Hari itu adalah hari Jum’at. Dimana
masa – masa Magangku yang cukup menderita masih aku Jalani. Dibawah kepemimpinan
Penggawas magangku yang sangat tegas, kulewati masa – masa itu bersama teman –
temanku. Hari itu begitu Panas, dan pekerjaan di Pabrik begitu menumpuk.
Kekonyolan terjadi, terkadang tanpa sebab Bapak penggawas selalu Menasehati
kami. Karena semasa kami Magang di SEMEN GRESIK, ulah kami bagaikan
pemberontak. Cerdas, pintar, Ulet, tetapi suka seenaknya sendiri. Begitulah
anggapan Bapak Penggawas Magang kepada kami.
Jam – jam bekerja telah berganti
menjadi Jam istirahat. Karena waktu itu hari Jum’at, Kami biasanya diberikan
waktu istirahat yang cukup lama untuk menunaikan Ibadah Sholat Jum’at. Sebelum kami berempat meninggalkan tempat
Magang, semua teman – temanku menyuruh aku untuk meminta tanda tangan dari
beberapa penggawas saat itu. Mungkin karena diriku dikenal agak pemberani
menghadapi situasi, dan dianggap sebagai pemimpin dari mereka.
Akhirnya kuberanikan diriku untuk
meminta paraf dari salah satu penggawas Magangku saat itu. Sebenarnya, untuk
meminta Paraf dari seseorang penggawas biasa dilakukan pada sore hari sebelum
Pulang meninggalkan tempat magang. Tapi karena sedikit gaya bicaraku, Aku mampu
memberikan sedikit pengertian pada penggawas itu agar memberikan parafnya pada
kami. Tak lama berselang ‘’YES !!!! kami bisa pulang... hahaha’’
Kata diriku sambil memandang paraf penggawas yang sudah diberikan kepada kami.
Kami berempat merasa senang, dengan bergegas kami kembali ke kos untuk
beristirahat.
Sesampainya di Kos, terpikir dalam
benak kami untuk langsung pulang. Karena kami begitu rindu akan susana rumah
kami di Gresik. Seakan kami tak ingin menunggu sore untuk pulang menuju Gresik. Kami berempat langsung mengemasi barang –
barang bawaan seperti biasa. Seperti biasa Bagus afif menunaikan ibadah sholat
jum’at terlebih dahulu sebelum pulang ke Lamongan. Sedangkan Aku, Pondra, dan
Nanda langsung bergegas pulang tanpa menunaikan ibadah sholat jum’at. Mungkin
alasan kami untuk pulang disaat waktu sholat jum’at, adalah suasana j`lan yang
begitu sepi, sehingga kami bisa menempuh jarak Tuban – Gresik dengan waktu 1
jam setengah.
Suasana perjalanan Tuban – Gresik
begitu nyaman. Walau berada di bawah sinar terik matahari siang. Tetapi sayang,
situasi kota Tuban agak berbeda dengan Kota Gresik. Walau memasuki waktu Shalat
jum’at, Aku masih banyak melihat beberapa orang petani meminum Toak ( minuman
khas Tuban ) dipinggir sawah di perjalanan pulangku.
Jalanan Sepi dan laju motorku begitu
kencang, hingga mencapai 100 sampai 130 km/jam. karena sebagian besar
penggendara bermotor melaksanakan Sholat Jum’at, kami memberanikan diri untuk
melaju secepat itu. 103 km jarak yang kami tempuh, akhirnya aku sampai di depan
Gerbang Gang rumah Pondra. Kemudian seperti biasanya Pondra pamit kepadaku,
lalu aku melanjutkan perjalanan Pulang menuju Rumahku.
BERANGKAT
KE ARENA
Kunikmati waktu istirahatku, setelah
perjalanan yang melelahkan aku tempuh. Ku habiskan makan siang yang lezat, yang
selama seminggu ini tak bisa aku santap. Kusadari betapa nikmatnya, Kalau kita
berada di rumah sendiri. Di sela – sela makan siangku, orang tuaku bertanya
kepada ku. “kok, sudah pulang ? Kenapa kok nggak Pulang nanti sore ??’’. Jawabku ‘’Hehehe....,
Udah Pulang kok bu, Soalnya nggak ada penggawasnya’’. Orang tuaku hanya
tersenyum setelah itu. Mungkin mereka tau, kalau aku sedang lelah saat itu.
Beberapa waktu kemudian, sebuah sms
dari temanku masuk ke Handphoneku :
Sms teman Ku :
‘’woooiii !!! Broo... dirimu nggak lihat
Gresik United Vs Persibo Bojonegoro tha ?? entar sore’’
‘’Waaah....!!!’’ dalam hatiku
aku sontak kaget, Setelah mendapatkan kabar Sms dari temanku yang bernama Fuad.
Tak kusadari aku berkata ‘’iya...!! hari
ini Lupa kalau ada pertandingan Sepak Bola’’. Tanpa membuang – buang
waktuku, aku mengirim sms kepada beberapa teman-temanku yang lain. Akhirnya
hanya ada aku dan 3 temanku yang akan menyusul ke Stadion Petrokimia Gresik
untuk melihat pertandingan itu.
Edo ( Boghel ), Tatas ( Singo ), dan
Tio ( Jemblong ), adalah ketiga nama temanku yang ikut berangkat ke Stadion
bersamaku. Waktu saat itu sudah menunjukkan pukul 15.30 sore. Sehingga kami
agak bergegas menuju stadion, karena kami sudah terlambat datang. Sepanjang
perjalanan menuju Stadion, jalanan sudah terasa sepi oleh keberangkatan para
suporter. Sesampainya di sebuah perlimaan jalan, yang tak jauh dari Stadion
Petrokimia Gresik. Kami sempat mengerangkan suara Knalpot Sepeda motor kami.
Perlimaan Jalan itu, dikenal sebagai sebutan Perlimaan Jalan Petro. Karena
perlimaan jalan itu, berada di dekat Stadion Petrokimia Gresik dan Kawasan
Industrinya.
Perlimaan jalan itu, dikenal sebagai
perlimaan jalan yang memiliki waktu lampu merah paling lama. Sekitar 100 detik
kami harus menunggu lampu hijau. Setelah 100 detik, lampu merah berganti dengan
lampu hijau. Akhirnya kami bisa kembali melanjutkan perjalanan menuju ke Stadion.
Tetapi ketika kami hendak memacu kendaraan kami, tiba – tiba sebuah mobil
kijang berwarna Silver melaju dengan seenaknya tanpa melihat traffic lamp. Tak
khayal, kejadian itu membuat salah satu pengendara bermotor menabrak bangian
samping mobil itu. Sehingga mobil itu berhenti ditengah – tengah perlimaan
jalan, dan motor milik pengendara bermotor itu terjepit oleh bagian bemper
samping mobil itu.
Kemudian entah apa yang ada
difikiran kami, sontak aku mengeber suara Knalpot motorku sambil menujukkan tanganku
kearah penggemudi Mobil itu. Motorku kuhadangkan didepan Mobil itu, lalu motor
salah satu temanku juga ikut menghadang. Salah satu temanku yang bernama Edo,
bahkan mengebrakan tangannya ke arah Kap mobil tersebut. Dengan atribut supoter
kami, kami memberanikan diri untuk berteriak kepada penggendara Mobil itu.
‘’Wooooi
!! lampu merah Pak !!!! jangan semaunya sendiri kalau Jalan!!’’ Teriak
Kami. Sontak Hal itu membuat seluruh pengendara yang sedang berada di Perlimaan
melihat menuju ke arah kami Semua. Tanpa merasa berdosa, kami melanjutkan
perjalanan kami. Dan tak menghiraukan kejadian itu lagi. Akhirnya Kami Pijakan kaki kami, di Area
Stadion Tri Dharma Petrokimia Gresik.
SIAPA
ORANYE ?
Kami
pijakan kaki kami, dan bergegas ke arah Stadion. Tetapi sesampainya di Area
Parkir Stadion, kami melihat beberapa mini Bus, mobil bak terbuka, sedan, mobil
carry, dan kendaraan motor lainnya. Yang bertuliskan Boromania, maupun berplat
nomer ‘’S’’ untuk wilayah Kota Bojonegoro. Diperjalanan menuju Tribun Stadion,
kami bertemu dengan seseorang gadis yang seumuran dengan kami. Aku lihat, dia
datang bersama keluarganya untuk melihat pertandingan Sepak Bola. Sayangnya dia
memakai atribut suporter yang berbeda dengan kami. Dia dan keluarganya
tampaknya binggung mencari arah Tribun stadion untuk Suporter Boromania /
persibo Bojonegoro.
Atribut Oranye yang ia kenakan,
sedangkan kami memakai atribut Kuning hijau khas kebesaran kota Gresik. Tak
menjadi masalah untuk mengiringi langkahnya menuju Tribun suporter yang dia
tuju. Sesekali temanku bercanda dan meminta nomer handphonenya, walau disampingnya
ada keluarganya.
Didalam stadion, kami terlambat
untuk datang. Kami masuk kedalam stadion disaat –saat hampir berakhirnya
pertandingan. Ku lihat suasana Ultrasmania Suporter Gresik united begitu panas.
Banyak teriakkan – teriakkan para suporter yang menyulut emosiku. Tampak di
tribun selatan Stadion, sekitar 1000 suporter Boromania datang mendukung
timmnya. Tetapi hal itu juga diimbangi dengan hadirnya supoter Ultrasmania
selaku tuan rumah, sekitar 7000 orang. ‘’Entah
apa yang terjadi ??’’ kenapa sore
ini Stadion hanya dibanjiri sedikit suporter Tuan rumah.
Selagi bertandingan berlangsung
seru, nampak suporter Boromania terkadang membuat Geram supoter Ultrasmania.
Hingga terjadinya Goal keempat Persibo Bojonegoro, sehingga menambah kefrustasian
Suporter Ultrasmania dikala itu. Disaat – saat pertandingan akan berakhir, skor
masih belum berubah untuk kemenangan Persibo Bojonegoro. Tetapi pemain – pemain
Gresik United juga tidak mengendurkan penyerangannya untuk memborbardir
pertahan Persibo. Terkadang hingga puluhan suporter tak segan – segan
melontarkan kata – kata kasar mereka. Begitu dengan aku, tak bisa kutahan semua
emosiku yang siap meledak.
Sebelum pertandingan belum berakhir,
para suporter Boromania sudah merayakan kemenangannya. Mereka pikir, Stadion
ini seperti milik mereka sendiri. Mereka hanya datang sebagai suporter tamu,
seharusnya mereka mengerti akan Hal itu. Tak lama para Suporter Ultrasmania
menyanyikan Sebuah lagu untuk mereka ‘’enggak iso molih, nggak iso molih, nggak
iso molih’’ [ enngak... bisa
kembali pulang, enggak bisa pulang ]. Tetapi dengan beraninya atau
meremehkan derajat suporter Tuan rumah, suporter Boromania membalas nyanyian
supoter Ultras dengan balasan lagu ‘’ora
wedi !!! ora wedii !!!’’ [ tidak takuut..., tidak takut...].
Merasa sebagai tuan rumah, kami
dilecehkan dan seakan kami tidak dihormati disini. Tribun Stadion semua
bergemuruh. Teriakan dan ejekan dilayangkan kepada suporter Boromania. Suasana
mencekam terasa ditribun suporter tim lawan. Sebagian mereka ada yang ketakutan,
dan pergi meninggalkan stadion terlebih dahulu. Tampak dari kejauhan, pemimpin
pemimpin suporter Ultras mania juga mengisyaratkan untuk meredam emosi, dan tak
melakukan penyerangan di dalam stadion. Beberapa suporter meneriakan,’’ tawur !!! serang mereka !!’’ sehingga
beberapa pemimpin Ultras menginstruksikan mereka agar keluar.
Beberapa gerombolan suporter Ultras
sudah keluar dari stadion, padahal pertandingan masih menyisakan beberapa menit
lagi. Para suporter yang keluar dari stadion, mereka bergerombol menjadi satu
kelompok menuju kearah Parkir kendaraan di sebelah barat Stadion. Nampak
sebagian dari mereka mempersenjatai dirinya dengan kayu – kayu besar.
Ketegangan masih berlangsung, beberapa suporter yang kecewa ada yang membakar
sampah maupun bendera yang mereka miliki di dalam stadion. Barisan polisi
merapatkan penggamanan pada tribun suporter Boromania. Dan masih terlihat
beberapa orang Ultrasmania menujuk – nujukan jarinya kearah suporter Boromania.
Mereka tampak kesal, dan sedikit amarah teraut didalam wajah mereka.
‘’Priiiiit......
Priiiiiittt..... Priiiiit’’ Suara peluit wasit, mengakhiri pertandingan
yang telah berlangsung seru. Tak lama setelah itu, suara gemuruh merayakan
kemenangan terdengar di tribun suporter lawan. Tetapi gemuruh kemenangan itu,
diiringi dengan beberapa lemparan botol ke arah lapangan pertandingan. Aku dan
ketiga temanku masuk kedalam lapangan. Kami bergegas untuk keluar dari setadion
menggunakan pintu dari tribun VIP. Kami trobos lapangan, demi mempersingkat waktu
agar cepat keluar dari Stadion. Kami lewati lorong VIP, menuju kearah barat
pintu keluar Stadion.
Setelah keluar dari stadion, aku dan
ketiga temanku berada di arah barat Stadion. Kulihat beberapa Boromania
bergerombol, berjalan menuju ke arah parkir Stadion sebelah barat. Tetapi
beberapa menit kemudian, tiba – tiba datang gerombolan Suporter Ultrasmania.
Sebagian dari mereka ikut memprofokasi aku, agar mengambil sebuah batu. Lalu
aku ambil sebuah batu, tetapi salah seorang dari mereka berkata. ‘’Klo ambil batu jangan yang kecil, yang
agak besaran ae. Biar MATI, kena
Kepalanya !!!’’ Ujar seseorang yang mengenakan Atribut Ultrasmania dengan
potongan rambut agak panjang.
Sebelumnya aku sempat berjalan
berdampingan dengan banyak suporter Boromania. Lalu kami hanya memandang mereka
dengan raut wajah yang tak begitu ramah. Namun yang ada diraut wajah mereka
hanyalah diam, dan tak berani sepatah kata yang mereka ucapkan. Bahkan saat
sebuah mobil Pickup yang memuat beberapa suporter Ultasmania melewati
gerombolan Suporter Boromania yang sedang berjalan. Mereka hanya terdiam dan
memilih untuk minggir dari jalan tersebut.
Tak lama setelah itu, terdengar
suara. ‘’BRUUaak.... Bruaaak.....’’.
Sebuah suara yang tak ingin didengar oleh orang – orang yang cinta kepada
sebuah kedamaian. Dengan mata kepalaku sendiri, kulihat gerombolan Ultrasmania
menyerang ke gerombolan Boromania yang hendak menaiki dua buah minibus yang
terparkir di sebelah Lapangan tenis sebelah barat stadion. Lemparan – lemparan
batu diarahkan kepada para suporter yang mengenakan atribut Boromania. Tak
khayal penyerangan itu mebuat sebagian dari mereka terpukul mundur ke arah
Stadion.
Emosi juga serasa sudah masuk
kedalam jiwaku. Kulihat saat –saat penyerangan itu, sebagian Boromania juga
kembali membalas lemparan gerombolan suporter Ultras dengan kayu, batu, dan
botol air mineral. ‘’Anjing !! Oranye
Bangsaat !!’’ kataku didalam hati. Kemudian aku lemparkan kedua Batu
pertamaku kearah mereka. Aku tak tau, kena siapa Batu yang kulemparkan. Tetapi
aku merasa memiliki sebuah semangat untuk menghajar seseorang yang telah
menghina Kecintaanku kepada kotaku.
Tak lama setelah lemparan batu
pertamaku, kuambil sebuah Batu lagi. Terdengar teriakan – teriakan kasar yang
mengiringi situasi saat itu. Kulampiaskan, dan kulemparkan Batu kedua dari
tanganku. Tetapi tiba – tiba gerombolan Ultras itu mundur, dan berlarian keluar
area Parkir. Terlihat mereka keluar memanjat pagar menuju kearah jalan Raya.
Sebuah situasi kacau, yang tak bisa dibayangkan. Nampak sekitar ratusan orang
yang tumpah dijalan raya, melempari sebuah Mobil yang ditumpangi oleh suporter
Boromania. Lemparan itu berlanjut lagi dengan mobil yang ada dibelangkangnya.
Tetapi tak lama kemudian, Polisi datang dan membubarkan aksi mereka. Sebagian mereka berlari menuju
kearah jalan Buncop ( arah selatan Stadion ), menghindari kejaran beberapa
Polisi.
Aku dan ketiga temanku masih berada di
area Parkir Stadion. Setelah kejadian itu, kami bergegas menuju kearah motor
kami. Motor kami parkir bersebelahan dengan pakir motor suporter Boromania.
walau kami saling berdampingan di tempat parkir, kami merasa tak terjadi
perselisihan. Yang kulihat hanya raut wajah beberapa dari mereka yang
ketakutan. Bahkan saat menyalakan motor mereka, dan akan meninggalkan area
Stadion. Tampak sebagian dari mereka, mengganti Atribut mereka dengan pakaian
biasa atau menutupi atribut mereka dengan Jaket.
Diluar Stadion, aku bersama beberapa
Ultrasmania mengeber – ngeber suara
Knalpot sepeda motor kami. Emosi masih terasa didalam jiwaku saat itu.
Kekalahan Gresik united dan perilaku para Boromania masih membuatku jengkel
saat itu. Di sepanjang perjalanan pulang, kami meneriakan ‘’Persibo anjink !!! Boro Sampah !!’’
secara berulang – ulang. Keadaan tak nyaman, mungkin dirasakan para suporter
Boromania yang hendak meninggalkan kota Gresik.
Sesaat aku melihat sebuah mobil sedan,
berplat nomer bojonegoro. Aku tatap dalam cendela kaca mobil tersebut. Ternyata
didalam mobil, terlihat beberapa orang memakai atribut Boromania. ku pepet dan
ku geber – geberkan Knalpot motorku. Perlahan mobil itu melaju, seakan mengalah
akan kehadiran Ultrasmania yang lewat. Diatas motor yang melaju, tanganku
menggengam sebuah air kemasan. Sebenarnya terlintas dalam otakku untuk melempar
air kemasan itu kearah mobil sedan. Tetapi entah apa yang terjadi, didalam
kulihat seseorang anak perempuan remaja. Wajahnya cantik, kira – kira usianya
agak lebih muda dari aku. Ia memakai baju Oranye bertuliskan Laskar Angling
Dharma, dan ia melihat kearah jendela mobilnya dengan raut wajah ketakutan.
Sontak dengan anehnya, aku mengurungkan niatku untuk melempar mobil itu.
Kulihat Gadis itu, duduk dipinggir ibunya. Walau itu hanya sesaat, namun aku
bisa merasakan apa yang mereka rasakan. Kulanjutkan laju motorku, meninggalkan
mobil itu. Teriakan – teriakan kasar yang kuucapkan, berhenti sejenak karena
moment itu. ( didalam hati, aku berkata : ‘’oohh....
Kenapa hati jahatku luluh karena Hal itu.’’ ).
Dipinggiran Jalan juga tak kalah seru,
ratusan remaja dan anak-anak yang berjalan kaki menuju ke jalan Kebomas. Mereka
berjalan kaki, sambil terkadang meneriakan beberapa kata – kata kasar kepada
Boromania. sepeda motorku terus melaju, mengikuti arah jalan menuju kebomas.
Saat – saat melaju, kulihat sebuah mobil bak pick up terbuka, yang mengakut
remaja – remaja muda. Aku tau mereka para suporter Boromania, tetapi mereka
menganti pakaiannya dengan baju hitam. Dengan spontan temanku, meneriaki mobil
pick up itu dengan kata. ‘’Boromania itu
sampah’’, tetapi mereka hanya belagak bodoh dan bersandiwara tak mengerti
akan Hal itu.
Pertigaan kebomas, jalan yang akan
menghubungkan pintu keluar Stadion dengan jalan raya Gresik – Lamongan telah
dihadang oleh beberapa masa. Sehingga banyak sebagian pengendara motor
Boromania, kembali keStadion untuk meminta penggawalan dari Polisi. Sayangnya
perjalanan pulangku tidak melewati area itu, dan kami berempat berbelok arah ke
Jalan Kartini. Kami pacu motor kami, untuk segera bergegas pulang.
Sesampainya dirumah, ku akhiri hari ini
dengan istirahat. Aku merasa lelah dengan semua kejadian hari ini. Ku istirahatkan
tubuhku dan kuhabiskan waktuku untuk menikmati suasana rumah yang hanya
kurasakan 2 hari selama seminggu. Malam itu, aku tidur dengan nyenyaknya.
Tetapi aku sadari dalam hatiku, aku telah melampiaskan semua kebencian, amarah,
dengki, yang menumpuk dalam hatiku. Aku tak menyadari, ‘’Apakah benar, tadi sore itu adalah seorang aku ??’’, ‘’seseorang yang
tak memiliki Cinta dan kasih sayang, tetapi hanya diselimuti oleh rasa dengki
dan amarah.’’
PANCASILA YANG HILANG BANGSA YANG LUPA IDEOLOGINYA
( OLEH : MVP MUHAMMAD IVANA PUTRA )
Sebagai dasar negara, Pancasila kembali diuji ketahanannya dalam era
reformasi sekarang. Merekahnya matahari bulan Juni 1945, 66 tahun yang lalu disambut dengan lahirnya
sebuah konsepsi kenengaraan yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia, yaitu
lahirnya Pancasila. Jika dibandingkan pemahaman masyarakat tentang Pancasila
dengan lima belas tahun yang lalu, sudah sangat berbeda, saat ini sebagian
masyarakat cenderung menganggap Pancasila hanya sebagai suatu simbol negara dan
mulai melupakan nilai-nilai filosofis yang terkandung di dalamnya. Padahal
Pancasila yang menjadi dasar negara dan sumber dari segala hukum dan
perundang-undangan adalah nafas bagi eksistensi bangsa Indonesia. Tetapi di era
sekarang, Pancasila hanyalah sebuah hafalan, pajangan dinding, dan tak berarti
apa – apa.
Sejarah bangsa Indonesia mencatat bahwa segala upaya dan bentuk makar yang
dilakukan untuk menggantikan Pancasila akan kandas dan berakhir fatal bagi para
pelakunya. Pengkhianatan terhadap Pancasila bagi bangsa Indonesia sama halnya
dengan membunuh eksistensi diri sendiri. Karena selain nilai-nilai Pancasila
merupakan pegangan fundamental, sekaligus juga merupakan tujuan akhir dari
pembangunan masyarakat Indonesia seutuhnya.
Sementara itu, lunturnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, akibat tidak satunya kata dan perbuatan
para pemimpin bangsa, Pancasila hanya dijadikan slogan di bibir para pemimpin,
tetapi berbagai tindak dan perilakunya justru jauh dari nilai-nilai luhur
Pancasila. Contoh yang tidak baik dari para pemimpin bangsa dalam pengamalan
Pancasila telah menjalar pada lunturnya nilai-nilai Pancasila di masyarakat.
Kurangnya komitmen dan tanggung jawab para pemimpin bangsa melaksanakan
nilai-nilai Pancasila tersebut, telah mendorong munculnya kekuatan baru yang
tidak melihat Pancasila sebagai falsafah dan pegangan hidup bangsa Indonesia.
Akibatnya, terjadilah kekacauan dalam tatanan kehidupan berbangsa, di mana
kelompok tertentu menganggap nilai-nilainya yang paling bagus.
Lunturnya nilai-nilai Pancasila pada sebagian masyarakat dapat berarti awal
sebuah malapetaka bagi bangsa dan negara kita. Fenomena itu sudah bisa kita
saksikan dengan mulai terjadinya kemerosotan moral, mental dan etika dalam
bermasyarakat dan berbangsa terutama pada generasi muda. Timbulnya persepsi
yang dangkal, wawasan yang sempit, perbedaan pendapat yang berujung bermusuhan
dan bukan mencari solusi untuk memperkokoh persatuan dan kesatuan bangsa, anti
terhadap kritik serta sulit menerima perubahan yang pada akhirnya cenderung
mengundang tindak anarkhis.
Pancasila merupakan ideologi negara, sehingga sampai kapan pun sistem yang
dikembangkan berdasarkan ideologi tersebut masih relevan diterapkan di
Indonesia. Sistem apa pun yang digunakan, apakah disebut ekonomi Pancasila atau
apa pun, yang terpenting adalah bagaimana menyejahterahkan rakyat. Sebab kita
tahu Pancasila itu menginginkan bagaimana kita mampu memanusiakan manusia
Dampak dari lunturnya nilai-nilai Pancasila yang nampak secara jelas dalam
sebagian besar masyarakat kita adalah tumbuhnya gaya hidup yang materialistik
konsumtif dan cenderung melahirkan sifat ketamakan atau keserakahan, serta
mengarah pada sifat dan sikap individualistik. Di sisi lain, dampak buruk
terhadap ekonomi, sosial budaya dan politik semakin parah dengan lunturnya
nilai-nilai Pancasila pada sebagian elit politik. Reformasi yang diharapkan
mampu menciptakan keadilan sosial sehingga da-pat memperbaiki kesejahteraan
rakyat se-cara keseluruhan, ternyata masih tepat di-sebut sebagai impian
belaka. Partai-partai yang berkuasa ternyata hanya meneruskan budaya
primordialisme baru yang berorientasi pada kekuasaan dan pemaksaan kehendak.
Para elit politik dan birokrasi masih cenderung berorientasi mempertahankan
kekuasaan dan disibukkan untuk memikirkan strategi agar dalam setiap pergantian
kekuasaan bisa tetap mempertahan kekuasaannya. Budaya politik yang jauh dari
harapan reformasi tersebut mengakibatkan masih sulitnya penegakan hukum dan
pemeliharaan keamanan,
akibatnya
stabilitas nasional pun masih rapuh bahkan dengan mudah sering digoyahkan oleh
kelompok-kelompok kecil separatis. Dengan kondisi yang masih seperti itu,
investor juga mejadi ragu untuk menanamkan modal mereka di Indonesia. Maka
tanpa investasi, sektor riel pun tak akan berjalan, akibatnya tak terbuka
peluang kerja baru, sementara jumlah angkatan kerja yang semakin bertambah akan
lebih meningkatkan angka pengangguran yang berarti berpotensi untuk memicu
timbulnya masalah yang baru lagi.
Kondisi dan situasi ekonomi, sosial budaya dan politik yang cenderung tak
bernuansa Pancasila itu sebenarnya tak perlu terjadi jika reformasi dilakukan
secara konsisten, yakni pembaharuan yang dijiwai Pancasila dengan tetap
berorientasi pada keadilan dan kesejahteraan bagi bangsa Indonesia secara
keseluruhan. Karena pada hakekatnya persatuan dan kesatuan bangsa adalah bagian
dari Pancasila yang harus dilaksanakan secara konsekuen. Munculnya berbagai
masalah disebabkan reformasi hanya digunakan sebagai promosi menarik simpati
rakyat, kemudian tampuk kekuasaan yang berhasil diraih hanya dimanfaatkan untuk
mendukung kepentingan partai atau golongan tertentu. Selama pemegang kekuasaan
masih belum berorientasi pada kepentingan seluruh bangsa sebagai suatu kesatuan
dan persatuan, yang nota bene adalah salah satu sila dari Pancasila, maka
selama itu pula kondisi yang dialami bangsa dan negara ini masih akan tetap
kacau dan amburadul.
Di era reformasi ini, Pancasila menghadapi ujian bagaimana mewujudkan
kembali nilai nasionalisme dan demokrasi yang hilang belakangan ini. Di satu
sisi rakyat dihadapkan fenomena globalisasi, kapitalisme. Nila universal
memasuki sendi-sendi kehidupan berbangsa. Tantangan global kian dirasakan
menjadi musuh nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Pada saat yang sama
dihadapkan pada pembangunan bangsa yang sarat dengan KKN telah menghasilkan
kemiskinan di mana-mana. Persoalannya, siapa yang menjadikan lunturnya rasa
nasionalisme? Pancasila sarat dengan nilai-nilai kejuangan. Pertama, secara
kodrati bangsa Indonesia memiliki tingkat pluralitas tinggi. Kondisi ini dapat
memberikan implikasi positif bagi tumbuh dan berkembangnya negara dan bangsa,
kalau rakyat dengan segala perangkat mampu mengelolanya. Namun jika salah
pengelolaan, apalagi diperparah oleh ketiadaan "zat perekat'' bangsa,
kemajemukan itu justru berisiko tinggi. Bahkan bukan tidak mungkin kehancuran
negara akan terjadi. Karena itu, bangsa Indonesia harus berani melakukan
reideologisasi terhadap Pancasila. Artinya, kalau rezim Orde Baru telah
mendegradasi nilai-nilai fundamental Pancasila melalui idealisasi sekaligus
memperlakukannya sebagai "agama politik", kiranya saat ini Pancasila
harus diposisikan kembali pada fungsinya sebagai ideologi perekat bangsa.
Kedua, jika era ini diabstraksikan sebagai era ilmu pengetahuan dan teknologi,
ia akan mengalami proses transformasi budaya dari tradisional ke modern. Dari
mitos ke logos, dari nasional ke transnasional, lalu ke global mondial. Pada
titik tertentu, manusia Indonesia dapat terombang-ambing, bahkan kehilangan
jati diri, jika tidak memiliki pedoman hidup bernegara. Sehubungan dengan itu,
dibutuhkan Pancasila sebagai ideologi yang telah mengaktualisasikan diri dengan
cara mengintegrasikan norma-norma dasar, teori ilmiah, dan fakta objektif
(Kuntowibisono, 1993), sehingga memungkinkan berlangsung proses interpretasi
dan reinterpretasi secara kritis dan jujur. Tingkat akhir akan menjadikan
Pancasila sebagai ideologi yang dinamis, akomodatif, dan antisipatif terhadap
kecenderungan zaman. Ketiga, gelombang keoptimisan proses transformasi
masyarakat tradisional ke masyarakat modern, masih menyisakan "bom-bom"
keresahan yang sewaktu-waktu meledak. Memang, fenomena modernitas menjanjikan
kemudahan hidup, rasio terninabobokkan, lalu perburuan atas materi dan
hedonisme diperbolehkan. Namun seiring dengan itu, beraneka ragam deviasi
perilaku kelompok masyarakat yang merefleksikan keterasingan dan kekosongan
jiwa makin menyeruak ke permukaan. Yang mencolok adalah munculnya budaya
kekerasan dan pendewaan kepada daging. Begitu banyak orang terisolasi dari
kehidupan yang sebenarnya. Persoalan hidup kian berat. Solidaritas dan
persaudaraan sesama manusia kian luntur. Nilai kebersamaan, kerjasama, gotong
royong bahkan keadilan sosial dipandang sebagai nilai yang kadaluwarsa
(Kuntjaraningrat, 2004). Karena itulah, sebagai komunitas bangsa yang inklusif,
rakyat membutuhkan Pancasila sebagai ideologi humanitas semesta, yang mampu
menjadi filter atas berbagai pengaruh negatif fenomena modernitas.
Melihat kondisi yang memprihatinkan tersebut, hendaknya agar semua pihak
melakukan empat hal untuk mengembalikan kemurnian nilai-nilai Pancasila. Yang
pertama adalah mengembalikan Pancasila sebagai ideologi negara demi menjamin
pluralitas dan demokrasi dalam kehidupan berbangsa. Kedua, mendesak elite
politik dan pemerintah agar mampu menjalankan roda kekuasaan sesuai dengan
Pancasila demi tegaknya nilai-nilai kdtuhanan, kemanusiaan, persatuan,
demokrasi dan keadilan sosial. Ketiga adalah mendukung pemerintah untuk
mengambil tindakan tegas terhadap tindakan yang menyimpang dari Pancasila,
seperti korupsi dan kekerasan bernuansa suku, agama dan budaya. Yang terakhir,
imbauan agar semua pihak meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama yang dilakukan
oleh partai politik, yaitu korupsi, kolusi dan nepotisme.
. Akibat dari hal tersebut maka sistem dan praktek-praktek yang dilaksanakan justru penuh ketidakadilan, kesewenang-wenangan, kekejaman, penindasan dan penginjak-injakan hak asasi manusia; penuh dengan korupsi, kolusi dan nepotisme; penuh dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan dan tindakan-tindakan yang menguntungkan perorangan atau golongan. Kesemuanya itu akhirnya membawa bangsa ini serba terpuruk dan mengalami krisis di segala bidang yang menyengsarakan rakyat dan mengancam kelangsungan hidup Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ), yang sangat jauh dari cita-cita segenap bangsa Indonesia.
Yang menyedihkan, krisis itu menimbulkan kesimpulan, bahwa yang salah selama ini adalah dasar negara dan falsafah bangsa Pancasila, dan bukannya kesalahan pelaksana atau dalam pelaksanaannya.
Menyadari akan semuanya itu, maka dirasa sangat perlu untuk menyebarluaskan kembali Pancasila ke segenap lapisan masyarakat dan terutama generasi muda Indonesia, agar kita semua bisa memahaminya secara utuh, meyakini akan kebenarannya, dan siap untuk memperjuangkan dan melaksanakannya.
Masyarakat Indonesia terhenyak ketika media massa nasional memberitakan telah terjadi upaya melupakan Pancasila. Bahkan jajak pendapat yang dilakukan media – media massa lalu disimpulkan bahwa Pancasila sudah dilupakan.
maka kita kaum muda harus sering mengemukakan Pancasila hingga tercapainya kembali sebuah perekat Bhinneka Tunggal Ika. Jadi, apa benar Pancasila itu tidak penting???????? Apakah kita ingin terus melihat Indonesia yang penuh dengan pembakaran dan pengerusakan rumah ibadah? Atau kita gembira melihat Indonesia menjadi lahan subur intervensi luar,tawuran antar kelompok, pribadi dan bahkan etnis yang semua itu hanyalah suatu seting untuk kepentingan seseorang ataupun golongan?
Inilah yang seharusnya kita perangi. Solusi itu sudah ada dalam Pancasila. Tinggal apakah kita mau merenungi dan sekaligus melakukan nilai-nilai yang ada dalam Pancasila.
Oleh : Muhammad Ivana Putra
Mahasiswa Fak. Hukum Universitas 17 Agustus 1945 Surabaya Aktifis Domisili Gresik