. Empat lingkungan peradilan yang terdiri dari 1
(satu) lingkungan peradilan umum dan 3 (tiga) lingkungan peradilan khusus yaitu
: agama, militer dan tata usaha negara. Keempat lingkungan peradilan
tersebut masing-masing memiliki badan peradilan (pengadilan) tingkat pertama
dan banding. Badan-badan peradilan tersebut berpuncak pada sebuah MA.
Untuk lingkungan peradilan tata usaha negara
berdasarkan Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara sebagaimana diubah dengan Undang-Undang nomor 9 tahun 2004 tentang
Perubahan Atas Undang-Undang nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara dalam Pasal 47 mengatur tentang kompetensi PTUN dalam sistem peradilan
di Indonesia yaitu bertugas dan
berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa tata usaha negara.
Kewenangan Pengadilan untuk menerima, memeriksa, memutus menyelesaikan
perkara yang diajukan kepadanya yang dikenal dengan kompetensi atau kewenangan
mengadili.
PTUN mempunyai kompetensi menyelesaikan
sengketa tata usaha negara di tingkat pertama. Sedangkan Pengadilan Tinggi Tata
Usaha Negara (PT.TUN) untuk tingkat banding. Akan tetapi untuk
sengketa-sengketa tata usaha negara yang harus diselesaikan terlebih dahulu
melalui upaya administrasi berdasarkan Pasal 48 UU No. 5 tahun1986 jo UU No. 9
tahun 2004 maka PT.TUN merupakan badan peradilan tingkat pertama. Terhadap
putusan PT.TUN tersebut tidak ada upaya hukum banding melainkan kasasi.
3.
Siapakah yang melakukan proses seleksi Pengangkatan Hakim PTUN ? Jelaskan.
a. Wewenang Pengangkatan
Mengenai wewenang pengangkatan umumnya di
setiap pengadilan diatur bahwa hakim ad hoc diangkat oleh Presiden atas usul
Mahkamah Agung, hanya pengaturan dalam pengadilan pajak hal tersebut tidak
jelas. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 9 ayat (2) UU No. 4 Tahun 2004 ‘Dalam
memeriksa dan memutus perkara sengketa pajak tertentu yang memerlukan keahlian
khusus, Ketua dapat menunjuk hakim ad hoc sebagai Hakim Anggota.’ Di sini tidak
jelas siapa yang dimaksud dengan Ketua apakah Ketua Pengadilan atau Ketua MA
yang memiliki wewenang tersebut. Akan tetapi tampaknya ketidakjelasan tersebut
lebih disebabkan karena pada awalnya pengadilan pajak didirikan memang bukan
sebagai pengadilan khusus akan tetapi peradilan khusus. Namun perubahan
konstitusi yang membatasi lingkungan peradilan hanya ada empat yang menyebabkan
peradilan pajak ini harus dirubah menjadi pengadilan khusus pajak. Selain
perubahan konstitusi, proses penyatuan atap juga merupakan faktor yang membuat
ketidakjelasan tersebut. Dalam UU tersebut dikatakan pengaturan lebih lanjut tata
cara pengangkatan hakim ad hoc diatur dengan keputusan menteri, yang mana saat
ini hal tersebut kemungkinan besar tidak akan dimungkinkan lagi.
b. Syarat Hakim Ad Hoc
Mengenai syarat-syarat formil bagi hakim
ad hoc juga berbeda-beda, akan tetapi terdapat benang merah dari masing-masing
pengadilan khusus tersebut, yaitu kompentensi. Umumnya syarat kompentensi
tersebut diturunkan dalam bentuk gelar kesarjanaan dan pengalaman. Berdasarkan
UU, tidak semua pengadilan khusus mensyaratkan lulusan fakultas hukum dan
sejenisnya, cukup banyak juga pengadilan khusus yang tidak mewajibkan lulusan
fakultas hukum sebagai syarat mutlak. Mengenai pengalaman di bidang tertentu
pada pengadilan khusus tidak semua pengadilan khusus mensyaratkan dengan jelas
berapa lama pengalaman di bidang tertentu tesebut dibutuhkan.
c. Tata Cara Pengangkatan Hakim Ad Hoc
proses rekrutmen Hakim Mahkamah Agung membentuk sebuah Panitia
Seleksi yang mengikutsertakan komponen civil society. Tahap yang dilalui pada
rekrutmen Hakim Ad Hoc yaitu, MA membentuk Pansel, kemudian Pansel mengumumkan
dibukanya pendaftaran Hakim Ad Hoc. Setelah calon-calon hakim ad hoc tersebut
mendaftar, Pansel kemudian melakukan seleksi yang dibagi menjadi beberapa
tahap, tahap pertama yaitu seleksi administrasi. Terhadap calon yang telah
memenuhi kelengkapan-kelengkapan administratif tersebut kemudian diwajibkan
untuk mengikuti test tertulis. Setelah test tertulis calon yang lulus kemudian
dilakukan profile assessment test yang dilakukan konsultan psikologi dan manajemen
profesional. Tahap terakhir yang harus dilalui oleh calon adalah tahap fit and
proper test. Dari tahapan-tahan tersebut kemudian Pansel mengajukan usulan
nama-nama calon kepada Ketua MA. Pada proses yang lalu Pansel mengajukan 9
calon Hakim Ad Hoc yang terdiri dari 3 orang untuk tingkat PN, 3 untuk tingkat
PT dan 3 untuk tingkat MA. Para calon tersebut kemudian mengikuti pelatihan
khusus yang diadakan oleh MA bekerja sama dengan pihak luar. Hasil pelatihan
khusus tersebut kemudian menjadi dasar bagi MA untuk mengusulkan calon hakim ad
hoc kepada Presiden.
Tapi Beberapa waktu yang lalu Presiden telah
mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 2005 tentang Penundaan Pelaksanaan UU No. 2
Tahun 2004. Penerbitan Perpu tersebut terjadi karena adanya permohonan dari MA
kepada Presiden karena MA belum siap untuk melaksanakan UU tersebut khususnya
yang berkaitan dengan pengoperasian Pengadilan PHI. Ketidaksiapan MA ini salah
satunya disebabkan oleh jangka waktu yang ditetapkan oleh UU dirasa terlalu
singkat, sementara terdapat kendala-kendala teknis di lapangan seperti
anggaran, rekrutmen hakim ad hoc dan lain sebagainya yang menjadi tanggung
jawab MA. Di sisi lain pihak MA juga mengeluhkan munculnya beberapa pengadilan
khusus yang proses penyusunan UU nya kurang melibatkan pihak MA.
Masalah-masalah ini muncul sebenarnya
merupakan satu implikasi dari program penyatuan atap yang diamanatkan oleh UU
No. 35 Tahun 1999 yang kemudian ditindaklanjuti oleh UU No. 4 Tahun 2004.
Dengan kedua UU tersebut maka fungsi administratif, finansial dan administratif
yang awalnya berada di bawah kewenangan Pemerintah kini menjadi tanggung jawab
MA. Pembentukan pengadilan khusus yang diamanatkan oleh undang-undang tentunya
mempunyai implikasi terhadap hal-hal tersebut. Jika pembentukan pengadilan
khusus dilakukan pada masa sebelum penyatuan atap mungkin
permasalahan-permasalahan yang dikeluhkan oleh MA tidak akan menjadi masalah,
karena tentunya implikasi-implikasi anggaran, finansial, organistatorial dan
administratif yang berkaitan dengan pembentukan pengadilan khusus ini akan
menjadi beban pemerintah. Dan oleh karena pemerintah merupakan pihak yang
terlibat dalam proses penyusunan undang-undang tentunya pemerintah lebih dapat
mengantisipasi masalah-masalah yang saat ini dikeluhkan oleh MA. Hal ini
tampaknya sulit bagi MA karena secara formil MA memang bukan pihak yang
diberikan hak untuk ikut merumuskan undang-undang.
Dengan penyatuan atap, akan tetapi
pembentukan pengadilan khusus tetap dilakukan dengan undang-undang yang
merupakan kewenangan DPR dan Presiden, tentunya masalah-masalah seperti ini
potensial akan terus terjadi. Di satu sisi, struktur ketatanegaraan kita memang
tidak mengatur hak MA dalam hal penyusunan undang-undang. Di sisi lain jika
kewenangan pembentukan pengadilan khusus menjadi kewenangan MA hal ini juga
bisa menimbulkan masalah lain. Tampaknya masalah mekanisme pembentukan
pengadilan khusus ini perlu kita pikirkan lebih serius lagi agar
masalah-masalah seperti yang terjadi saat ini tidak terjadi lagi di kemudian
hari.
Struktur Pengadilan Khusus
Istilah Pengadilan Khusus terkadang sering disalahartikan oleh masyarakat, seakan pengadilan khusus merupakan suatu pengadilan tersendiri yang memiliki struktur organisasi sebagaimana halnya Pengadilan-Pengadilan pada umumnya. Pandangan ini tampaknya semakin menguat setelah berdirinya Pengadilan Tipikor, terutama setelah Pengadilan Tipikor yang merupakan bagian dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dipindahkan ruang sidangnya ke gedung Upindo di kawasan Kuningan Jakarta Selatan.
Padahal jika dilihat undang-undang yang
mengatur masing-masing Pengadilan Khusus tersebut tidak ada yang mengatur
mengenai struktur organisasi dari Pengadilan Khusus tersebut, dengan
pengecualian Pengadilan Pajak. Namun mengenai Pengadilan Pajak ini menurut
penulis terjadi karena memang sedari awal Pengadilan Pajak dimaksudkan untuk
sebagai Badan Peradilan Khusus yang sejenis dengan Peradilan Umum, Agama, TUN
dan Militer. Hal ini terlihat dari kewenangan pembinaan organisasi,
administrasi, dan finansial pengadilan pajak ini berada dibawah Departemen
Keuangan,[10] sementara pada saat itu tidak ada satupun badan peradilan yang
pembinaannya berada dibawah Departemen Keuangan. Namun karena ternyata 5 bulan
sebelum UU No.14 Tahun 2002 ini disahkan amandemen UUD 1945 telah menutup
kemungkinan berdirinya badan peradilan baru selain yang telah ada maka akhirnya
Pengadilan Pajak ‘dipaksakan’ untuk masuk dalam wilayah Peradilan TUN melalui
UU No. 4 Tahun 2004.
4.
Sebutkan Perbedaan Kewenangan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi dalam
pengujian pengaturan perundang – undangan ?
Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi adalah penyelenggara kekuasaan kehakiman di Indonesia sesuai dengan
UUD 1945 Amandemen ke III
Menurut UUD 1945, kewajiban dan wewenang MA adalah:
Menurut UUD 1945, kewajiban dan wewenang MA adalah:
- Berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundangan di bawah UU, dan mempunyai wewenang lainnya yang
diberikan oleh UU
- Mengajukan 3 orang anggota Hakim Konstitusi
- Memberikan pertimbangan dalam hal Presiden memberi
grasi(pemberian pengampunan/pengurangan hukuman) dan rehabilitasi
(pemulihan nama baik)
Menurut UUD 1945, kewajiban dan
wewenang Mahkamah Kosntitusi adalah:
- Berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir
yang putusannya bersifat final untuk menguji UU terhadap UUD, memutus
sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD
1945
- Wajib memberi putusan atas pendapat DPR mengenai dugaan
pelanggaran oleh Presiden dan Wakil Presiden menurut UUD 1945
5.
Sebutkan Macam – macam KTUN yang tidak termasuk dalam pengertian Pasal 2
UU PTUN ?
Keputusan Tata
Usaha Negara merupakan suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan
atau pejabat Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara
yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, bersifat konkret,
individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan
hukum perdata (Pasal 1 angka 3 UU No.5 Tahun 1986).
Macam-macam Keputusan Tata Usaha
Negara. :
1.
De
Rechtsvastellende Beschikkingen
2.
De
Constitutieve Beschikkingen, yang
terdiri atas:
-
Belastande
Beschikkingen (Keputusan yang memberi beban)
-
Begunstigende
Beschikkingen (Keputusan yang menguntungkan)
-
Statusverleningen (Penetapan status)
3.
De
Afwijzende Beschikkingen (Keputusan
Penolakan)
Adapun E.Utrecht menyatakan bahwa
ada beberapa macam-macam keputusan tata usaha Negara, diantaranya. :
1. Ketetapan Positif dan Ketetapan Negatif
Ketetapan Positif merupakan
ketetapan yang menimbulkan hak/ dan kewajiban bagi yang dikenai ketetapan.
Sedangkan Ketetapan Negatif merupakan ketetapan yang tidak menimbulkan
perubahan dalam keadaan hukum yng telah ada. Adapun ketetapan negatif ini dapat
berbentuk:
Ø Pernyataan tidak
berkuasa (Onbevoegd-Verklaring)
Ø Pernyataan tidak
diterima (Nietontvankelijk Verklaring)
Ø Atau suatu penolakan (Afwijzing)
2.
Ketetapan Deklaratoir atau Ketetapan
Konstitutif
Ketetapan Deklaratoir merupakan ketetapan yang hanya
menyatakan bahwa hukumnya demikian(Rechtsvastellende Beschikking)
Sedangkan ketetapan konstitutif adalah ketetapan dalam
membuat hukum (Rechtsheppend)
- Ketetapan Kilat (Eenmalig) dan
Ketetapan yang Tetap atau Permanen (Blijvend)
Ketetapan Eenmalig adalah
ketetapan yang hanya berlaku sekali atau ketetapan sepintas lalu atau ketetapan
yang bersifat kilat (Vluctige Beschikking)
- Ketetapan yang bermaksud
mengubah redaksi (teks) ketetapan lama
- Suatu ketetapan negatif
- Penarikan atau pembatalan
suatu ketetapan
- Suatu pernyataan pelaksanaan(Uitvoerbaarverklaring)
- Ketetapan yang Menguntungkan dan Ketetapan yang Memberi
Beban
Ketetapan bersifat menguntungkan
artinya ketetapan itu memberi hak-hak atau memberikan kemungkinan untuk
memperoleh sesuatu yang tanpa adanya ketetapan itu tidak akan ada atau bilamana
ketetapan itu memberikan keringanan beban yang ada atau mungkin ada.
Sedangkan ketetapan yang memberikan
beban adalah ketetapan yang meletakkan kewajiban yang sebelumnya tidak ada atau
ketetapan mengenai penolakan terhadap permohonan untuk memperoleh keringanan.
- Ketetapan yang Bebas dan Ketetapan yang Terikat
Ketetapan yang bersifat bebas adalah
ketetapan yang didasarkan pada kebebasan bertindak yang dimiliki oleh pejabat
tata usaha Negara.
Sedangkan Ketetapan yang terikat
adalah Ketetapan itu hanya melaksanakan ketentuan yang sudah ada tanpa adanya
ruang kebebasan bagi pejabat yang bersangkutan.[8]
- Ketetapan Perorangan dan Ketetapan Kebendaan
Ketetapan Perorangan adalah ketetapn
yang diterbitkan berdasarkan kualitas pribadi orang tertentu
Sedangkan ketetapan kebendaan adalah
keputusan yang diterbitkan atas dasar kualitas kebendaan.
Dan Yang Tidak termasuk dalam
pengertian Keputusan Tata Usaha Negara menurut Undang-Undang PTUN pasal 2 ini,
antara lain :
1. Keputusan
Tata Usaha Negara yang merupakan perbuatan hukum perdata;
2. Keputusan
Tata Usaha Negara yang merupakan pengaturan yang bersifat umum;
3. Keputusan
Tata Usaha Negara yang masih memerlukan persetujuan;
4. Keputusan
Tata Usaha Negara yang dikeluarkan berdasarkan ketentuan Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana atau peraturan
perundang-undangan lain yang bersifat hukum pidana;
5. Keputusan
Tata Usaha Negara yang dikeluarkan atas dasar hasil pemeriksaan badan peradilan
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
6. Keputusan
Tata Usaha Negara mengenai tata usaha Tentara Nasional Indonesia;
7. Keputusan
Komisi Pemilihan Umum baik di pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilihan
umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar