MvpTogeteR

MvpTogeteR
Selamat datang Didunia MVP

Minggu, 31 Maret 2013

Bahayakah Gerakan Anonymous ?


GERAKAN ANONYMOUS, Terinspirasi Guy Fawkes

Seberapa penting sosok Guy Fawkes itu sehingga wajahnya dijadikan topeng dan symbol perlawanan? Ternyata kisah hidupnya tidak jauh berbeda seperti yang dikisahkan dalam film V for Vandeta. Guy Fawkes merupakan seorang ekstimis katolik di Inggris (Inggris mayoritasnya Protestan). Kisah heroik Guy Fawkes dimulai dari ekspresi kekecewaan pada kerajaan. Masyarakat Katolik yang mendapat perlakuan tidak adil dari Raja James I dan Guy Fawkes ingin meledakan gedung parlemen sebagai balas dendam terhadap petinggi-petinggi Protestan yang jahat dan keji pada saat itu. Pada masa itu, petinggi-petinggi gereja Protestan dan Raja James I membebani masyarakat katolik Inggris dengan begitu tinggi, selain itu juga mereka menangkapi para imam katolik. Aktivitas keagamaan kaum katolik juga dibatasi, kaum katolik tidak bisa mendirikan gereja begitu saja bahkan hanya sekedar untuk mengadakan misa pun dilarang. Akhirnya kaum katolik Inggris melakukan ritus keagamaannya dengan cara sembunyi-sembunyi.
Penangkapan Guy Fawkes
Guy Fawkes bersama teman-temannya yang kurang lebih berjumlah 30 orang dengan membawa 30kg mesiu pada tanggal 5 November 1605 dikota London, mereka mencoba untuk meledakan gedung parlemen Inggris untuk membunuh James I yang dianggap paling bertanggung jawab atas penderitaan kaum Katolik. Naas memang tak bisa ditolak, aksi Guy Fawkes keburu diketahui. Guy Fawkes lalu dipenjara dan dihukum mati. Sebagai penghormatan untuknya para imigran di Inggris memperingat tanggal 5 November sebagai hari bubuk mesiu. Dimana kota London dipenuhi oleh kembang api. (Pantas saja beberapa waktu yang lalu dosenku yang kuliah di London di akun Facebooknya menuliskan “sial, London berisik banget oleh Kembang api, saya tidak bisa tidur karena itu berisiknya”).
Guy Fawkes adalah symbol perlawanan yang kecenderungannya sebagai kelompok anarki (jangan maknai anarki sebagai perusak). Mereka yang merasa ketertindasan adalah bentuk pilihan yang harus dibalas oleh perlawanan. Guy Fawkes dan kawan-kawannya tidak peduli dengan keminoritasannya. Meski mereka sedikit dibandingkan dengan kaum protestan, Guy Fawkes tidak peduli untuk segera bertindak dengan menyingkirikan ketertindasan, ya meski pada akhirnya ia harus mati itu. Setidaknya kematiannya menginspriasi banyak pihak dan menjadikannya sebagai symbol perlawanan. Itulah kenapa pada akhrinya kelompok hacker anonymous menjadikan dirinya sebagai symbol perlawanan.
lawanlah dengan buku!!!
Ditengah krisis global dimana keadilan ditentukan oleh pihak penguasa yang memenangkan perang. Dimana pendefinisian moral adalah terpisahnya kepala dan leher dan uang menjadi Tuhan baru yang lebih disembah umat manusia. Semua adalah kekacauan dari segala lini kehidupan yang awal mulanya karena kepentingan ekonomi lalu beranjak pada kepentingan social, politik bahkan budaya.
Tidak ada yang benar-benar tulus untuk memaslahatan. Tidak ada pula genarasi yang berusaha memaknai perdamaian sebagai wujud nyata, bukan mimpi. Semua karena kepentingan manusia yang terus menggerus nalar dan sisi kemanusiaannya. Mereka berebut senjata lalu datang dengan peluru-peluru yang siap mencabuti nyawa manusia yang tak tahu sebelumnya soal darah dan air mata. Dunia memang sedang kacau balau, Negara-negara adidaya sedang menancapkan cengkramannya di Negara dunia ketiga dan menganggap negera dunia ketiga macam Indonesia ini bisa dengan mudah dibodohi dan dipermainkan oleh kepentingan global.
Kita hanya menjadi tumbal dan objek kesenangan dari mereka si pendefinisi kebenaran. Kekacauan ini harus segera berakhir. Minoritas atau mayoritas bukan lagi jadi semacam penghalang. Perlawanan harus tetap tegak berdiri meski kita tak pernah tau batas kemampuannya. Sekali lagi, memang perlu Guy Fawkes-Guy Fawkes baru yang datang dijaman modern ini. Perlawanannya pun tidak sama dengan Guy Fawkes terdahulu dengan membakar Lord Of House.

Negara hanyalah korporasi penjagal. Menindasi rakyatnya atas nama kesejahtraan. Nyatanya, rakyat hanya sapi perah kekuasaan. Guy Fawkes sudah ratusan tahun yang lalu mati, mungkin saja tulang belulangnya sudah habis dimakan jaman tetapi nafas perlawanannya masih tetap hidup menembuh lorong waktu di masa yang tak pernah ia pikirkan sebelumnya.

Sebagai penutup, kita sedang duduk, diam, makan, tidur, beraktifitas dijaman dimana moral dan keadilan didefinisikan oleh pemenang. Selamanya kita akan menjadi kalah dan terlahir menjadi kalah digerus arus liberalisme dan kapitalisme yang sulit memaknai arti kebersamaan dengan sunggu-sungguh. Oleh karena itu lahirlah. Lahirlah genarasi baru pemberontak-pemberontak, diluaran sana para keparat sedang asik menikmati roti kekuasan. Diluaran sana mereka sedang bercinta dibalik kursi empu kekuasaan dan kita yang menikmati kesengsaraan.


Gerakan Anonymous Dalam Gerakan Dunia Maya

Asal Kata Anonymous
Nama Anonymous sendiri terinspirasi oleh anonimitas user yang biasa memposting sesuatu di internet. Ya, banyak orang lebih memilih tidak menyebut identitas aslinya di dunia maya. Konsep Anonymous semakin mantap pada tahun 2004. Ketika itu, administrator di forum 4chan mengaktivasi protokol Forced-Anon yang membuat semua postingan bernama Anonymous.

Anonymous pun merepresentasikan sebuah kelompok individu yang tidak bernama. Anggota Anonymous terdiri dai banyak pengguna forum internet. Mereka memobilisasi serangan atau misi melalui berbagai wadah. Seperti di 4chan, YouTube, sampai melalui Facebook. "Setiap orang yang ingin bisa menjadi Anonymous dan bekerja dengan tujuan tertentu. Kami setuju dengan semua agenda namun beroperasi secara independen," tukas seorang anggotanya. Salah satu semboyan mereka yang terkenal adalah We are Anonymous. We are Legion. We do not forgive. We do not forget. Expect us.

Lahir Tahun 2003
Cikal bakal kelompok Anonymous ini dilaporkan berasal dari tahun 2003. Awalnya berasal dari forum internet bernama 4chan. Anonymous punya beragam misi. Terkhusus, mereka menentang sensor internet dan pengawasan online oleh pemerintah. Sehingga seringkali mereka menyerbu website pemerintah sebagai tanda protes. Anonymous juga anti terhadap paham scientology, korupsi, dan homophobia. Padahal pada awalnya, kelompok komunitas online ini dibuat untuk tujuan senang-senang.

Sejak tahun 2008, kelompok Anonymous semakin erat kaitannya dengan aktivitas hacking internasional yang saling bekerjasama, melakukan protes ataupun tindakan lain yang seringkali tujuannya berhubungan dengan mempromosikan kebebasan internet dan kebebasan berpendapat. Yaitu menentang adanya STOP SOPA PIPA (Stop All Piracy Act) Yang membuat agen FBI turun tangan untuk menyisir server-server seperti Megaupload, Filesonic, Mediafire, dan sebagainya. Dan seperti yang kita ketahui, sudah ada server yang ditutup.. 

Berkenaan dengan adanya kebijakan itu, Anonymous marah... Dan mengancam semua pihak yang mendukung ada nya stopipa ini. Sudah banyak yang mendapat ancaman, dan salah satunya yang paling terkenal adalah FACEBOOK, karena dikabarkan FB menyalahgunakan data-data privasi penggunanya, lalu menjualnya ke pihak ke 3 (sperti Intel, pemerintah, dsb). 

Anonymous memang bukan benar-benar sebuah organisasi. Mereka adalah grup besar individual yang mempunyai ketertarikan yang sama. Sehingga sering dikatakan semua orang bisa menjadi Anonymous. 

Sejak tahun 2008, Anonymous semakin serius dalam aksi hacktivist, yaitu melakukan hack untuk misi tertentu. Mereka dijuluki sebagai Robin Hood digital dan dikenal memperjuangkan kebebasan informasi dan akses internet. Aksi hack mereka semakin liar dan menyerang website-website penting. Sehingga majalah ternama Time memasukkan nama mereka sebagai salah satu kelompok paling berpengaruh di duniapada tahun 2012.

Serangan ke Website Penting
Anonymous sudah sering melakukan serangan ke berbagai website penting. Biasanya sebagai tanda protes atau ketidaksetujuan. Pada tahun 2009 setelah Pirate Bay terbukti bersalah atas kasus hak cipta, Anonymous melancarkan serangan melawan organisasi International Federation of the Phonographic Industry (IFPI).

Organisasi tersebut termasuk yang menentang keberadaan Pirate Bay. Aksi serupa terjadi tahun 2012 lalu ketika website Megaupload ditutup. Hacker Anonymous berhasil melumpuhkan situs Departemen Kehakiman AS, FBI, dan Motion Picture Association of America (MPAA). Semuanya dinilai sebagai pihak yang menggembosi Megaupload.

Anonymous juga pernah melumpuhkan situs yang mengandung pornografi anak. Pada tahun 2008, mereka melancarkan serangan online besar-besaran pada kelompok agama Scientology. Tidak jarang mereka melakukan serangan ke website pemerintah berbagai negara. Mereka pernah menumbangkan berbagai situs penting Israel sebagai protes serangan brutal mereka ke Palestina. Mereka sempat mengumbar 5000 data pribadi pejabat Israel.

Beberapa "serangan" terbaik Anonymous:
Meski tak ada unsur kekerasan, sebagian besar kegiatan hacktivisme adalah ilegal atau setidaknya ambigu secara legal di mana semua anggotanya bergerak secara anonim. Meski begitu, di saat banyak orang merasa keadilan tak dijamin hukum, beberapa pihak memandang hacktivis ini sebagai pahlawan yang melindungi publik.
Beberapa tahun terakhir, hacktivis ‘Anonymous’ yang anggotanya hadir dalam demonstrasi dengan mengenakan topeng Guy Fawkes melakukan serangkaian serangan. Berikut serangan-serangan terbaik mereka.

1.Serangan Gereja
Kelompok ini menjadi tenar di dunia internasional pada 2008 setelah berbulan-bulan kampanye melawan Church of Scientology bernama ‘Project Chanology’. Hacker (peretas) ini menghancurkan situs gereja ini dan membanjiri mesin fax mereka dengan fax hitam.

Tak cukup itu, kelompok ini mengkoordinasi metode serangan bernama ‘Google Bombing’ di mana ‘scientology’ ditautkan hal lain seperti ‘bahaya’ dan ‘kultus’ agar hasil pencarian menjadi kacau.

Kelompok ini merespon proyek itu dengan membuat ‘Project Chanology’ yang kabarnya merupakan upaya ilmuwan menggunakan internet untuk menyensor informasi salah mengenai praktek mereka.

2.Penemuan Gelap
Pada Oktober, Anonymous kembali menarik perhatian karena berhasil melumpuhkan 40 situs pornografi anak ilegal. Anggota kelompok ini menemukan cache situs itu pada 14 Oktober lalu saat menyusuri situs rahasia Hidden Wiki.

Saat bersamaan, Anonymous menemukan ratusan situs bawah tanah yang tak tampak di mesin pencari. Para peretas ini khususnya menarget situs berbagi file pedofil Lolita City dan membocorkan 1.589 nama aktif anggotanya ke publik pada 18 Oktober lalu. Dalam kampanye ‘Operation Darknet’, kelompok ini juga menguak sisi gelap internet yang disebut ‘darknet’ yang tak bisa diakses pengguna biasa.

3.BART Lumpuh
Pada 11 Agustus lalu, layanan ponsel pada platform kereta San Fransisco Bay Area Rapid Transit System (BART) lumpuh. Hal ini dilakukan sebagai protes pada kepolisian BART yang menembak penumpang tak bersalah dengan luka fatal.

Anonymous kemudian meresponnya dengan serangkaian serangan membobol database konsumen BART yang kemudian mengunggah nama, email, kode pos dan password akun ribuan pengguna MyBART.org. Tak hanya itu, kelompok ini juga membobol kepolisian BART dan mengunggah lusinan nama dan alamat petugas BART.

4.Cybergate
Pada Februari, CEO firma keamanan cyber HBGary Federal Aaron Barr mengaku berhasil menyerang Anonymous dan mengungkap informasi anggotanya. Saat itu, kelompok ini menyerang balik dan menang. Awalnya, para peretas ini membobol situs HBGary Federal dan mencuri 70 ribu pesan dari sistem emailnya serta membuat email itu bisa dicari di web.

Email itu sendiri berisi informasi penting mengenai perusahaan itu, termasuk rencana perusahaan menghancurkan WikiLeaks serta membuat kampanye umum dengan informasi salah. Serangan ini sendiri berakhir pada penyelidikan pemerintah di banyak perusahaan yang terkait skandal ini dan memaksa Aaron Barr mengundurkan diri.

5.Revolusi Arab (Arab Spring)
Anonymous memiliki peran dalam revolusi Arab sejak awal tahun ini. Kelompok ini melakukan serangkaian serangan ‘denial of service’ pada situs pemerintah Mesir, Tunisia dan Iran.

Serangan-serangan ini menggunakan software sederhana guna membebani situs dengan trafik berlebih yang akhirnya menghancurkannya. Para peretas juga merilis alamat email dan password pejabat pemerintah Timur Tengah yang melawan Arab Spring ini, termasuk Bahrain, Mesir, Yordania dan Maroko.

Para awal Agustus, Anonymour membobol situs Kementerian Pertahanan Suriah dan memasang gambar bendera pra-Ba’athist yang merupakan simbol gerakan pro-demokrasi yang terjadi di negara itu serta mengirim pesan mendukung pemberontakan Suriah.

Doktrinasi Gerakan Anonymous dengan Propaganda Film

film V for Vendetta mengambil latar belakang Inggris di era masa depan ketika berada di bawah kepemimpinan rezim yang totaliter. Hal ini bermula sesaat pasca-perang dunia yang meluluhlantakkan berbagai negeri. Kekacauan merebak dimana-mana, kelaparan, penyakit dan juga angka kematian yang begitu tinggi. Hal ini akhirnya yang menjadi pembenaran bagi seorang politikus yang ambisius untuk meraih kekuasaannya dengan menerapkan pola kekuasaan yang fasistik. Semua dikontrol oleh negara, tak ada kebebasan sipil, bahkan juga termasuk dalam berpendapat dan menjadi berbeda. Bahkan juga di dalamnya, memeluk agama lain selain satu agama yang ‘direstui’ oleh pemerintah, dianggap sebagai sebuah kejahatan. Dalam satu bagian, dikisahkan bagaimana seseorang dapat ditangkap hanya karena memiliki Al-Qur’an. Film, buku-buku sastra dan bahkan juga karya-karya seni dilarang.

Di tengah kondisi demikian, seorang individu yang menyebut dirinya V, dengan mengenakan kostum ala Guy Fawkes mulai mengambil tanggung jawab atas semua hal yang terjadi dan mulai melancarkan propaganda yang dikenal dengan istilah "propaganda by deed". V menyadari bahwa kesalahan suatu negeri memang tidak dapat ditudingkan begitu saja pada para birokrat dan politisi, karena bagaimanapun juga, para penguasa fasis tersebut bisa berada di kekuasaannya karena publik membiarkannya (dengan berbagai alasan, seperti ketakutan dan ketidak pedulian). Dalam satu episode, V mengatakan pada publik melalui televisi bahwa, “untuk mengetahui siapa yang bersalah atas semua yang terjadi, mari kita menatap cermin.”
Maka aksi V yang dimulai pada tanggal 5 November dimulai. Tanggal ini sendiri dipilih untuk menghormati tanggal di mana Guy Fawkes melakukan aksi peledakkan gedung parlemen Inggris pada abad ke-16 yang gagal—kisah mengenai Guy Fawkes sendiri adalah kisah yang nyata terjadi. Satu persatu para politikus, yang merupakan sejumlah tokoh penting dari partai politik yang berkuasa, menemui ajalnya. Hal ini berkaitan dengan ‘dosa-dosa’ para politikus tersebut pada masa lampau yang telah memilih V sebagai salah satu korbannya. Plot pemberontakan itu sendiri disusun oleh V sedemikian rupa sehingga dalam waktu satu tahun (dari tanggal 5 November ke 5 November tahun berikutnya), yang diharapkan seluruh kekuasaan fasis akan runtuh.

Dalam film, segalanya berlangsung lancar. Plot demi plot berjalan dengan mulus, bahkan hingga titik terakhirnya di mana publik dengan tenang berjalan menuju Trafalgar Square dan berkumpul menyaksikan bagaimana gedung parlemen meledak dan runtuh. Tentara yang berjaga bahkan tak melepaskan satu tembakan. Semua orang penting partai yang dianggap berdosa pada masa lampau telah menemui ajalnya di bawah keadilan yang dibawa oleh V. Sang pemimpin negara, Kanselir Adam Sutler, tewas ditembak Creedy, komandan pertahanan. Creedy sendiri kemudian dibunuh V. Semua mulus walau V sendiri akhirnya menemui ajalnya di tangan para Fingerman, polisi khusus pemerintah.

oleh Latar belakang Film Tersebut apa yang diinginkan oleh V (dimana kekacauan merebak, penjarahan terjadi dimana-mana). V menjawab, “Anarki bukanlah seperti demikian. Ini adalah chaos.” Lanjutnya, “Anarki adalah masyarakat “do-what-you-will” (lakukan apa yang ingin kamu lakukan), sementara kekacauan sosial hanyalah masyarakat “take-what-you-want” (ambil yang kamu inginkan). maka hal tersebut tentunya akan menjadi sentral dari gerakan Masyarakat Anarkis yang mencoba menggulingkan pemerintahan yang sah, dengan jalur kekerasan dan menyatakan Hal itu sebagai Langkah keadilan bagi bersama.

Anonymous yang aku tahu ada di film V For Vandeta sebagai sosok yang pejuang yang selalu menggunakan topeng. Film itu menceritakan Inggris pada tahun 2038 yang ketika itu dipimpin oleh seorang dictator yang menyengsarakan rakyat Inggris. Rakyat Inggris dilanda kelaparan, kemiskinan dan banyak yang mati karena keadaan itu. Sampailah pada saat itu muncul seorang sosok yang misterius yang dikenal sebagai Mr.V. Mr V mencoba melepaskan keadaan buruk itu dan dalam menjalankan aksi perlawanan sistem dengan menggunakan topeng. Topeng yang selalu digunakan Mr. V dalam menjalankan aksi perlawanan terhadap sistem menjadi simbol bahwa pelaku pemberontakan adalah masyarakat itu sendiri dan bisa dilakukan oleh siapa saja sehingga menghindari kultus individu seseorang yang biasa terjadi dalam suatu revolusi. Biasanya dalam revolusi selalu muncul sosok-sosok yang pada akhirnya identik dengan revolusi itu dan seolah-seolah menjadi individu yang dikultuskan sebut saja Bung Karno atau Lennin dalam revolusi Bolsyevik di Russia.

dan Gerakan Anonymous kian moncer lagi setelah mereka menyatakan dukungan terhadap gerakan anti-kapitalisme yang muncul lewat demonstrasi ‘Occupy Wallstreet’.  Aksi unjuk rasa itu sebenarnya dimotori oleh sejumlah LSM yang merasa muak dengan ketamakan dan kerakusan Wall Street. 

Mereka menganggap Wall Street sebagai biang kerok krisis 2008, kehancuran demokrasi dan kesenjangan mencolok antara kelompok miskin dan kaya.  Anonymous menyeru kepada anggotanya untuk ikut membeking aksi tersebut. Lewat forum chat mereka memobilisasi komunitasnya untuk ikut turun ke jalan

Gerakan yang berlangsung selama lima bulan itu meluas ke kota-kota dan negara lain. Tercatat ada demonstrasi serupa di 92 kota di 82 negara, seperti di Inggris, Jerman hingga Korea Selatan. Saat aksi berlangsung, simbol yang kian mengukuhkan keanoniman grup Anonymous, yakni topeng Guy Fawkes, menjadi semakin terkenal pula.

Topeng yang diambil dari film V for Vendetta (2005) ini sudah digunakan Anonymous sejak 2008. Namun setelah Occupy Wallstreet topeng itu semakin tersohor. Terlebih simbol itu cocok untuk menggambarkan ideologi yang diusung Anonymous. Begitu terkenal hingga muncul dugaan jika Warner Bross, pemilik lisensi topeng itu mendukung gerakan Occupy Wall Street

Selasa, 19 Maret 2013

SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA MENURUT UUD 45 & SISTEM PEMERINTAHAN INDONESIA PRESIDENSIAL ATAU CAMPURAN


Sistem Pemerintahan Indonesia

Berdasarkan Pembukaan UUD 1945 Alinea IV menyatakan bahwa kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu disusun dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat. Berdasarkan Pasal 1 Ayat 1 UUD 1945, Negara Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik. Berdasarkan hal itu dapat disimpulkan bahwa bentuk negara Indonesia adalah kesatuan, sedangkan bentuk pemerintahannya adalah republik.

Selain bentuk negara kesatuan dan bentuk pemerintahan republik, Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan sebagai kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Hal itu didasarkan pada Pasal 4 Ayat 1 yang berbunyi, “Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undanag-Undang Dasar.” Dengan demikian, sistem pemerintahan di Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial.

Tetapi dalam realitanya, menurut saya telah terjadi sedikit – sedikit pergeseran sistem pemerintahan di Indonesia. Hal itu tampak jelas pada sistem pemerintahan Indonesia sebelum diamandemen dan sesudah diamandemen.

  • Sistem Pemerintahan Negara Indonesia Berdasarkan UUD 1945 Sebelum Diamandemen.


Pokok-pokok sistem pemerintahan negara Indonesia berdasarkan UUD 1945 sebelum diamandemen tertuang dalam Penjelasan UUD 1945 tentang tujuh kunci pokok sistem pemerintahan negara tersebut sebagai berikut :
  • Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtsstaat).
  • Sistem Konstitusional.
  • Kekuasaan negara yang tertinggi di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat.
  • Presiden adalah penyelenggara pemerintah negara yang tertinggi dibawah Majelis Permusyawaratan Rakyat.
  • Presiden tidak bertanggung jawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
  • Menteri negara ialah pembantu presiden, menteri negara tidak bertanggungjawab kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
  • Kekuasaan kepala negara tidak tak terbatas.

Berdasarkan tujuh kunci pokok sistem pemerintahan, sistem pemerintahan Indonesia menurut UUD 1945 menganut sistem pemerintahan presidensial. Sistem pemerintahan ini dijalankan semasa pemerintahan Orde Baru di bawah kepemimpinan Presiden Suharto. Ciri dari sistem pemerintahan masa itu adalah adanya kekuasaan yang amat besar pada lembaga kepresidenan. Hampir semua kewenangan presiden yang di atur menurut UUD 1945 tersebut dilakukan tanpa melibatkan pertimbangan atau persetujuan DPR sebagai wakil rakyat. Karena itui tidak adanya pengawasan dan tanpa persetujuan DPR, maka kekuasaan presiden sangat besar dan cenderung dapat disalahgunakan. Mekipun adanya kelemahan, kekuasaan yang besar pada presiden juga ada dampak positifnya yaitu presiden dapat mengendalikan seluruh penyelenggaraan pemerintahan sehingga mampu menciptakan pemerintahan yang kompak dan solid. Sistem pemerintahan lebih stabil, tidak mudah jatuh atau berganti. Konflik dan pertentangan antarpejabat negara dapat dihindari. Namun, dalam praktik perjalanan sistem pemerintahan di Indonesia ternyata kekuasaan yang besar dalam diri presiden lebih banyak merugikan bangsa dan negara daripada keuntungan yang didapatkanya.

Tetapi memasuki masa Reformasi ini, bangsa Indonesia bertekad untuk menciptakan sistem pemerintahan yang demokratis. Untuk itu, perlu disusun pemerintahan yang konstitusional atau pemerintahan yang berdasarkan pada konstitusi. Pemerintah konstitusional bercirikan bahwa konstitusi negara itu berisi :
  • Adanya pembatasan kekuasaan pemerintahan atau eksekutif,
  • Jaminan atas hak asasi manusia dan hak-hak warga negara.
Berdasarkan hal itu, Reformasi yang harus dilakukan adalah melakukan perubahan atau amandemen atas UUD 1945. dengan mengamandemen UUD 1945 menjadi konstitusi yang bersifat konstitusional, diharapkan dapat terbentuk sistem pemerintahan yang lebih baik dari yang sebelumnya. Amandemen atas UUD 1945 telah dilakukan oleh MPR sebanyak empat kali, yaitu pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002. berdasarkan UUD 1945 yang telah diamandemen itulah menjadi pedoman bagi sistem pemerintahan Indonesia sekarang ini.


  • Sistem pemerintahan Negara Indonesia Berdasarkan UUD 1945 Setelah Diamandemen

Sekarang ini sistem pemerintahan di Indonesia masih dalam masa transisi. Sebelum diberlakukannya sistem pemerintahan baru berdasarkan UUD 1945 hasil amandemen keempat tahun 2002, sistem pemerintahan Indonesia masih mendasarkan pada UUD 1945 dengan beberapa perubahan seiring dengan adanya transisi menuju sistem pemerintahan yang baru. Sistem pemerintahan baru diharapkan berjalan mulai tahun 2004 setelah dilakukannya Pemilu 2004.

Pokok-pokok sistem pemerintahan Indonesia adalah sebagai berikut.

  • Bentuk negara kesatuan dengan prinsip otonomi daerah yang luas. Wilayah negara terbagi dalam beberapa provinsi.
  • Bentuk pemerintahan adalah republik, sedangkan sistem pemerintahan presidensial.
  • Presiden adalah kepala negara dan sekaligus kepala pemerintahan. Presiden dan wakil presiden dipilih dan diangkat oleh MPR untuk masa jabatan lima tahun. Untuk masa jabatan 2004-2009, presiden dan wakil presiden akan dipilih secara langsung oleh rakyat dalam satu paket.
  • Kabinet atau menteri diangkat oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.
  • Parlemen terdiri atas dua bagian (bikameral), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Para anggota dewan merupakan anggota MPR. DPR memiliki kekuasaan legislatif dan kekuasaan mengawasi jalannya pemerintahan.
  • Kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Makamah Agung dan badan peradilan dibawahnya.
  • Sistem pemerintahan ini juga mengambil unsure-unsur dari sistem pemerintahan parlementer dan melakukan pembaharuan untuk menghilangkan kelemahan-kelemahan yang ada dalam sistem presidensial. Beberapa variasi dari sistem pemerintahan presidensial di Indonesia adalah sebagai berikut.
  • Presiden sewaktu-waktu dapat diberhentikan oleh MPR atas usul dari DPR. Jadi, DPR tetap memiliki kekuasaan megawasi presiden meskipun secara tidak langsung.
  • Presiden dalam mengangkat penjabat negara perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR.
  • Presiden dalam mengeluarkan kebijakan tertentu perlu pertimbangan atau persetujuan dari DPR.
  • Parlemen diberi kekuasaan yang lebih besar dalam hal membentuk undang-undang dan hak budget (anggaran)

Dengan demikian, ada perubahan-perubahan baru dalam sistem pemerintahan Indonesia. Hal itu diperuntukan dalam memperbaiki sistem presidensial yang lama. Perubahan baru tersebut, antara lain adanya pemilihan secara langsung, sistem bikameral, mekanisme cheks and balance, dan pemberian kekuasaan yang lebih besar kepada parlemen untuk melakukan pengawasan dan fungsi anggaran. Sehingga dapat disimpulkan, Menurut UUD 1945. Bahwa sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan atau separation of power (Trias Politica) murni sebagaimana yang diajarkan Montesquieu, akan tetapi menganut sistem pembagian kekuasaan (distribution of power)




Berikut ini adalah Hal-hal yang mendukung argumentasi tersebut, karena Undang-Undang Dasar 1945 :

  1. Tidak membatasi secara tajam, bahwa tiap kekuasaan itu harus dilakukan oleh suatu organisasi/badan tertentu yang tidak boleh saling campur tangan.
  1. Tidak membatasi kekuasaan itu dibagi atas 3 bagian saja dan juga tidak membatasi kekuasaan dilakukan oleh 3 organ saja
  1. Tidak membagi habis kekuasaan rakyat yang dilakukan MPR, pasal 1 ayat 2, kepada lembaga-lembaga negara lainnya.




Tinjauan Apakah Benar PTUN sebagai Tameng Koruptor

  1. Apakah benar PTUN dikatakan sebagai tempat berlindung Koruptor ?

Peradilan Tata Usaha Negara sebenarnya adalah sebuah ruang lingkup peradilan yang merupakan sarana / media / wadah apabila terjadi konflik atau sengketa antara Pejabat / Badan Hukum Negara dengan Rakyat. Sengketa yang dimaksud dalam Peradilan Tata Usaha Negara ini adalah sengketa akibat dikeluarkannya ketetapan (beschiking) oleh Pejabat/ Badan Hukum Negara, dimana kebijakan atau ketetapan itu bertentangan dengan Undang – Undang yang lainnya, dan bertentangan dengan kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Sehingga dalam hal ini PTUN mempunyai peranan penting untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih (bersih dari tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme ) dan untuk menciptakan pemerintahan yang berwibawa ( Clean and Strong Government ) . Sehingga dalam hal ini juga terwujud sebuah Perlindungan hukum preventif, dimana rakyat diberikan kesempatan untuk mengajukan keberatan (inspraak) atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat bentuk yang defenitif, yang artinya perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, ataupun sebaliknya perlindungan hukum yang represif bertujuan untuk menyelesaikan sengketa. Dan Perlindungan hukum yang preventif sangat besar artinya bagi tindakan pemerintah yang didasarkan kepada kebebasan bertindak, karena dengan adanya perlindungan hukum yang preventif pemerintah terdorong untuk bersikap hati-hati dalam mengambil keputusan yang didasarkan pada dekresi.

Oleh Karena dengan adanya Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) inilah yang bertujuan untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih, masih perlu dipertanyakan. Sebab dalam kenyataannya di Indonesia sendiri masih merupakan Negara dengan rangking teratas dalam Hal Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Sehingga perbandingan antara kenyataan normatif dengan kenyataan yang terjadi, tentang fungsi PTUN ini sangat berbeda. Dan masih banyak juga wujud Eksistensi PTUN yang harus dipertanyakan, terutama Eksistensi PTUN tehadap Eksekusi Putusan PTUN. Kita sering mengetahui, Eksekusi Putusan PTUN seringkali tertunda karena adanya upaya banding, kasasi, atau peninjauan kembali (PK) sehingga memaksa majelis hakim menunda eksekusi, kalau eksekusi tidak dapat dilaksanakan, maka PTUN berwenang untuk melaporkan kepada atasan yang bersangkutan yang puncaknya dilaporkan kepada Presiden, itupun harus melalui kompromi politik yang kadang kala bertentangan dengan nurani hukum. Maka oleh karena itulah tak khayal apabila masih saja memunculkan pesimisme dan apatisme publik tehadap penyelesaian sengketa dalam ruang lingkup Peradilan Tata Usaha Negara.
Munculnya sikap pesimisme dan apatisme publik terhadap penyelesaian sengketa PTUN inilah, yang juga turut serta memunculkan pendapat bahwa sebenarnya PTUN juga adalah tempat bagi berlindungnya para Koruptor dari jeratan tindak pidana korupsi. Bagaimana tidak pendapat seperti ini muncul dikalangan masyarakat umum, sebab banyak contoh kasus mengenai pejabat – pejabat yang terjerat kasus tindak pidana korupsi tetapi pada kenyataannya secara administrasi malah pejabat itu diangkat oleh Negara untuk menduduki jabatan, sehingga dalam hal ini seolah – olah Negara tidak menghiraukan permasalahan hukum atas keputusan yang telah dibuat atas pengangkatan/penetapan jabatan penjabat yang bermasalah. Seperti halnya pada kasus yang hangat – hangat saat ini, ketika Junaidi Hamsyah diangkat menjadi Gubernur melalui Kepres No. 40 P. Padahal pada kenyataannya Gubernur Bengkulu Agusrin M. Najamuddin sedang terjerat kasus Tindak Pidana Korupsi, dimana saat ini Kasusnya tersebut masih dalam Tingkat Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Sehingga dalam hal ini disimpulkan bahwa Kepres mengenai Pengangkatan Gubernur Bengkulu Junaidi Hamsyah adalah Putusan Yang Inkonstitunial. Sehingga wajar apabila terjadi Constitunial Complaint oleh masyarakat melalui Peradilan Tata Usaha Negara atas kasus tersebut, dan wajar pula apabila sebagian besar masyarakat menilai bahwa PTUN adalah tempat berlindungnya para Koruptor. Sebab dalam penyelasaian sengketa PTUN, eksistensi mengenai pelaksanaa eksekusi atau putusan kurang memihak kepada Publik sebagai penggugat. Apalagi Gubernur nonaktif Bengkulu seolah – olah menggunakan PTUN untuk mengamankan kedudukannya sebagai gubernur sebelum adanya Putusan atas kasus tindak pidana korupsi yang ia alami.

  1. Bagaimana Nasib Gugatan PK yang diajukan ke MA oleh Gubernur Bengkulu dan Nasib Kepres No 40/P dan 48/P Tahun 2012, setelah adanya Gugatan PTUN oleh Yusril Ihza Mahendra ?

Pada kasus Gugatan Gubernur Bengkulu nonaktif Agusrin M. Najamuddin atas adanya Kepres No 40/P dan 48/P Tahun 2012 yang memasuki pokok perkara pengujian materi di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Dimana dalam sengketa kasus tersebut Tim Kuasa Hukum Yusril Ihza Mahendra sebagai penggugat, atas adanya Kepres No. 40/P Tahun 2012 mengenai pengangkatan Gubernur Bengkulu yang terjerat kasus TIPIKOR dan persoalan putusan sela yang menunda pelaksanaan Kepres 48/P Tahun 2012 tentang pengangkatan Junaidi Hamsyah menjadi Gubernur Bengkulu defenitif. Sehingga dalam hal ini Proses PK yang masih diajukan oleh Gubernur Bengkulu (yang diNon aktif) atas kasus TIPIKORnya ke MA. Setidaknya menjadi alasan kenapa adanya gugatan mengenai kedua Kepres tersebut.

Peninjauan Kembali atau PK memiliki kekuatan Hukum sebagaimana diatur dalam Undang – undang. PK merupakan sebuah upaya banding Luar biasa atas sebuah putusan hukum yang sudah Ikrah, Hal ini ada setelah adanya putusan dari pengadilan dan Permohonan peninjauan Kembali terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap merupakan wewenang eklusif Mahkamah Agung. Sehingga dalam hal ini apabila seorang gubernur yang telah di non aktifkan Agusrin M. Najamuddin atas kasus TIPIKOR yang masih belum diputuskan oleh MA. Maka secara administratif dalam formalnya kedudukan sebagai Gubernur masih dimilikinya sebelum adanya Putusan hokum yang berkekuatan tetap menyatakan dirinya bersalah. Oleh karena hal itulah Munculah Kepres mengenai putusan sela atas pengangkatan Junaidi Hamsyah menjadi Gubernur Bengkulu.

Sehingga dalam hal ini seharusnya, untuk mengangkat seorang gubernur yang baru harus menunggu adanya putusan Mahkamah Agung yang berkekuatan hokum tetap mengenai kasus TIPIKOR yang diduga dilakukan oleh Gubernur Bengkulu nonaktif Agusrin M. Najamuddin. Sehingga secara tidak langsung, adanya Kepres No 40/P dan 48/P Tahun 2012 mengenai pengangkatan Gubernur Bengkulu secara defintif dibenarkan secara ruang lingkup Peradilan Tata Usaha Negara. Sehingga putusan yang dikeluarkan oleh Presiden itu tidak Inskonstitunal.




Pengadaan Tanah sesuai dengan HUKUM AGRARIA

Pengertian Pengadaan Tanah
Pengadaan tanah adalah setiap kegiatan untuk mendapatkan tanah dengan cara memberikan ganti rugi kepada yang melepaskan atau menyerahkan tanah, bangunan, tanaman, dan benda- benda yang yang berkaitan dengan tanah.
Latar Belakang pengadaan tanah adalah meningkatnya pembangunan untuk kepentingan umum yangg memerlukan tanah sehingga pengadaannya perlu dilakukan secara cepat dan transparan dengan tetap memperhatikan prinsip penghormatan terhadap hak-hak yang sah atas tanah. Pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan yang diatur dalam Keppres No: 55 tahun 1993 sudah tidak sesuai lagi sebagai landasan hukum dalam melaksanakan pembangunan untuk kepentingan umum. Adapun persyaratan pengadaan tanah antara lain:

  • Hanya dapat dilakukan apabila berdasarkan rencana tata ruang wilayah yang ditetapkan terlebih dahulu.
  • Apabila belum ditetapkan rencana tata ruang wilayah, didasarkan pada rencana ruang wilayah atau kota yang telah ada.
  • Apabila tanah telah ditetapkan sebagai lokasi pelaksanaan pembangunan berdasarkan surat keputusan penetapan lokasi yang ditetapkan Gubernur/ Walikota / Bupati, maka bagi siapa saja yang akan melakukan pembelian tanah, terlebih dahulu harus memperoleh persetujuan tertulis dari Bupati/ Wali kota atau Gubernur sesuai dengan kewenangannya.

Definisi pengadaan tanah menurut Pasal 1 angka 2, adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak. Kata "layak dan adil" dalam definisi tersebut mencerminkan adanya paradigma baru yang menjamin dan menghormati yang berhak. Kata "pihak yang berhak" juga menjawab berbagai persoalan terhadap pelepasan tanah yang diatasnya terdapat bangunan, tanaman dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah tersebut namun belum tentu merupakan hak dari pemilik tanah, bisa saja milik penyewanya, penggunanya, pengolahnya, pengelolanya dan sebagainya. Aturan ini belum ditemukan pada Keppres No. 55 Tahun 1993 dan Perpres No.36 Tahun 2005.

Pasal 1 angka 3, menyebutkan bahwa pihak yang Berhak adalah pihak yang menguasai atau memiliki objek pengadaan tanah. Jadi yang menguasai obyek pengadaan tanah belum tentu sekaligus sebagai memiliki obyek pengadaan tanah telah masuk dalam definisi pihak yang Berhak. Pasal 1 angka 4, menyebutkan objek pengadaan tanah adalah tanah, ruang atas tanah dan bawah tanah, bangunan, tanaman, benda yang berkaitan dengan tanah, atau lainnya yang dapat dinilai. Dari 2 definisi ini dapat diharapkan adanya pemberian ganti rugi yang adil kepada pihak-pihak yang berhak atas pemberian ganti kerugian yang seringkali memicu potensi konflik.

Definisi kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, negara, dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Pada draft naskah akademik RUU ini definisi kepentingan umum belum termuat. Pada Perpres No. 36 Tahun 2005 pengertian kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar lapisan masyarakat. Definisi kepentingan umum dalam RUU yang disahkan tersebut ternyata lebih memiliki kejelasan dengan menekankan adanya kepentingan bangsa, negara dan masyarakat yang harus diwujudkan oleh pemerintah.

Diperkenalkannya instrumen konsultasi publik dalam proses pengadaan tanah untuk kepentingan umum, sebagaimana dimuat dalam Pasal 1 angka 8 yang menyebutkan bahwa konsultasi publik adalah proses komunikasi dialogis atau musyawarah antarpihak yang berkepentingan guna mencapai kesepahaman dan kesepakatan dalam perencanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan. Dengan konsultasi publik ini instansi yang memerlukan tanah menjelaskan antara lain mengenai rencana pembangunan dan cara perhitungan ganti kerugian yang akan dilakukan oleh penilai pertanahan.

Pencantuman asas pengadaan tanah untuk kepentingan umum, yang meliputi 10 asas yaitu :

    1. Asas Kemanusiaan, adalah pengadaan tanah harus memberikan perlindungan serta menghormati terhadap hak asasi manusia, harkat, dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proporsional.
    2. Asas Keadilan, adalah memberikan jaminan penggantian yang layak kepada Pihak yang Berhak dalam proses pengadaan tanah sehingga mendapatkan kesempatan untuk dapat melangsungkan kehidupan yang lebih baik.
    3. Asas Kemanfaatan, adalah hasil pengadaan tanah mampu memberikan manfaat secara luas bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan Negara.
    4. Asas Kepastian, adalah memberikan kepastian hukum tersedianya tanah dalam proses pengadaan tanah untuk pembangunan dan memberikan jaminan kepada Pihak yang Berhak untuk mendapatkan ganti kerugian yang layak.
    5. Asas Keterbukaan, adalah bahwa pengadaan tanah untuk pembangunan dilaksanakan dengan memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan pengadaan tanah.
    6. Asas Kesepakatan, adalah bahwa proses pengadaan tanah dilakukan dengan cara musyawarah para pihak tanpa unsur paksaan untuk mendapatkan kesepakatan bersama.
    7. Asas Keikutsertaan, adalah dukungan dalam penyelenggaraan pengadaan tanah melalui partisipasi masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung sejak perencanaan sampai dengan pembangunan.
    8. Asas Kesejahteraan,adalah bahwa pengadaan tanah untuk pembangunan dapat memberikan nilai tambah bagi kelangsungan kehidupan pihak yang berhak dan masyarakat secara luas.
    9. Asas Keberlanjutan, adalah kegiatan pembangunan dapat berlangsung secara terus menerus, berkesinambungan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
    10. Asas Keselarasan, adalah bahwa pengadaan tanah untuk pembangunan dapat seimbang dan sejalan dengan kepentingan masyarakat dan Negara.

Asas kemanusiaan pada draft RUU naskah akademik sebelumnya belum termuat. Dimuatnya tambahan asas kemanusiaan dan ditempatkan paling awal telah menegaskan adanya prinsip kemanusiaan yang harus dipatuhi dalam setiap pengadaan tanah untuk kepentingan umum, selain mematuhi 9 asas lainnya. Secara mudah argumentasinya dapat dijelaskan bahwa meski pengadaan tanah untuk kepentingan umum bersifat wajib/keharusan bagi pemerintah untuk mewujudkannya, namun harus tetap memperhatikan sisi kemanusiaan bagi yang berhak.
Adanya penegasan tujuan dari pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang dimuat Pasal 3, yaitu bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara, dan masyarakat dengan tetap menjamin kepentingan hukum Pihak yang Berhak.
Cakupan pengadaan tanah yang digunakan untuk kepentingan umum dalam pembangunan telah dipertegas dalam Pasal 10 dengan jumlah 18 item. Dilihat dari materinya merupakan penegasan dan penyempurnaan cakupan dari Pasal 5 Perpres 63 Tahun 2005 yang memiliki 21 item, dan perpres 65 tahun 2006 dengan 7 item. Ke 18 item cakupan pengadaan tanah untuk kepentingan umum tersebut adalah meliputi :

    1. Pertahanan dan keamanan nasional;
    2. Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasiun kereta api, dan fasilitas operasi kereta api;
    3. Waduk, bendungan, bending, irigasi, saluran air minum, seluran pembuangan air dan sanitasi, bangunan pengairan lainnya;
    4. Pelabuhan, Bandar udara, dan terminal;
    5. Infrastruktur minyak, gas dan panas bumi, meliputi transmisi dan/atau distribusi minyak, gas dan panas bumi;
    6. Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan, dan distribusi tenaga listrik;
    7. Jaringan telekomunikasi and informatika;
    8. Tempat pembuangan dan pengolahan sampah;
    1. Rumah sakit pemerintah/pemerintah daerah;
    2. Fasilitas keselamatan umum
    3. Tempat pemakaman umum pemerintah/pemerintah daerah;
    4. Fasilitas keselamatan umum;
    5. Fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;
    6. Cagar alam dan cagar budaya;
    7. Kantor pemerintah/pemerintah daerah/desa;
    8. Penataan pemukiman kumuh perkotaan dan/atau konsolidasi tanah, serta perumahan untuk masyarakat berpenghasilan rendah dengan status sewa;
    9. Prasarana pendidikan atau sekolah pemerintah/pemerintah daerah;
    10. Prasarana olah raga Pemerintah/Pemerintah Daerah; dan
    11. Pasar umum dan lapangan parkir umum.
Pasal 11 mengatur bahwa pengadaan tanah untuk kepentingan umum wajib diselenggarakan oleh pemerintah dan tanahnya selanjutnya dimiliki Pemerintah atau Pemerintah Daerah. Jika yang memerlukan BUMN maka tanah untuk kepentingan umum menjadi milik BUMN.
Pasal 12 mengatur bahwa pembangunan untuk kepentingan umum wajib diselenggarakan Pemerintah, dan dapat bekerjasama dengan BUMN, BUMD, atau Badan Usaha Swasta. Dalam hal pembangunan pertahanan dan keamanan nasional maka pembangunannya diselenggarakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Tahapan pengadaan tanah untuk kepentingan umum diselenggarakan melalui : a. perencanaan; b. persiapan, c. pelaksanaan; dan d. penyerahan hasil, yang rincian pengaturannya dibahas dalam pasal-pasal selanjutnya.
Penilaian besarnya ganti kerugian oleh Penilai dilakukan per bidang tanah, meliputi : a. tanah; b. ruang atas tanah dan bawah tanah; c. bangunan; d. tanaman; e. benda yang berkaitan dengan tanah; dan/atau f. kerugian lain yang dapat dinilai. Dalam bagian penjelasan diterangkan bahwa yang dimaksud "Kerugian lain yang dapat dinilai" adalah kerugian nonfisik yang dapat disetarakan dengan niai uang, misalnya kerugian karena kehilangan usaha atau pekerjaan, baiaya pemindahan tempat, biaya alih profesi, dan nilai atas properti sisa.
Dalam hal bidang tanah tertentu yang terkena pengadaan tanah terdapat sisa yang tidak lagi dapat difungsikan sesuai peruntukan dan penggunaannya, Pihak yang berhak dapat meminta penggantian secara utuh atas bidang tanahnya.
Perencanaan pengadaan tanah untuk kepentingan umum disusun dalam bentuk dokumen perencanaan pengadaan tanah, yang paling sedikit memuat :

    1. maksud dan tujuan rencana pembangunan;
    2. kesesuaian dengan rencana tata ruang wilayah dan rencana pembangunan nasional dan daerah;
    3. letak tanah;
    4. luas tanah yang dibutuhkan;
    5. gambaran umum status tanah;
    6. perkiraan waktu pelaksanaan pengadaan tanah;
    7. perkiraan jangka waktu pelaksanaan pembangunan;
    8. perkiraan nilai tanah; dan
    9. rencana penganggaran.
Dokumen perencanaan ini disusun berdasar studi kelayakan yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan, dan ditetapkan oleh instansi yang memerlukan tanah.

 
  • DASAR HUKUM DALAM PENGADAAN TANAH


DASAR HUKUM
Pengadaan tanah untuk kepentingan umum sejak tahun 1961 sampai dengan sekarang telah berlaku Undang-undang No. 20 Tahun 1961, kemudian dilanjutkan dengan kebijakan pemerintah melalui PMDN (Penanaman Modal Dalam Negeri) No. 15 Tahun 1975, kemudian dicabut dan diganti dengan Keppres No. 55 Tahun 1993 tentang Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum. Namun dengan berlakunya ketentuan tersebut dalam proses pelaksanaannya tetap menimbulkan konflik dalam masyarakat. Untuk itu perlu dikaji ulang keberadaan dari Keppres No. 55 Tahun 1993 dan dikaitkan pula dengan Undang-undang No. 22 Tahun 1999,

tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang No. 25 Tahun 1999, tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Pengadaan tanah kemudian diatur dengan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 yang kemudian dirubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006. Sampai dengan saat ini Indonesia belum memiliki Undang-Undang yang mengatur secara khusus tentang Pengadaan Tanah. Ditingkat Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), pengadaan tanah diatur dalam Peraturan Kepala BPN Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksana Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.

 
  • BENTUK - BENTUK PENGADAAN TANAH

BENTUK-BENTUK PENGADAAN TANAH MENURUT HUKUM AGRARIA INDONESIA
Pada prinsipnya Hukum Agraria Indonesia mengenal 2 (dua) bentuk pengadaan
tanah yaitu :
1. Dilaksanakan dengan cara pelepasan atau penyerahan hak atas tanah (pembebasan hak atas tanah) ;
2. Dilaksanakan dengan cara pencabutan hak atas tanah.
Perbedaan yang menonjol antara pencabutan hak atas tanah dengan pembebasan tanah ialah, jika dalam pencabutan hak atas tanah dilakukan dengan cara paksa, maka dalam pembebasan tanah dilakukan dengan berdasar pada asas musyawarah. Sebelumnya oleh Perpres No 36 Tahun 2005 ditentukan secara tegas bahwa bentuk pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan hak atas tanah dan dengan cara pencabutan hak atas tanah. Namun dengan dikeluarkannya Perpres No 65 Tahun 2006, hanya ditegaskan bahwa pengadaan tanah dilakukan dengan cara pembebasan. Tidak dicantumkannya secara tegas cara pencabutan hak atas tanah di dalam Perpres No. 65/2006 bukan berarti menghilangkan secara mutlak cara pencabutan tersebut, melainkan untuk memberikan kesan bahwa cara pencabutan adalah cara paling terakhir yang dapat ditempuh apabila jalur musyawarah gagal . Hal ini ditafsirkan secara imperatif dimana jalur pembebasan tanah harus ditempuh terlebih dahulu sebelum mengambil jalur pencabutan hak atas tanah.
Jika pada Perpres No. 36 Tahun 2005 terdapat kesan alternatif antara cara pembebasan dan pencabutan, maka pada Perpres No.65 Tahun 2006 antara cara pembebasan dan pencabutan sifatnya prioritas-baku. Ini agar pemerintah tidak sewenang - wenang dan tidak dengan mudah saja dalam mengambil tindakan dalam kaitannya dengan pengadaan tanah. Artinya ditinjau dari segi Hak Asasi Manusia (HAM), Perpres No 65 Tahun 2006 dinilai lebih manusiawi jika dibandingkan peraturan-peraturan sebelumnya. Selain bersifat lebih manusiawi, Perpres No 65 Tahun 2006 juga memberikan suatu terobosan kecil yaitu dengan dicantumkannya pasal 18A. Pasal 18A menentukan apabila yang berhak atas tanah atau benda-benda yang ada di atasnya yang haknya dicabut tidak bersedia menerima ganti rugi sebagaimana ditetapkan, karena dianggap jumlahnya kurang layak, maka yang bersangkutan dapat meminta banding kepada Pengadilan Tinggi agar menetapkan ganti rugi sesuai Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang Ada di Atasnya dan Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun 1973 tentang Acara Penetapan Ganti Kerugian oleh Pengadilan Tinggi Sehubungan dengan Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-Benda yang ada di Atasnya. Ketentuan Pasal 18 A ini mempertegas ketentuan Pasal 8 UU No. 20 Tahun 1961. Meskipun pengaduan ini sudah ditentukan sebelumnya oleh UU No. 20/1961 namun kurang memberikan kepastian hukum karena Perpres-Perpres yang ada hanya menegaskan pengajuan keberatan kepada Bupati/Walikota, Gubernur, atau Menteri Dalam Negeri. Sehingga dianggap dapat memberikan ruang untuk meminimalisir kesewenang-wenangan birokrasi eksekutif yang notabene adalah pihak yang paling berkepentingan dalam urusan ini.

PRINSIP DASAR PENGATURAN PENGADAAN TANAH
Prinsip dasar pengaturan pengadaan tanah yang diatur dalam Perpres No 36 Tahun 2005 Jo. Perpres No 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007 yaitu :
  1. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum, dipastikan tersedia tanahnya. Bahwa dalam rangka terpastikan untuk kepentingan umum tersedianya tanah, maka Perpres No 36 Tahun 2005 Jo. Perpres No 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007 mengatur
  1. Kepastian Lokasi (Pasal 39 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);
  2. Adanya penitipan ganti rugi ke pengadilan (Pasal 37 dan 48 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);
  3. Penerapan UU Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak Atas Tanah dengan Pemberian Ganti Rugi (Pasal 41 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007).
  1. Hak-hak dasar masyarakat atas tanah terlindungi. Dalam rangka memperhatikan hak-hak masyarakat terlindungi, Perpres No 36 Tahun 2005 Jo. Perpres No 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007, mengatur :
    1. Sosialiasi lokasi (Pasal 8 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);
    2. Adanya penyuluhan tentang manfaat, maksud dan tujuan pembangunan kepada masyarakat (Pasal 19 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);
    3. Pengumuman hasil inventarisasi tanah, bangunan, tanaman, dan benda lain yang berkaitan dengan tanah guna memberi kesempatan kepada pihak yang berkepentingan untuk mengajukan keberatan (Pasal 23 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);
    4. Penilaian harga tanah dilakukan oleh Lembaga Penilai Harga yang professional dan independen (Pasal 27 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007);
    5. Musyawarah penetapan ganti rugi dilakukan secara langsung antara Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah dengan pemilik tanah (Pasal 31 dan 32 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007), sedangkan Panitia Pengadaan Tanah hanya sebagai fasilitator dalam pelaksanaan musyawarah tersebut ;
    6. Adanya hak mengajukan keberatan terhadap bentuk dan besarnya ganti rugi yang ditetapkan oleh Panitia Pengadaan Tanah kepada Bupati/Walikota, Gubernur atau Menteri Dalam Negeri (Pasal 41 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007).
  1. Menutup peluang lahirnya spekulasi tanah.
Dalam rangka menutup peluang terjadinya spekulasi tanah Perpres No 36 Tahun 2005 Jo. Perpres No 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007, mengatur sebagai berikut :
Jika lokasi tanah telah ditetapkan sebagai lokasi pembangunan untuk kepentingan umum, maka pihak ketiga yang bermaksud untuk memperoleh tanah dilokasi tersebut wajib memperoleh izin tertulis dari Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah DKI Jakarta (Pasal 9 Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007)


  • TATA CARA PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN

TATA CARA PENGADAAN TANAH BAGI PELAKSANAAN PEMBANGUNAN
1. Persiapan
Instansi pemerintah yang memerlukan tanah mengajukan permohonan penetapan lokasi kepada Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah DKI Jakarta dengan tembusan disampaikan kepada Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota. Permohonan penetapan lokasi diatur sebagai berikut :
      • Untuk lokasi yang terletak di 2 (dua) Kabupaten/Kota atau lebih dalam 1 (satu) provinsi diajukan kepada Gubernur.
      • Untuk lokasi yang terletak di 2 (dua) provinsi atau lebih diajukan kepada Kepala BPN-RI.
2. Pelaksanaan
a. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya lebih dari 1 (satu) hektar.
Khusus pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya lebih dari 1 (satu) hektar berdasarkan Perpres Nomor 36 Tahun 2005 sebagaimana telah diubah dengan Perpres Nomor 65 Tahun 2006, dibentuk Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota dengan Keputusan Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah DKI Jakarta.
Keanggotaan Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota terdiri dari paling banyak 9
(Sembilan) orang dengan susunan sebagai berikut :
  1. Sekretaris Daerah sebagai Ketua merangkap Anggota;
  2. Pejabat dari unsur perangkat daerah setingkat eselon II sebagai Wakil Ketua merangkap Anggota;
  1. Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota atau pejabat yang ditunjuk sebagai Sekretaris merangkap Anggota; dan
  2. Kepala Dinas/Kantor/Badan di Kabupaten/Kota yang terkait dengan pelaksanaan pengadaan tanah atau pejabat yang ditunjuk sebagai anggota.

Tugas Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota adalah :
  1. Penyuluhan kepada masyarakat;
  2. Inventarisasi bidang tanah dan/atau bangunan dan/atau tanaman;
  3. Penelitian status hak tanah;
  4. Pengumuman hasil inventarisasi;
  5. Menerima hasil penilaian harga tanah dari Lembaga atau Tim Penilai Harga Tanah;
  6. Memfasilitasi pelaksanaan musyawarah antara Pemilik dengan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah;
  7. Penetapan besarnya ganti rugi atas dasar kesepakatan harga yang telah dicapai antara pemilik dengan instansi Pemerintah yang memerlukan tanah;
  8. Menyaksikan penyerahan ganti rugi;
  9. Membuat berita acara pelepasan atau penyerahan hak;
  10. Mengadministrasikan dan mendokumentasikan berkas pengadaan tanah;
  11. Menyampaikan permasalahan disertai pertimbangan penyelesaian pengadaan tanah kepada Bupati/Walikota atau Gubernur untuk wilayah DKI Jakarta apabila musyawarah tidak tercapai kesepakatan untuk pengambilan keputusan.

Panitia Pengadaan Tanah dalam melaksanakan tugasnya diberikan sejumlah dana yang disebut sebagai biaya operasional dalam rangka membantu pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Biaya Panitia Pengadaan Tanah tersebut diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 58/PMK.02/2008 tanggal 23 April 2008 tentang Biaya Panitia Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Biaya operasional tersebut digunakan untuk pembayaran honorarium, pengadaan bahan, alat tulis kantor, cetak/stensil, fotocopy/penggandaan, penunjang musyawarah, sosialisasi, sidang-sidang yang berkaitan dengan proses pengadaan tanah, satuan tugas (satgas), biaya keamanan, dan biaya perjalanan dalam rangka pengadaan tanah.

b. Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum yang Luasnya tidak Lebih dari 1 (Satu) Hektar dan Pengadaan Tanah Selain untuk Kepentingan Umum.
Pengadaan tanah selain bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum adalah pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan Instansi Pemerintah, yang dimiliki oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Khusus untuk pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya tidak lebih dari 1 (satu) hektar dan pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum :
      • Dilaksanakan secara langsung oleh instansi pemerintah yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah melalui proses jual beli, tukar menukar, atau cara lain yang disepakati para pihak.10
      • Dapat juga menggunakan bantuan Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota dengan mempergunakan tata cara pengadaan tanah yang sama dengan tata cara pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang luasnya lebih dari 1 (satu) hektar.
      • Bentuk dan besarnya ganti rugi ditentukan dari kesepakatan dalam musyawarah antara Instansi Pemerintah dengan pemegang hak atas tanah (Pemilik tanah).
      • Dasar perhitungan besarnya ganti rugi didasarkan atas :
  1. Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan Nilai Jual Obyek Pajak tahun berjalan berdasarkan penilaian Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah yang ditunjuk oleh panitia;
  2. nilai jual bangunan yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang bangunan;
  3. nilai jual tanaman yang ditaksir oleh perangkat daerah yang bertanggung jawab di bidang pertanian.

  • PENILAIAN TANAH DALAM PROSES PENGADAAN TANAH

PENILAIAN
Penilaian harga tanah yang terkena pembangunan untuk kepentingan umum dilakukan oleh Lembaga Penilai Harga Tanah/Tim Penilai Harga Tanah. Lembaga Penilai Harga Tanah saat ini dipercayakan kepada Lembaga Penilai Independen yaitu Lembaga Appraisal yang mendapat lisensi dari Menteri Keuangan dan BPN. Sedangkan untuk harga bangunan dan/atau tanaman dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah dilakukan oleh Kepala Dinas/Kantor/Badan di Kabupaten/Kota yang membidangi bangunan dan/atau benda lain yang berkaitan dengan tanah tersebut.

Tim Penilai Harga Tanah melakukan penilaian harga tanah berdasarkan NJOP atau nilai nyata/sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan, dan dapat berpedoman pada variable-variabel sebagai berikut :
    1. Lokasi dan letak tanah;
    2. Status tanah;
    3. Peruntukan tanah;
    4. Kesesuaian penggunaan tanah dengan rencana tata ruang wilayah atau perencanaan wilayah atau tata kota yang telah ada;
    5. Sarana dan prasarana yang tersedia; dan
    6. Faktor lainnya yang mempengaruhi harga tanah.

  • GANTI KERUGIAN DALAM PROSES PENGADAAN TANAH


GANTI KERUGIAN
Permasalahan pokok dalam pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum adalah mengenai penetapan besarnya ganti rugi. Ketentuan mengenai pemberian ganti rugi ini telah diatur dalam ketentuan hukum tanah di Negara kita. UUPA mengatur bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan Negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak-hak atas tanah dapat dicabut, dengan member ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang-undang.
Ganti rugi yang layak didasarkan atas nilai nyata/sebenarnya dari tanah atau benda yang bersangkutan.13 Pola penetapan ganti rugi atas tanah dinegara kita ditetapkan melalui musyawarah dengan memperhatikan harga umum setempat disamping faktor-faktor lain yang mempengaruhi tanah. Ganti kerugian yang diberikan dapat berupa :
    1. Uang;
    2. Tanah pengganti;
    3. Pemukiman kembali;
    4. Gabungan dari dua atau lebih ganti kerugian a, b, dan c;
    5. Bentuk lain yang disetujui para pihak.
Sedangkan Perpres No 36 Tahun 2005 Jo. Perpres No 65 Tahun 2006 dan Peraturan Kepala BPN-RI Nomor 3 Tahun 2007 menyebutkan makna ganti rugi adalah penggantian terhadap kerugian baik bersifat fisik sebagai akibat pengadaan tanah kepada yang mempunyai tanah, bangunan, tanaman, dan/atau benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah yang dapat memberikan kelangsungan hidup yang lebih baik dari tingkat kehidupan sosial ekonomi sebelum terkena pengadaan tanah. Penentuan besarnya ganti rugi didasarkan pada hasil kesepakatan pemilik tanah dengan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah. Hasil kesepakatan tersebut kemudian oleh Panitia Pengadaan Tanah sesuai dengan tugasnya dituangkan dalam Berita Acara Hasil Musyawarah, dan selanjutnya menerbitkan Surat Keputusan Penetapan Besarnya Ganti Rugi. Musyawarah antara pemilik tanah dengan Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah tersebut berpedoman pada penilaian harga tanah yang dilakukan oleh Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah. Ganti kerugian menurut Hukum Tanah Nasional ditetapkan menurut nilai pengganti (replacement value) yang berarti bahwa ganti rugi yang diterima dapat dimanfaatkan untuk memperoleh penggantian terhadap tanah dan/atau bangunan dan/atau tanaman semula dalam kualitas yang minimal setara dengan yang sebelum terkena pengadaan tanah.

Sesuai dengan Konsepsi Hukum Tanah Nasional yaitu adanya keseimbangan antara kepentingan umum dan kepentingan perseorangan maka prinsip pengadaan tanah adalah mewujudkan pengadaan tanah yang memenuhi rasa keadilan, baik bagi masyarakat yang terkena pengadaan tanah dengan diberi ganti kerugian yang dapat menjamin kelangsungan hidupnya dan bagi Instansi Pemerintah yang memerlukan tanah untuk dapat memperoleh tanah serta perlindungan maupun kepastian hukum. Guna mewujudkan hal tersebut di atas maka pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum dengan cara pembebasan hak-hak atas tanah masyarakat haruslah diatur dalam suatu undang-undang, yang mencerminkan pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia khususnya hak-hak keperdataan dan hak-hak ekonomi yang dimilikinya. Hal tersebut sampai saat ini belum juga dapat diwujudkan di negara kita. Sampai saat ini Negara kita belum juga memiliki Undang-Undang yang mengatur secara khusus tentang Pengadaan Tanah, melainkan diatur dengan Peraturan Presiden. Namun, dengan dikeluarkannya Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tersebut, dinilai telah sedikit memberikan kepastian hukum dan aturan-aturan pengadaan tanah yang lebih demokratis, serta sedikit menutup ruang bagi aparat pemerintah untuk bertindak secara sewenang-wenang.






BAB III
PENUTUP


  • KESIMPULAN

Demikian hasil penyajian gambaran kondisi aktual tentang pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang mengalami perbaikan dari waktu ke waktu, dan semuanya itu bertujuan untuk memberikan rasa keadilan dan demokratis bagi rakyat maupun pemerintah yang membutuhkan tanah untuk pembangunan sehingga menghasilkan win-win solution, memperkecil potensi konflik dan permasalahan kerawanan yang terjadi dalam pengadaan tanah.

Selama ini praktek pengadaan tanah untuk kepentingan umum semenjak tidak berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-Hak Atas Tanah dan Benda-benda yang Ada di Atasnya, masih didasarkan pada Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum, dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 Tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 Tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006.

Dengan disahkannya RUU Pengadaan Tanah dalam pembangunan untuk kepentingan Umum oleh DPR pada tanggal 16 Desember 2011, ada sebuah pemahaman bahwa Pemerintah dan DPR telah berusaha mewadahi paradigma pengadaan tanah yang manusiawi, berkeadilan, demokratis dan mampu memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang terlibat dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum.

Ada harapan besar yang disandarkan pada UU Pengadaan tanah ini mampu menjawab persoalan dan permasalahan, serta meminimalkan potensi konflik yang terjadi dalam pengadaan tanah. Demikian pula korban-korban yang terjerat persoalan pidana dalam pengadaan dari pihak panitia, kemunculan spekulan tanah, pemulihan ekonomi yang tidak sebanding, dan problem-problem lainnya dapat dicegah dengan disahkannya UU ini.

Meskipun ada pihak-pihak yang tidak/belum sepakat dengan hadirnya UU ini, menurut hemat penulis, pada tatanan hukum dan tatanan sosial perihal pengaturan pengadaan tanah untuk kepentingan umum ini sudah seharusnya diatur dalam UU karena menyangkut kepentingan masyarakat luas, kepentingan pribadi yang berhak, kepentingan pemerintah, bangsa dan negara dalam pembangunan untuk kepentingan umum. Pengadaan tanah untuk kepentingan umum ini juga memiliki dampak ikutan yang mampu menjadi agen perubahan sosial dan ekonomi masyarakat.

Dengan memahami materi RUU yang telah disahkan ini kiranya dapat dirasakan dan ditemukan paradigma baru yang diusung untuk menjaga keseimbangan hak dan kewajiban anatara pemerintah dan rakyat dalam pengadaan tanah untuk kepentingan umum, serta penghormatan terhadap hak atas tanah bagi yang berhak.

  • SARAN

masyarakat terkadang tidak mempunyai posisi runding (bergaining position) yang seimbang, secara psikologis masyarakat berada di bawah tekanan pihak penguasa.
Penentuan bentuk dan besarnya ganti rugi dianggap oleh masyarakat tidak layak, dalam arti bahwa ganti rugi itu tidak dapat digunakan untuk mempertahankan tingkat kesejahteraan sosial ekonominya, bahkan tingkat kesejahteraan sosial ekonominya menjadi lebih buruk jika dibandingkan keadaan sebelum tanahnya dicabut atau dibebaskan haknya.

Batasan tentang pengertian kepentingan umum yang dijadikan dasar pengadaan tanah ini sangat abstrak, sehingga menimbulkan penafsiran yag berbeda-beda dalam masyarakat. Akibatnya terjadi “ketidakpastian hukum” dan dapat menjurus pada munculnya konflik.

Penggantian kerugian hanya terbatas bagi masyarakat pemilik tanah ataupun penggarap tanah,yang berarti ahli warisnya. Ketentuan ini tanpa memberikan perlindungan terhadap warga masyarakat yang bukan pemilik, seperti penyewa atau orang yang mengerjakan tanah, yang menguasai dan menempati serta yang menggunakan tanah. Di samping itu terhadap hak ulayat yang dibebaskan untuk kepentingan umum, bagi masyarakat adat tersebut belum dilindungi dan belum mendapat kontribusi dari pembangunan itu, serta recognisi sebagai ganti pendapatan, pemanfaatan dan penguasaan hak ulayat mereka yang telah digunakan untuk pembangunan.
Musyawarah untuk mencapai kesepakatan, harus dilakukan dengan perundangan yang benar, saling mendengar dan saling menerima pendapat, berdasarkan alur dan patut, berdasarkan sukarela antara para pihak tanpa adanya tekanan psikologis yang dapat menghalangi proses musyawarah tersebut.

Pengaturan tentang permukiman kembali tidak diatur lebih lanjut, sehingga permukiman kembali itu dilaksanakan hanya sekedar memindahkan warga masyarakat yang terkena proyek pembebasan dari tempat yang lama ke tempat yang baru, tanpa diikuti dengan kegiatan untuk memulihkan kehidupan sosial ekonomi mereka. Upaya untuk memulihkan kegiatan ekonomi mereka dengan memperhitungkan kerugian yang dialami oleh warga yang terkena dampak pembebasan tanahnya, bagi warga masyarakat yang sebelumnya tanah adalah merupakan aset yang berharga, sebagai tempat usaha, bertani, berkebun dan sebagainya, terpaksa kehilangan aset ini, karena mereka dipindahkan ke tempat permukiman yang baru.

Setiap perselisihan yang terjadi dalam pelaksanaan tentang menentukan bentuk dan besarnya ganti rugi perlu adanya pemikiran bahwa penyelesaiannya yang paling utama harus dilakukan dengan penyelesaian ADR (Alternative Dispute Resolution), yaitu melalui musyawarah, negosiasi dan mediasi, jika cara ini tidak membuahkan hasil, maka penyelesaian baru melalui proses yudisial ke pengadilan.

Panitia pencabutan hak-hak atas tanah harus juga bertanggung jawab terhadap upaya pemulihan kondisi sosial ekonomi masyarakat yang terkena dampak pembebasan.